Ekonomi Politik Perdesaan; Hadirnya Negara ke Desa

Politik ekonomi membangun brand desa adalah sebuah proses yang berkesinambungan; keluarannya adalah reputasi. Penelitian yang Ammon (1995), Cunningham (1997), Martin dan Kettner (1996) lakukan menghasilkan temuan bahwa pemerintah yang mampu membangun keunggulan daya saing, yaitu mampu mencapai kinerja di atas normal pada pelbagai bidang, ternyata adalah mereka yang memiliki reputasi sebagai penyelenggara pemerintah yang baik (good governance).

Brand adalah aset strategis. Dengan brand, organisasi memperoleh dukungan kekuatan dan keuangan. Brand yang kuat akan menjadi magnet yang memiliki daya tarik sehingga orang akan selalu menjadikannya sebagai referensi. Dalam kerangka percepatan pembangunan di Indonesia, maka kita perlu suatu image yang sangat kuat yang menjadikan dirinya tampil beda.

Brand adalah suatu proses yang berkesinambungan. Dr. Paul Temporal (1997), seorang pakar dalam brand creation, development, and management, mengatakan ada empat hal yang harus pemerintah perhatikan dalam membangun brand. Pertama, pemerintah harus memahami bahwa branding itu bukan sekadar membuat logo, melainkan melakukan kegiatan yang dapat pelanggan lihat dan rasakan manfaatnya.

Kedua, brand yang kuat itu terbangun melalui strategi yang jelas. Brand yang kuat selalu berciri mudah rakyat pahami dan ingat. Brand adalah janji dan oleh karena itu harus realistik, kredibel, dan dapat kita percaya. Satu hal yang paling penting, brand harus mampu di-deliver.

Ketiga, brand memerlukan konsistensi dalam berbagai bentuk.

Keempat, perlu ada upaya yang serius untuk mengawal dan menjaga brand. Brand dalam konteks daerah adalah aset strategis. Oleh karena itu harus terpelihara sepanjang waktu oleh siapa saja, baik oleh mereka yang berada dalam pemerintahan maupun oleh warga masyarakat.

Dengan demikian, maka setiap desa di Indonesia harus segera menetapkan dirinya sebagai daerah argopolitan dengan core competency di bidang pertanian, perikanan, atau dengan kata lain sesuai dengan potensi desanya dengan memanfaatkan alokasi dana desa satu miliar setiap desa.

Untuk itu, pemerintah desa perlu memacu diri meningkatkan kapabilitasnya, yaitu kemampuan untuk melakukan dan mengembangkan tindakan efektif secara efisien. Dengan peningkatan kapabilitas, maka pemerintah desa dapat melakukan perubahan yang berkesinambungan.

Baca juga:

Hal ini seperti yang Dean Joseph Nye dari Kennedy School’s of Government katakan bahwa pemerintah (desa) dengan jelas harus melakukan perubahan yang berkesinambungan sebagai suatu proses fundamental. Tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan inovasi dalam pemerintahan yang tidak hanya mencakup perubahan menuju  best practise atau menyediakan informasi yang mudah publik akses, tetapi yang lebih penting inovasi itu sendiri harus melembaga dalam pola pikir aparatnya yang benar-benar dipahami masyarakat.

Inovasi dalam kerangka untuk membangun brand agar memiliki perceived value yang unggul, paling tidak harus mencakup enam bidang. 1) Produktivitas; pemerintah harus dapat menghasilkan lebih banyak pelayanan dengan memungut (pajak) lebih rendah. Ini akan meningkatkan daya saing.

2) Marketization; pemerintah harus dapat menggunakan marketstyle incentives untuk membasmi penyakit birokrasi pemerintah.

3) Orientasi pelayanan; pemerintah harus dapat mencari jalan bagaimana menjalin hubungan yang lebih baik dengan warganya.

4) Desentralisasi; pemerintah harus dapat mendorong jajarannya untuk melaksanakan program yang lebih responsif dan efektif.

5) Kebijakan; pemerintah senantiasa meningkatkan kapasitasnya untuk merumuskan dan menjalankan kebijakannya dengan benar.

6) Accountability for result; pemerintah senantiasa meningkatkan kemampuannya agar bisa mewujudkan apa yang dijanjikan (Ben Senang Galus, 2014).

Enam bidang yang saya rekomendasikan tadi, untuk membangun desa yang bereputasi, harus menjadi agenda utama pemerintah. Dengan asumsi bahwa pemerintah harus menetapkan sekurang-kurangnya tiga strategi percepatan pembangunan, yaitu menjadikan salah satu atau lebih sektor pembangunan atau sesuai dengan potensi wilayah sebagai brand kabupaten, peningkatan kualitas SDM agar produktivitasnya meningkat, dan menjaga kepercayaan masyarakat.

*Ben Senang Galus, Penulis buku “Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi”; bekerja di Dinas Dikpora DIY.

Kontributor