Filsafat Perdamaian Eric Weil dan Indonesia

Filsafat Perdamaian Eric Weil dan Indonesia
©Universite de Lille

Setiap gagasan tidak terlepas dari konteks sosialnya. Pemikiran para filsuf sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan personalnya. Demikian pun yang terjadi pada Eric Weil. Ia lahir di Perchim, Jerman, pada 8 Juni 1904. Orang tuanya berlatar keturunan Yahudi.

Ketika beranjak remaja, Weil menekuni filsafat di Universitas Berlin dan Hamburg. Di Hamburg, ia juga tertarik menekuni dunia kedokteran. Pokok-pokok kajian filosofisnya adalah kajian neo-kantin dan filsafat idealisme. Itulah sebabnya ia memilih Ernst Cassirer, filsuf Jerman saat itu membimbing Weil untuk menyelesaikan disertasi doktoralnya. Pada tahun 1928, Weil meraih gelar doktor bidang filsafat dari Universitas Hamburg (Neto Wuli, 2020: 90).

Tragedi Holocaust dan Ancaman Kekerasan

Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf turut dipengaruhi oleh situasi kehidupan atau Edmund Husserl menyebut konteks ini sebagai “dunia kehidupan” (lebenswelt). Dunia kehidupan adalah pandangan hidup, berupa praktik ataupun orientasi nilai-nilai yang ada dalam satu kelompok masyrakat, yang menjadi basis untuk berpikir dan berperilaku.

Maka, sangat penting untuk memahami lebenswelt Eric Weil. Dunia pengalaman Weil turut menentukan pemikiran-pemikirannya tentang filsafat, terutama filsafat perdamain (Neto Wuli, 2020: 91).

Situasi di Jerman saat itu mulai berubah cepat dan “tidak ramah” kepada penganut keturunan Yahudi. Pasca tahun 1928, konstelasi politik saat itu mulai memunculkan stigma negatif dan kebencian kepada masyarakat Yahudi yang berada di wilayah kekuasaan Jerman. Orang-orang keturunan Yahudi mulai mendapat serangan kekerasan verbal dan perlakuan fisik yang tidak menyenangkan.

Karena itu, pada 1932, Weil mengungsi ke Prancis. Di sana ia hidup sendirian karena keluarganya masih tinggal di Jerman. Bahkan, ia kehilangan kontak dengan keluarganya.

Pada 1933, Adolf Hitler diangkat sebagai pemimpin Nazi Jerman. Ia berupaya melakukan ekspansi lebensraum, yaitu upaya penguasaan dan perluasan wilayah Eropa di bawah kendali Jerman. Hitler berusaha melakukan repopulasi wilayah Eropa dengan membangkitkan sentimen ras.

Menurutnya, tiada bangsa lain selain bangsa Jerman yang layak menyandang bangsa unggul, karena termasuk ras bangsa Arya. Hilter menganggap ras Yahudi merupakan ancaman bagi Jerman.

Karena itu, ia melakukan genosida terbesar di muka bumi, pemusnahan keturunan Yahudi yang dikenal dengan istilah Holocaust. Tragedi Holocaust berpuncak pada pembantaian enam juta keturunan Yahudi pada 1941-1944, meskipun Hitler setelah itu juga menyerang ras bangsa lain seperti Polandia Slowakia.

Kekerasan yang dilakukan oleh Hitler beranjak dari rasisme yang kuat dalam masyarakat. Menurut George M. Fredrickson, “rasisme” sering digunakan sebagai cara bebas dan tidak reflektif untuk menggambarkan perasaan negatif dari satu group etnis atau “orang” terhadap yang lainnya, juga sebagai reaksi dari sebuah sikap.

Akan tetapi, kebencian dari sebuah kelompok lainnya terkadang diekspresikan dan dilakukan berdasarkan pemikiran tunggal dan secara brutal, sehingga melampaui prasangka dan keangkuhan. Hitler mengganggap kehadiran bangsa Yahudi sebagai ancaman yang menegasi kemungkinan bangsa Jerman untuk berkuasa karena itu ia mencoba untuk mengeliminasi mereka (Neto Wuli, 2020: 90-92).

Situasi di Indonesia

Indonesia dewasa ini tidak persis dengan wajah Indonesia sebelum merdeka. Kita sudah mengetahui potret Indonesia dulu melalui berbagai media. Sebelum Indonesia merdeka, situasi saat itu sangat mencekam, berada di bawah penjajahan Jepang. Ruang gerak kebebesan sangat dipersempit oleh kolonialisme Jepang, sehingga orang Indonesia tidak dapat mengekspresikan eksistensi dirinya secara bebas. Situasi ini tidak ada diferensiasi dengan situasi kekejaman yang dialami orang Yahudi.

Penguasa Jerman membuat orang-orang Yahudi menjadi hamba dan menuruti apa saja yang diinstruksikan kepadanya. Indonesia juga mengalami situasi yang demikian. Penderitaan kekejaman ini tidak menyurutkan daya juang para pahlawan bangsa ini. Justru situasi ini memberikan daya kreatif-solutif untuk menentang kolonialisme yang terus menindas masyarakat Indonesia.

Banyak tokoh pemberani yang muncul untuk merebut kembali ruang kekebasan dan harga dirinya yang diinjak-injak oleh kolonialisme. Melalui perjuangan yang panjang dan kokoh, akhirnya Indonesia memasuki babak kehidupan baru. Kehidupan yang baru adalah kehidupan yang di mana setiap individu bisa mengeskpresikan eksistensi dirinya secara bebas bertanggung jawab.

Kita sudah beranjak ke dunia yang baru bukan mengisyaratkan bahwa kejahatan dan penderitaan sudah lenyap dari bumi Ibu pertiwi. Pada hakikatnya manusia dalam dirinya mempunyai potensi untuk menciptakan kejahatan.

Tampaknya kejahatan dan pertikaian di antara sesama belum lenyap. Misalnya, berbabagai kejahatan yang terjadi di tanah Papua. Pertikaian dan pembunuhan antar sesama warga negara Indonesia terasa sangat subur di tanah Papua. Pertikaian ini terjadi antara orang asli Papua dan non Papua.

Halaman selanjutnya >>>
Sebastianus Iyai
Latest posts by Sebastianus Iyai (see all)