
Cukup sering kita mendengar kata “insecure” yang diucapkan oleh sahabat kita, terutama kaum perempuan, yang merasa tidak percaya diri karena berbadan gendut atau berwajah tidak tirus. Hal yang sama juga dialami oleh tidak sedikit kaum perempuan lain yang merasa tidak nyaman ketika berjalan sendirian di malam hari. Atau ada orang yang merasa tidak percaya diri ketika bergaul dengan teman kelasnya yang mapan secara ekonomi (kaya). Bahkan, ada juga teman perempuan yang merasa insecure ketika menginjak usia 30-an tapi masih jomblo.
Gejala di atas, bagi kebayakan orang, tentu dianggap sebagai problem psikologis semata. Alih-alih belajar membongkar mekanisme ekonomi politik yang beroperasi dalam cara berpikir semacam ini, pendekatan paling cepat yang cenderung digunakan secara massal yakni dengan mengunjungi psikiater atau membaca buku-buku psikologi, di antaranya “how to”.
Privatisasi problem semacam ini berbuntut pada klaim bahwa memang insecure adalah fenomena yang disebabkan oleh ketidakmampuan personal dan bukan karena pengaruh dari buruknya tata kelola ekonomi politik. Oleh karena itu, tulisan ini coba menjadikan ilustrasi di atas sebagai pintu masuk dalam menganalisis keamanan dan ketidakamanan individu atau sekelompok orang, sejak Global War on Terror pasca penyerangan Gedung WTC 11 September hingga Pandemi Covid-19 hari ini.
Dua Pendekatan terhadap Keamanan
Masyarakat saat ini memiliki tingkat keamanan aktual yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Kita memiliki traffic light untuk mencegah kecelakaan, institusi kepolisian untuk mengatasi kejahatan, agama untuk mengindarkan kita dari keburukan, rumah sakit untuk mencegah kematian karena penyakit, dan seterusnya, dan seterusnya. Namun, hari-hari ini, kita seolah-olah membutuhkan keamanan lebih, dan disibukkan dengan melacak berbagai kemungkinan bahaya dan ancaman di ranah sosial.
Konflik internasional, bahaya perang nuklir, dan ancaman lingkungan membangkitkan perasaan takut, ketidakpastian, dan keadaan tak berdaya. Akibatnya, ketika seseorang mengalami ketidakstabilan di lingkungannya, kesejahteraan psikologisnya menyusut, dan dia sangat sensitif terhadap,— mengutip Toffler dalam Future Shock (2002)—“kejutan masa depan”.
Secara tradisional, konsep keamanan telah diartikulasikan dalam istilah neo-realis, di mana unit analisis utamanya adalah negara berdaulat di mana integritas teritorial dan kohesi internalnya harus dilindungi. Pada awalnya, keasyikan para ilmuwan politik yang mempelajari keamanan, berpusat pada militer dan kondisi keamanan internasional, seperti kekuatan militer konvensional, teknologi, kemampuan nuklir, aliansi militer, dan kebijakan luar negeri, tapi mengabaikan aspek ekonomi, sosial, budaya dan psikologis.
Padahal, di dunia modern, keamanan bukan lagi gagasan abstrak; itu menjadi fenomena konkret yang diciptakan oleh individu yang berinteraksi. Akibatnya, Program Pembangunan PBB (UNDP) berargumen bahwa: “Keamanan manusia dapat dikatakan memiliki dua aspek utama yakni pertama, keamanan dari ancaman kronis seperti kelaparan,penyakit dan represi; dan kedua, itu berarti perlindungan dari gangguan yang tiba-tiba dan menyakitkandalam pola kehidupan sehari-hari -baik di rumah, di pekerjaan atau di masyarakat” (UNDP, 1994:24).
Absennya pembahasan tentang kemananan sehari-hari tersebut disebabkan oleh karena dominannya fokus studi keamanan pada cara pandang Weberian yang cenderung menyasar negara dan struktur kelembagaan. Dalam People, States & Fear (1991), Buzan berpendapat bahwa fokus studi keamanan yang hampir eksklusif pada ancaman militer yang menjadi standar selama Perang Dingin, pada akhirnya mengakibatkan keterbelakangan konseptualisasi keamanan. Oleh karena itu, dia menguraikan kerangka teoretis yang jauh lebih luas dengan memeriksa keamanan dari tiga tingkat analisis: sistem internasional, negara, dan individu.
