Duplikasi Jahiliah Modern Menampar Diri

Menggali khazanah sejarah, terutama pada masa Jahiliah, seringkali membuka tabir banyak aspek kemanusiaan yang masih relevan hingga kini. Dalam konteks masyarakat modern, kita menemukan sebuah fenomena menarik: duplikasi nilai-nilai irrasional dan perilaku primitif yang melahirkan apa yang bisa kita sebut sebagai “Duplikasi Jahiliah Modern.” Ini bukan sekadar refleksi dari tindakan masa lalu, tetapi sebuah cermin yang menampar diri kita sendiri.

Dalam dunia yang terus berputar dengan kemajuan teknologi dan informasi, kita seakan terjebak dalam lingkaran setan antara kemajuan dan kemunduran. Ketika seorang publik figur melakukan penyimpangan moral, atau ketika kepentingan individu mendominasi kepentingan kolektif, kita seharusnya bertanya: Apakah kita benar-benar belajar dari sejarah? Atau justru terperangkap dalam pola yang sama?

Sejarah mencatat bahwa masyarakat Jahiliah terkenal dengan kebanggaan yang berlebihan, struktur sosial yang tidak adil, dan tradisi yang menomorsatukan kekerasan. Tak pelak, kita pun kini sering menyaksikan karakter serupa di berbagai sektor kehidupan. Ketidakadilan sosial, rasialisme, misogini, dan kekerasan adalah beberapa sisa-sisa “Jahiliah” yang terkolaborasi dengan alat-alat modern seperti media sosial dan platform digital.

Bayangkanlah sebuah sorotan sinar laser yang menembus kegelapan; di situlah kita berada, berusaha menemukan makna di tengah-tengah hiruk-pikuk informasi yang sering kali membingungkan. Ironisnya, teknologi yang seharusnya memperluas wawasan kita justru menjadi sarana untuk menyebarkan hoaks dan kebencian, sama seperti yang terjadi di masa lalu ketika desas-desus menjadi mata rantai antara kebenaran dan kebohongan.

Penting untuk memahami bahwa Duplikasi Jahiliah Modern bukan sekadar isu moral atau sosial; ia mencerminkan kondisi mental kolektif kita. Tindakan yang melahirkan kekecewaan dan ketidakadilan hari ini mengundang komparasi dengan praktik-praktik kuno. Proses ini bagaikan perjalanan melalui labirin yang tak berujung, di mana setiap belokan baru mengungkapkan sisi gelap dari eksistensi manusia.

Dalam upaya membongkar lapisan-lapisan kemunafikan ini, kita mungkin dapat menarik benang merah antara tradisi dan inovasi. Sudah sejatinya, inovasi haruslah menjadi alat untuk memberdayakan bukan mengisi kesenjangan. Namun, yang terlihat saat ini adalah bagaimana inovasi sering kali dimanfaatkan untuk menggali lebih dalam jurang pemisah antar individu dan kelompok. Kita harus mempertanyakan: Apakah kita menjadi lebih baik atau justru terperangkap dalam ‘keabnormalan’ yang baru?

Melihat lebih jauh, kita bisa menyimpulkan bahwa keangkuhan, egosentrisitas, dan arogansi memberi kita gambaran mengenai dinamika sosial yang buruk. Berusaha memperbaiki diri, seringkali terhalang oleh benang tak kasat mata yang mengikat masyarakat. Kita dapat melukiskan masyarakat dengan kata-kata yang puitis, tetapi kenyataannya lebih tampak mencolok — seperti lukisan yang tergantung terbalik.

Ironisnya, tindakan yang seharusnya membawa kita ke jalan kebaikan justru sering kali terperangkap dalam satu babak yang tak berujung. Dalam konteks ini, kita bisa mengibaratkan manusia modern sebagai karakter dalam drama klasik, selalu berusaha mengambil pelajaran dari tragedi yang terjadi. Namun, pelajaran itu tak kunjung diambil, menjadikan kita bagaikan penonton yang terkurung dalam panggung berulang yang sama.

Duplikasi ini menciptakan konflik internal: antara keinginan untuk maju dan ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari belenggu nilai-nilai usang. Inilah saatnya untuk kemudian beranjak, merancang narasi baru yang menggambarkan kecerdasan dan kemanusiaan, bukan kembali terjebak dalam impuls primitif. Kita perlu mengubah ibarat cerutu yang dibakar sepertiga, di mana kita hanya menikmati asap yang samar namun tidak merasakan nikmatnya. Ini harus berhenti. Kita harus berani merombak pola yang ada.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali setiap tindakan yang kita lakukan. Sejarah memiliki cara tersendiri dalam mengajarkan kita; bukan dengan lisan, tetapi melalui pengalaman. Seperti apa yang terjadi pada masyarakat Jahiliah, kita pun jangan sampai terjerumus ke dalam siklus duplikasi yang tak berujung. Mari berani berbenah, tidak hanya demi diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang. Dengan begitu, kita bisa melawan Duplikasi Jahiliah Modern yang menampar diri – dan kitab catatkan dengan tinta emas kisah perjuangan kita melawan keinginan untuk kembali ke masa lalu.

Related Post

Leave a Comment