Filsafat Perdamaian Eric Weil dan Indonesia

Misalnya, kasus seorang prajurit TNI bernama Ginanjar Arianda tewas tertembak di Sugapa, Intan Jaya, Papua (Senin, 15 Februari 2021) atau kasus hangat mutilasi 4 warga oleh beberapa warga yang berkolaborasi dengan 6 prajurit TNI (Timika pada Senin, 22 Agustus 2022) dan ada setumpuk kejahatan lainnya.

Selain itu, di daerah lain juga banyak orang mengalami kekerasan entah fisik ataupun seksual. Misalnya kekerasan seksual yang menimpa 14 perempuan di Alor, 18 September 2022. Potret kehidupan ini memberikan laporan bahwa kedamain dan kesejahteraan yang diperjuangkan dan direbut oleh para pendiri negara kita belum terawat dengan apik.

Mengapa hal ini bisa terjadi di negara kita? Hemat saya, jawaban atau alasan yang diberikan Eric Weil ini sangat tepat. Eric mengatakan bahwa kekerasan terjadi karena luruhnya potensi rasional, dan berkuasanya hasrat egoistik (Neto Wuli, 2020: 117). Dapat dikatakan bahwa berbagai kejahatan terjadi karena hasrat egoistis menguasai ranah ratio.

Keadaan awal manusia adalah perang semua lawan semua, yang menyebabkan manusia menjadi tak berdaya dan tidak dapat berkembang. Keadaan awal manusia yang selalu memproduksi kekerasan ini disebabkan oleh kendali hasrat yang sifatnya egoistik (Neto Wuli, 2020: 110). Akibatnya melihat orang lain sebagai penghalang yang mesti dielimasi sedapat mngkin.

Filsafat Perdamaian Eric dan Relevansi di Indonesia

Setiap filsuf memiliki keunikan paradigma terhadap suatu obyek. Aristoteles misalnya meyakini bahwa manusia adalah binatang rasional (animal rationale). Artinya, manusia memiliki kemampuan berpikir dan bernalar jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya.

Thomas Aquinas semakin menegaskan pandangan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk rational (nature rationalis) (Neto Wuli, 2020: 109). Rasio ini membimbing dan mengawasi manusia dalam mengamabil suatu keputusan dan tindakan moral. Rasio juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk bertanggunggjawab dengan setiap keputusan yang diambilnya.

Konsep Thomas Hobbes tentang manusia agak berbeda dengan Aristoteles. Menurutnya manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Kehadiran manusia selalu bersifat eliminatif atau negatif karena ia akan selalu berusaha menyingkirkan yang lain (Neto Wuli, 2020: 110).

Konsep Eric tentang manusia sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles. Bagi Aristoteles manusia berkodrat rasional sejak lahir. Namun Eric memiliki konsep berbeda karena fakta sejahra membuktikan bahwa banyak kejahatan dialami dan dilakukan oleh manusia. Dengan demikian ia menyimpulkan bahwa potensi kekerasa sudah ada dalam diri manusia sejak kecil.

Pandangan Eric ini menyiratkan bahwa manusia berkodrat rational dan irasional. Artinya bahwa kedua kodrat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan individu. Karena itu hal yang ditekankan oleh Eric adalah mengusahakan perdamain harus mulai dari diri sendiri. Katanya, kita tidak bisa menyerukan perdamain, apabila dalam kehidupan sehari-hari tidak melakukannya.

Orang yang mencintai perdamaian telah memenagkan pertarungan dengan kodrat kekerasan yang ada dalam dirinya sendiri. Perdamain tidak hanya merupakan bagian eksternal dari pribadi, tetapi bagian dari upaya seseorang mengembangkan dirinya (Neto Wuli, 2020: 111).  Ratio mengembang mandat untuk membimbing manusia untuk mengembangkan potensi dirinya.

Perwujudan potensi rasional hanya dapat dimungkinkan oleh sikap dialog. Artinya, manusia harus bisa berdialog, agar mewujudkan kodrat potensi rasional yang ada dalam dirinya. Semakin ia berdialog, maka semakin bisa menyadari akan dirinya sebagai manusia rasional. Berdialog adalah salah satu pokok filsafat perdamain Eric Weil.