Senada dengan Buzan, tulisan ini juga mengadopsi pendekatan yang sama yakni berpusat pada negara dan relasinya dengan individu. Maksudnya, negara berdaulat merupakan jaminan paling signifikan dan efektif dari keamanan, dan karena itu harus tetap menjadi referensi utama. Bahkan keamanan hendaknya mencakup juga dimensi politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan secara keseluruhan.
Ekonomi Politik dan Geopolitik Ketidakamanan
Dengan membawa konsep keamanan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, ditemukan bahwa ada ketertaitan paradigmatik dan semantik antara konteks ekonomi politik dan geopolitik sekaligus. Pada yang pertama, analisis ditekankan pada bagaimana mekanisme politik dalam negeri berkaitan secara langsung dengan korporasi-korporasi transnasional (TNCs) dan institusi-institusi atau lembaga keuangan. Sementara, pada yang kedua, fokus pada dinamuka kekuasaan yang memengaruhi dinamika yang terjadi antardua komponen di atas.
Bandingkan ilustrasi berikut:
Saat ini, 51 dari 100 ekonomi terbesar di dunia berkaitan dengan TNCs dan 49 di antaranya adalah negara. TNC memegang 90 persen dari semua teknologi dan paten di seluruh dunia, dan memonopoli 70 persen perdagangan dunia, di mana 30 persen di antaranya adalah ‘intra-perusahaan’ (unit yang berbeda dari perusahaan yang sama).
Dengan membajak negara semacam Amerika Serikat, dominasi TNCs berkaitan langsung dengan kebijakan politik dalam dan luar negeri yang bertanggung jawab terhadap aktivitas penambangan, penyulingan dan pendistribusian sebagian besar minyak dunia, bensin, solar dan bahan bakar jet, serta untuk mengekstraksi sebagian besar mineral dunia dari tanah.
Dalam karyanya, The Corporate Planet: Ecology and Politics in the Age of Globalization (1997), Karloner menjelaskan bahwa TNCs membangun sebagian besar minyak dunia, batu bara, gas, pembangkit listrik tenaga air, dan tenaga nuklir tanaman; memanen sebagian besar kayu dunia, membuat sebagian besar kertasnya; tumbuh banyak tanaman pertanian dunia, saat memproses dan mendistribusikan sebagian besar makanannya; dan pembuatan dan menjual sebagian besar mobil, pesawat, satelit komunikasi, komputer, rumah elektronik, bahan kimia, obat-obatan dan produk bioteknologi.
Keamanan dalam Masyarakat Berisiko
Sejak pertengahan 1990-an, konsep “masyarakat berisiko” dan “masyarakat risiko global” (Beck, 1999; Beck, 2011) telah muncul, baik dalam ilmu sosial dan hubungan internasional. Banyak disiplin ilmu telah ditujukan pada analisis risiko.
Dalam Risk Society: Toward a New Modernity (1992) menyatakan bahwa risiko meningkat seiring dengan kompleksitas teknologi. Teorinya tentang “masyarakat risiko” mengajukan masalah risiko dalam konteks teori modernitas, dengan fokus terutama pada bahaya teknis dan, pada tingkat lebih rendah, pada tindakan sosial.
Dalam masyarakat berisiko, keselamatan menjadi tujuan utama kebijakan sosial dan politik (Beck, 1992). Terlepas dari kenyataan bahwa Beck meremehkan peran sentral dari ketidakamanan dalam masyarakat tradisional dan modern awal, ia berhak berpendapat bahwa warga negara sekarang menjadi lebih sadar akan potensi risiko yang terkait dengan penelitian ilmiah dan perubahan teknologi.
