Fenomena Perpolitikan di Bima; Menyongsong Pilkada 2020

Fenomena Perpolitikan di Bima; Menyongsong Pilkada 2020
©Radar

Sebentar lagi kita akan melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah untuk periode 2020-2025 (Pilkada 2020). Dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Menyambut hal itu, pesta demokrasi rakyat untuk memilih pemimpin akhir-akhir ini mulai ramai-ramai dibicarakan. Kandidat-kandidat mana yang mempunyai figur dan mempunyai kemampuan untuk membangun Bima lima tahun ke depan. Siapa yang digadang-gadang maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima periode 2020-2025 mendatang.

Beberapa figur mulai muncul di permukaan. Secara terang-terangan ada yang mengampanyekan dirinya maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima. Mereka ini mulai mencari partai koalisi dan mencari pasangan dengan kandidat mana dan figur mana untuk dapat memenangkan Pilkada 2020 mendatang di Bima.

Ada figur atau kandidat yang latar belakang pengusaha, ada figur atau kandidat yang latar belakang akademisi, dan ada figur atau kandidat yang latar belakang politisi (sengaja saya tidak menyebutkan namanya). Kesemuanya mempunyai track record dan kemampuannya masing-masing.

Ada fenomena yang menarik dari figur-figur yang digadang-gadang maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima tersebut. Terutama yang digembor-gemborkan oleh media, dalam hal ini media tertentu, yang punya hubungan dengan figur-figur tersebut. Sedikit digambarkan dan dipoles, dalam bahasa saya, ditinggikan.

Sementara itu, beberapa partai politik di Bima, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan partai Nasional Demokrat (Nasdem), mengusung kadernya sendiri untuk maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima. Dan bahkan tidak menuntut kemungkinan berkoalisi dengan partai politik lain.

Seiring berjalannya waktu, sambil menunggu kongsi, perubahan politik sangat mungkin terjadi dalam waktu sekejap. Itu akan mengubah peta politik di Bima.

Berbeda dengan apa yang terjadi di masyarakat akar rumput. Terutama di masyarakat Bima pada umumnya. Lebih khususnya di masyarakat awam yang tidak paham dengan dunia politik dan media sosial.

Sejauh ini, belum ada figur-figur atau kandidat-kandidat atau calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima yang turun langsung di lapangan untuk melakukan sosialisasi secara langsung dengan masyarakat di Bima. Hal ini berbeda dengan yang digambarkan oleh media di atas. Padahal konsumsi masyarakat di Bima terhadap media sosial sangatlah rendah.

Baca juga:

Selain itu, ada yang memprediksi bahwa incumbent atau petahana akan tumbang. Mengingat, selama satu periode kepemerintahan, incumbent atau petahana selama ini tidak memberikan kemajuan yang signifikan untuk pembangunan di Bima, baik pembangunan suprastruktur maupun pembangunan infrastruktur.

Tetapi, perlu diingat bahwa politik tidak seperti matematika. Politik itu identik dengan perubahan. Dalam politik, tidak ada yang tidak berubah. Hanya perubahanlah yang tidak berubah dalam politik. Itulah rumus politik.

Sementara itu, incumbent atau petahana, yang perlu diketahui oleh oposisi, mempunyai “modal” dan “kompas” yang lengkap. Modal dan kompas itulah yang menjadi senjata atau amunisi oleh incumbent atau petahana untuk memenangkan Pilkada 2020 mendatang.

Pertama, incumbent atau petahana mempunyai power (kekuasaan). Sewaktu-waktu dalam kondisi tertentu, power itu bisa digunakan oleh incumbent atau petahana untuk memengaruhi elektoral pemilih.

Tetapi, di sini incumbent atau petahana terjebak dengan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Di sinilah power itu menjadi bom waktu bagi pemerintah itu sendiri. Selanjutnya, oposisi bagaimana memainkan kesempatan itu.

Kedua, dengan power itu, incumbent atau petahana bisa saja menekan pemilih, terutama Aparatur Sipil Negara (ASN). Psikologi pemilih seolah-olah berada di bawah bayang-bayang petahana.

Sebagai akibat dari perpolitikan itu, terjadinya rotasi di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pemerintahan sangat terbuka lebar. Fenomena perpolitikan semacam itu sangat dekat dengan kultur politik di Bima.

Ketiga, pemerintah, dalam hal ini incumbent atau petahana, memilki media sendiri. Media ini berfungsi mem-framing isu-isu baru, melancarkan propaganda-propaganda, dan membangun manuver-manuver politik baru sehingga memungkinkan terjadinya perubahan politik di Bima. Hal ini tidak bisa dimungkiri bahwa politik itu menghendaki perubahan, linear dengan arus politik itu sendiri.

Keempat, incumbent atau petahana memiliki Aparatur Negara (Polisi-TNI). Sekali-kali bisa dijadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk memenangkan pemilu. Hal ini bisa dilihat pada pemilu 2019. Bagaimana keterlibatan Polisi dan TNI pada Pilpres dan Pileg 2019 lalu. Tidak menuntut kemungkinan, hal yang sama akan terjadi di Bima.

Baca juga:

Kelima, penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sangat mungkin berkompromi dan memanipulasi data pemilih hingga menentukan siapa pemenang Pemilu.

Mengutip Joseph Stalin, “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari Pemilu. Namun, orang-orang yang menghitung vote (suara) itulah yang menentukan hasil dari Pemilu.”

Keenam, incumbent atau petahana memiliki modal yang besar dan itu dimiliki oleh incumbent atau petahana, baik modal sendiri maupun modal dari “anggaran daerah”. Dengan berbagai cara, bisa dilakukan untuk memodali biaya Pemilu dan biaya kampanye untuk memenangkan Pilkada 2020 mendatang.

Dari berbagai yang dimiliki oleh incumbent atau petahana di atas, di sinilah incumbent atau petahana menjadi pemain caturnya. Pemilih dan oposisi menjadi bidak caturnya.

Tetapi, bukan berarti kemudian oposisi, dalam arti sebaliknya, lemah dan serbakekurangan. Oposisi tentu mempunyai cara tersendiri, strategi, dan taktiknya, serta pembacaan kemungkinan kemenangan. Dari sinilah oposisi mulai menyusun strategi dan taktiknya sendiri.

Sementara itu, kecenderungan pemilih, terutama masyarakat Bima. Umumnya, cenderung pada pemilih feodal dan monarki. Bibit-bibit politik seperti inilah yang masih hidup di Bima. Di sinilah oposisi harus pandai-pandai membaca psikologi pemilih untuk meningkatkan elektoral pemilihnya.