Peristiwa politik berbiaya tinggi mengundang para cukong dan sejenisnya. Masyarakat pemilih dan partai politik akan di bawah mekanisme kontrol, dari tangan para cukong, bohir, dan sejenisnya. Menyangkut imbalan berupa uang akan tertransfer ke pemilih. Lantas, imbalan begitu mudahkah menundukkan ide, mimpi, visi, dan misi kebangsaan?
Kesenangan dan fantasi ideologi termaterialisasi dalam imbalan materi. Masyarakat pemilih tidak berpikir jauh ke depan, kecuali kedalaman selera yang kosong. Setiap yang instan menjadi skenario dan fantasi ideologi tertukar dengan tanda ketokohan.
Keempat, sistem politik yang lemah. Proses rekrutmen kader partai berkembang, tetapi fungsi lain seperti pendidikan politik terlantar. Sistem yang ditengarai sebagai pemicu titik kelemahan pilihan masyarakat terhadap partai politik. (Media Indonesia, 02/01/2022)
Politisi lebih cenderung mengurus kartu anggota partai atau menyibukkan diri dengan hal-hal remeh-temeh, yang mereka anggap berpengaruh saat pemilihan umum. Berapa jumlah keluarga pemilih, jumlah kegiatan konstituen, dan berapa jumlah keluarga yang akan mereka santuni hingga mengikuti ritual tahunan dalam bentuk kegiatan forum musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat bawah dan atas.
Masyarakat pemilih tidak terbutakan keremetemehan. Politisi dan partai politik asyik masyuk dengan keremetemehan dan melupakan fungsi sebagai jaringan artikulator masyarakat. Penyambung lidah rakyat atau slogan?
Satu harapan, mudah-mudahan keempat alasan tersebut tidak bertambah lagi.
Baca juga:
- Simulasi Capres SMRC 2024: Tren Keterpilihan Ganjar Kian Menanjak
- Kecenderungan Perilaku Politik Pemilih Nasional Temuan SMRC 2021
- Kesantunan Politik, dari Teks ke Panggilan - 8 Agustus 2022
- Si Penggoda, Nafsu, dan Tubuhku - 21 Juli 2022
- Satu Gurauan Politik dan Suguhan Metafora Bakal Terjadi di 2024 - 7 Juli 2022