Kesadaran risiko akut telah serius konsekuensi politik, meningkatkan ketergantungan pada ahli dan keputusan negarapembuat untuk mengevaluasi dan melawan ancaman lama dan baru. Seperti yang diutarakan oleh Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity (1990), kesadaran risiko terkait erat dengan kepercayaan; warga harus menempatkan kepercayaan pada para ahli dan pegawai negeri (yang jarang mereka kenal secara pribadi) untuk melawan ancaman lingkungan yang tampaknya luar biasa bagi mereka.
Semua itu dilakukan melalui propaganda yang masif dengan memanfaatkan pelbagai platfom. Bandingkan misalnya selama kampanye presiden AS 2004, Partai Republik merancang iklan di televisi yang menampilkan ancaman serigala-serigala yang berkeliaran di hutan yang gelap. Selama kampanye yang berfokus pada keamanan nasional, iklan ini dengan jelas menyarankan bahwa hanya George W. Bush dan rekan-rekan Republiknya yang dapat melindungi Amerika Serikat dari tentara serigala teroris yang terus bertambah.
Pasca GWOT, hari ini, di mana-mana, risiko dan keamanan berkelindan satu dengan yang lain dan tampak makin konkret di depan mata kita sendiri. Tanpa kita sadari, praktik lanjutan dari GWOT terlihat jelas melalui sistem penyaringan di bandara, jaringan CCTV di pusat kota perkotaan, kehadiran polisi yang terlihat di taman umum, dan sebagainya.
Mempertimbangkan bahwa pengalaman akan risiko dan ketidakamanan selalu berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Bagi Lefebvre dalam Everyday Life in the Modern World (1984:73), kelompok paling rentan dalam praktik keamanan sehari-hari adalah kaum wanita. Mereka adalah subjek kehidupan sehari-hari dan korbannya.
Misalnya, bagi sebagian wanita muslimah, berhijab bagi mereka adalah sekaligus praktik keamanan, karena mereka memperoleh keamanan dari dan melalui identitas Muslim—dan, pada saat yang sama, sesuatu yang dapat meningkat secara signifikan kerentanan mereka terhadap bahaya, penghinaan atau serangan.
Meminjam istilah James C. Scott dalam Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, inilah yang disebut dengan “infrapolitik” yaitu pengalaman ketidakamanan dan risiko yang sebagian besar tidak terlihat dalam politik resmi namun memberikan gambaran yang sepadan tentang kehidupan politik yang belum sempurna (1990:200).
Oleh karena itu, kajian tentang ketidakamanan yang fokus pada kehidupan sehari-hari harus memperhatikan pengaruh dimensi emosional. Ini bukan hanya soal bagaimana ketakutan publik atas terorisme dan kepanikan moral terhadap wabah penyakit mendorong percepatan perubahan kebijakan.
Emosi juga memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana kita mengalami langkah-langkah keamanan, bagaimana kita menanggapi persepsi individu dan kelompok tentang ketidakamanan dan peristiwa traumatis, dan praktik yang kita lakukan untuk mengelola keamanan diri kita.
Memang, kemarahan, kebencian, penghinaan, rasa malu, rasa bersalah, iri hati, ketakutan, cinta, perhatian dan belas kasihan, adalah semua emosi kuat yang dapat diperkuat atau dikurangi berdasarkan bagaimana masalah (dalam) keamanan dipahami, diwakili, dan diatur—baik oleh otoritas politik maupun oleh individu dan kelompok. Dalam artikelnya bertajuk “Trauma and the Politics of Emotions” (2010) yang meneliti tentang tanggapan orang terhadap bom Bali, Hutchison menyoroti bagaimana emosi dapat menjadi vital bagi stabilitas politik dan kontrol sosial, terutama dalam konteks ketidakpastian dan ketidakamanan.
Teknologi Pengawasan sebagai Rekayasa Keamanan
Dengan mengalihkan keamanan semata-mata sebagai problem psikis dan emosional, kita dibuat tidak fokus terhadap kemungkinan teknologi pengawasan dalam mengatur dan mendefinisikan tatanan kehidupan kita secara keseluruhan. Dalam Society Must Be Defended (2003: 256), Michel Foucault menegaskan bahwa biopower membentuk tata kehidupan di tingkat populasi dengan tujuan meningkatkan dan memaksimalkan kehidupan bagi mereka yang dianggap layak.
