
Telah ditelusurinya lorong itu hingga letih
Kemudian tanpa basa-basi ‘selamat pagi’
Disodorkannya sebuah kaleng kecil,
Persis di samping saku celana
Yang masih menjilid tangan kirimu.
Ada bahasa yang terurai lewat parasnya
Tak perlu pula ia utarakan inginnya yang sederhana itu
Hanya tidak tega bila tuan berlama-lama
Menawarkan harga raut wajahnya.
Catatan Hari Tua
: Opa Don Ndudung
Takdirku kini
Sungguh hanya untuk menghayati
Dentuman jarum detik
Yang berkelana pada jam dinding
Di ruang tak berkeluarga
Atau untuk mencintai kasur dan bantal
Yang setia mendengarkan
Di saat aku mencurahkan isi hatiku
Ketika malam hanya datang membawa sepi
Dan sunyi menerorku dari bibir pintu.
Luka ini memang tak sedikitpun berdusta
Sebab hari tua selalu tak pernah alpa
Jika usia manusia tak takluk
Pada kematian masa muda.
Tapi, sejujurnya hanya satu yang aku tahu:
Waktu tak pernah kompromi
Tak pernah kenal basa-basi menjadi tuan
Atas nasib manusia pada klimaks
Sandiwaranya
Dan saat aku merasa hidup ini
Terlalu sempurna untuk kunikmati
Waktu menarik diriku sepenuhnya
Dari segala keramaian
Menuju titik sediam ini
Sementara anak-anakku asyik
Merayakan hidupnya dengan sejuta suka
Pada jantung siang juga malam
Raga yang rapuh ini hanya bergelantungan
Pada ingatan manis masa muda itu.
Ah, masa kanak-kanak telah lenyap
Bersama deretan tahun yang gugur
Masa muda yang penuh huru-hara
Telah luntur dari tubuh waktu
Masa paruh baya yang indah
Telah candu meniduri anak-anak itu
Hanya masa tua yang kini kugenggam
Perlahan ia menggiringku dekat
Menuju bibir kematian.
Siluet 1
Di hadapan pandanganku
Engkau berdiri di antara tumpukan barang
Yang entah, aku tak begitu teguh mengenalnya.
Remang cahaya tak cukup perkasa
Ruangan kecil ini melahap segala berkas dan biasnya
Yang kian tampak tak jelas. Redup.
Tak ada suara pun gerak yang sempat terjalin
Di antara kita berdua semua menjelma hitam
Ada hamparan gelap yang tegas memangkas ruang
Diam-mu membangkitkan resah dan risau
Kata hatiku pun basah dalam lautan tanya
Menghayatimu, aku tenggelam
Di tempatku aku begitu sibuk menerka rupamu
Adakah engkau sibuk memikirkan diriku juga?
Siluet 2
Sebenarnya ada yang tak sempat
Diucap bibir mungil ini
Tentang aku yang memangkas jarak pandangmu
Yang entah sampai di mana
Lalu menyiratkan tanda tanya
Pada guratan jidatmu.
Seperti berlayar ke laut dalam
Menanggalkan kenangan yang bercucuran air mata
Kita gelisah
Kata menjadi letih bersuara
“Maaf, aku tak mengerti bahasamu!”
Baiklah,
Kita nantikan saja cahaya menenangkan
Gelap yang perkasa ini
Kita nantikan siapa akan menyapa siapa
Kita nantikan hari tanpa lelah menghayati
Tanda-tanda tanya yang menjejali ruang ini
Kita akan tiba
Kita pasti sampai
Pada waktu tanpa celoteh
“Kau ini bicara apa?”
Pada Sebuah Perjamuan
Mereka datang dengan seribu dusta di tangan
Hadir tanpa sepatah bismilah
Atau menuturkan selamat kepada pucuk malam
Hanya warna raut wajah yang terlalu mudah Kaubaca
Berharap Tuan dapat menukarkannya
Dengan segenggam remah berkat di atas meja perjamuan
Hingga purna segala murka Farisi
Yang memandang-Mu penuh geram.
- Gadis Kecil - 17 Mei 2020
- Memoar - 3 Maret 2020