Kartini hanya dapat membaca buku-buku dan surat kabar yang ada. Dengan bahasa Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewaannya lewat surat-surat yang ditulisnya.
Gagasan-gagasan utama dalam tulisannya adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas. Kartini juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta memperjuangkan monogami (meskipun pada praktiknya Kartini akhirnya menjadi madu bagi wanita lain). Lebih jauh, Kartini merupakan seorang feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme.
Gerakan Feminisme di Indonesia
Pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno memberikan kesempatan kepada gerakan feminisme di Indonesia dengan pengajaran tentang keperempuanan dan perjuangan kepada kaum perempuan.
Bahkan, pada masa ini, terdapat Gerwani, organisasi perempuan yang cukup progresif dalam mengadvokasi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Gerwani juga turut serta dalam bidang politik demi menjembatani antara politik dan kebutuhan sosial perempuan.
Namun, selama masa Orde Baru, gerakan perempuan sengaja disingkirkan. Pada masa ini, perempuan diberi citra hanya sebagai kaum ibu dan istri semata yang berada di samping bahkan di belakang kaum laki-laki. Hal ini menghancurkan gerakan perempuan yang telah ada di masa sebelumnya dan menghalangi tumbuhnya feminisme di masa orde baru.
Barulah pada era reformasi, usaha memunculkan gerakan feminisme makin kuat. Feminisme bukan lagi sekadar wacana namun sebagai hal telah termanisfestasikan dalam berbagai langkah instrumental pada struktur pemerintahan. Meskipun belum dapat menghilangkan stigmatisasi perempuan sebagai orang kedua.
Di Indonesia, gerakan feminisme ini sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Dan gerakan ini dapat dibagi dalam tiga tahapan.
Yang pertama adalah antara tahun 1975-1985. Pada masa, ini hampir semua LSM tidak menganggap masalah gender sebagai masalah penting. Justru banyak yang melakukan pelecehan.
Baca juga:
- Meretas Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Praksis Kebebasan Beragama di Indonesia
- Keperawanan, Seksualitas, dan Diskriminasi Perempuan
Mereka tidak menggunakan analisa gender sehingga reaksi terhadap masalah tersebut sering menimbulkan konflik antar aktivis perempuan dan lainnya. Bentuk perlawanan yang muncul terhadap gerakan feminisme adalah dengan mengemukakan alasan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.
Selanjutnya, pada periode 1985-1995, mulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang kita maksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Pada tahap kedua ini, kegiatan pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan terhadap isu gender meningkat. Pelatihan ini membantu menjelaskan pengertian dan isu gender sebenarnya. Berbagai LSM mulai menggunakan analisis gender dalam mengembangkan program-programnya.
Dan yang terakhir 1995 hingga saat ini. Untuk mempertahankan apa yang telah terbangun pada dua tahapan sebelumnya, maka pada tahapan ini kita terapkan dua strategi, yakni mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan strategi advokasi.
Untuk strategi pertama, perlu suatu tindakan yang mengarah pada terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setiap organisasi. Sementara untuk strategi yang kedua, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat.
Gerakan feminisme di Indonesia adalah gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil. Gerakan feminisme bukanlah gerakan yang untuk menyerang laki-laki tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki.
Hematnya, gerakan perempuan merupakan gerakan tranformasi sosial yang bersifat luas, yang merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku di masyarakat.
*Hesty Aulia Rahmi, Mahasiswa Hubungan Internasional UGM
Baca juga:
- Menyoal Eksistensialisme dalam Sistem Pendidikan
- Atas Nama Kebebasan, Perempuan Arab Mulai Merokok di Ruang Publik
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023