Ras dan rasisme adalah konstituen utama dan fungsi biopower karena mereka mengizinkan teknologi biopolitik dan rasionalitas yang ditujukan untuk “membersihkan” masyarakat; rasisme dengan demikian adalah “prasyarat untuk melaksanakan hak untuk membunuh” yang dapat Anda saksikan dalam kasus Nazisme atau pelabelan teroris terhadap gerakan kemerdekaan di Papua.
Dalam “The Subject and Power” (1983), Foucault menekankan bahwa kekuasaan itu tidak beroperasi di luar tetapi di dalam dan melalui tubuh manusia dan di dalam rutinitas dan tindakan sehari-hari. Foucault menentang gagasan bahwa kekuasaan hanya terletak pada dominasi kelas dan negara sebab kekuasaan akan memiliki karakter jaringan yang memengaruhi semua hubungan sosial.
Singkatnya, pelaksanaan kekuasaan bukanlah kekerasan; juga bukan persetujuan yang, secara implisit, dapat diperbarui. Dengan kata lain, kekuasaan dapat beroperasi melalui tindakan menghasut, menginduksi, merayu, membuat lebih mudah atau lebih sulit; dan dalam konteks ekstrem membatasi atau melarang secara mutlak.
Fetisisme internet mengasumsikan bahwa masyarakat adalah mesin dan berfungsi seperti Internet dan bahwa Internet adalah oleh karena itu solusi untuk segala sesuatu di masyarakat.
Dalam chapter “Some Social Implications of Modern Technology” (1941/1998:44), Marcuse menegaskan bahwa rasionalitas teknologi ingin diterapkan oleh “aparatus kepengaturan” yang menggunakan “kerangka kinerja standar”: menggunakan algoritma standar Google untuk memberi tahu orang-orang apa yang harus mereka sukai, bagaimana mereka mendefinisikan kenyataan, ke mana mereka harus pergi, apa yang harus mereka anggap penting dan tidak penting, dll.
Fitur seperti google map memang dapat membantu untuk menemukan jalan keluar, tetapi juga memungkinkan Google (dan sebagai konsekuensinya berpotensi digunakan oleh perusahan lain dan polisi) untuk melacak pergerakan Anda dan untuk pergerakan subjek di ruang digital melalui logika advertisement atau periklanan: iklan bertarget mengikuti Anda di mana pun Anda mengambil ponsel Anda dan menyajikan kenyataan dan apa yang harus Anda makan, minum, tonton dan sukai sesuai logika pemasang iklan.
Ini tentu bukan pandangan baru karena telah dipelajari oleh sebagian besar orang. Namun, teknik beroperasinya teknologi pengawasan ini makin menjadi-jadi persis ketika hadirnya pandemi hari ini dan diikuti dengan Great Reset yang dirancang melalui pertemuan rutin World Economic Forum di Davos.
Dalam konteks lebih luas, Marcuse (1941/1988, 41) mengingatkan bahwa pengorganisasian masyarakat menurut rasionalitas teknologi dapat menghasilkan fasisme dan ia mengatakan bahwa Nazi Jerman diperintah oleh “pertimbangan teknis efisiensi imperialistik dan rasionalitas” semacam itu.
Setelah membaca uraian di atas, tampak jelas bahwa insecure merupakan eksperimentasi sehari-hari dari tata kelola ekonomi politik dan geopolitik global. Hanya dengan membongkar bagaimana kekuasaan tersebut beroperasi, kita terhindar dari ketergantungan berlebihan pada solusi keamanan tentatif yang diberikan oleh psikolog dan industri perbukuan “how to” hari ini namun absen memproblematisasi akar soal yang sebenarnya.
Referensi dan Bacaan Lanjutan
- United Nation Development Programme, 𝘏𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘙𝘦𝘱𝘰𝘳𝘵. New York, Oxford University Press, 1994.
- Buzan, Barry. 𝘗𝘦𝘰𝘱𝘭𝘦, 𝘚𝘵𝘢𝘵𝘦𝘴 & 𝘍𝘦𝘢𝘳: 𝘈𝘯 𝘈𝘨𝘦𝘯𝘥𝘢 𝘧𝘰𝘳 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘰𝘴𝘵-𝘊𝘰𝘭𝘥 𝘞𝘢𝘳 𝘌𝘳𝘢. London, Pearson Longman, 1991, hal. 3-22.