Pada zaman Yunani, Socrates membiasakan dialog agar menghentikan segala argumentasi yang keliru dan sekaligus menyadarkan kaum Sofis untuk merefleksikan dirinya sendiri. Selain menyadarkan kaum Sofis, dialog juga dapat mencegah terjadinya suatu kekerasan yang berpotensi merusak dinamika hidup kolektif. Kaum sofis saat itu mereka mengabsolutkan pendapat sendiri. Mereka memaksakan kehendaknya untuk diikuti oleh semua orang. Karena itu Socrates membangun diaolog dengan mereka untuk menyadarkan kekeliruan terbesar yang dilakukan kaum Sofis.

Bagi Eric berbagai kekerasan terjadi karena sekelompok orang tertentu mengabsolutkan kehendakan pribadi dan memaksakan orang lain untuk mengikuti kemaunnya sendiri. Di sinilah menjadi sumber mengalirnya berbagai kejahatan. Kejahatan lenyap apabila setiap individu membangun dialog.

Ketika manusia berdialog, ia akan semakin mempertajam kewarasan. Hidup waras akan membuat manusia meminimalisasi potensi kekerasan dan pada saat yang sama terbuka terhadap keberadaan yang lain. Eric menegaskan bahwa ketika individu tidak terbuka terhadap yang lain maka ia akan hidup irasional. Artinya, ketika manusia tertutup jalan pada dialog, maka ia akan terdeterminasi oleh hasrat, sentimentalitas, dan nafsu egoistik (Neto Wuli, 2020: 113).

Karena itu untuk mengatasi persoalan ini, Weil menekankan peranan filsafat. Filsafat adalah ilmu berpikir lurus dan benar. Hal ini mengandaikan adanya dialog. Dialog ini penting untuk membentuk setiap pribadi menjadi rasional.

Pokok filsafat Weil ini sangat cocok untuk kita terapkan di Indonesia pada umumnya dan pada khususnya Papua untuk mengatasi berbagai persoalan kejahatan yang terus tercipta ini. Sejak lama Papua menjadi lahan subur bagi kejahatan. Tampaknya untuk mencegah dan memutuskan persoalan ini, almarhum Pater Doktor Neles Tebay, Pr sudah menyadari dan mengimplementasikan filsafat Perdamain Eric, di mana pokok pikiran menekankan dialog dalam upaya menuntaskan mata rantai suatu persoalan rumit.

Baca juga:

Berkaca pada pandangan Eric ini, Neles sudah mencetuskan salah satu organisasi yang dinamakan Jaringan Damai Papua (JDP). Organisasi ini berusaha keras untuk mengadakan dialog Jakarta-Papua dalam rangka mengdialogkan berbagai persoalan yang terjadi di tanah Papua ini. Bagi Neles dialog ini tidak dapat mengorbankan atau merugikan pihak manapun. Neles optimis bahwa dengan dialog ini bisa memberikan hawa sejuk bagi Papua. Karena itu, supaya harapan awal pendiri organisasi ini dapat terwujud para penguasa negara dan orang asli Papua perlu terus menerus membangun dialog yang lebih intensif.

Hemat penulis, sebelum membangun dialog yang intensif, alangka bijak apabila setiap individu yang terlibat dalam dialog menanggalkan segala prasangka buruk terhadap yang lain. Dan mendahulukan dialog. Jika tidak cita-cita kolektif tidak akan mencapai pada kulminasi kedamain dan ketentraman.

Selain itu, setiap individu perlu memiliki sikap peka dan tulus mendengarkan yang lain. Mendengarkan mangandaikan adanya suatu sikap memahami, yang disebut oleh Schleirmacher “lingkup” atau “empati psikologis (Hardiman, 2015: 60). Karena itu perlu setiap individu memiliki hati yang peka dan tulus.

Sebastianus Iyai
Latest posts by Sebastianus Iyai (see all)