- Buzan, Barry, “New Patterns of Global Security in the 21th Centruty”. 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘈𝘧𝘧𝘢𝘪𝘳𝘴, LXVII-3 (1991), 431-451.
- Karloner, Joshua. 𝘛𝘩𝘦 𝘊𝘰𝘳𝘱𝘰𝘳𝘢𝘵𝘦 𝘗𝘭𝘢𝘯𝘦𝘵: 𝘌𝘤𝘰𝘭𝘰𝘨𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘨𝘦 𝘰𝘧 𝘎𝘭𝘰𝘣𝘢𝘭𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯. San Fransisco, Sierra Club Book, 1997.
- Daniel Beland, Insecurity and Politics: A Framework.
- Beck, U. 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘙𝘪𝘴𝘬 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺. Cambridge: Polity Press, 1999.
- Beck, U. (2011). Living in and Coping with World Risk Society. In H.G. Brauch, O.Ú. Spring, C. Mesjasz, J. Grin, P. Kameri-Mbote, B. Chourou, P. Dunay, & J. Birkmann (Eds.). Coping with Global Environmental Change, Disasters and Security: Threats, Challenges, Vulnerabilities, and Risks, 11–17. New York: Springer.
- Beck, U. 𝘙𝘪𝘴𝘬 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺. 𝘛𝘰𝘸𝘢𝘳𝘥 𝘢 𝘕𝘦𝘸 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯𝘪𝘵𝘺. London: Sage Publications, 1992.
- Giddens, A. 𝘛𝘩𝘦 𝘊𝘰𝘯𝘴𝘦𝘲𝘶𝘦𝘯𝘤𝘦𝘴 𝘰𝘧 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯𝘪𝘵𝘺. Cambridge: Polity Press, 1990.
- Lefebvre, H. 𝘌𝘷𝘦𝘳𝘺𝘥𝘢𝘺 𝘓𝘪𝘧𝘦 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥. New York: Transaction, 1984.
- Scott, J.C. 𝘋𝘰𝘮𝘪𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘳𝘵𝘴 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘴𝘪𝘴𝘵𝘢𝘯𝘤𝘦: 𝘏𝘪𝘥𝘥𝘦𝘯 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘤𝘳𝘪𝘱𝘵𝘴. New Haven, CT: Yale University Press, 1990.
- Hutchison, E. (2010), ‘Trauma and the Politics of Emotions’, International Security, 24/1:65-86
- Foucault, M. 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺 𝘔𝘶𝘴𝘵 𝘣𝘦 𝘋𝘦𝘧𝘦𝘯𝘥𝘦𝘥. Trans. David Macey, London: Pearson, 2003.
- Foucault, M. “The Subject and Power” dalam 𝘔𝘪𝘤𝘩𝘦𝘭 𝘍𝘰𝘶𝘤𝘢𝘶𝘭𝘵, 𝘉𝘦𝘺𝘰𝘯𝘥 𝘚𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘶𝘳𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮 𝘢𝘯𝘥 𝘏𝘦𝘳𝘮𝘦𝘯𝘦𝘶𝘵𝘪𝘤𝘴 (ed.) Hubert Dreyfus and Paul Rabinow, 207-226. Chicago: University of Chicago Press, 1983.
- Marcuse, H. 1941/1998. “Some Social Implications of Modern Technology”, dalam 𝘛𝘦𝘤𝘩𝘯𝘰𝘭𝘰𝘨𝘺, 𝘞𝘢𝘳, 𝘢𝘯𝘥 𝘍𝘢𝘤𝘪𝘴𝘮. (ed). Douglas Kellner, 39-65. London: Routledge.
- (Catatan: semua buku ini dapat Anda unduh dan baca di Library Genesis. Ketik saya di google search: libgen.rs)
- Mengapa Kita Tertarik pada Kasus Pembunuhan? - 5 September 2022
- Menjadikan Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik - 31 Agustus 2022
- Usia - 20 Agustus 2022