
Nalar Warga – Bertahan dengan potensi total loss atau justru nekad dan kemudian berani ambil putusan meski PASTI mengalami rugi, itu alamiah sebuah strategi. Itu nalar sebuah pilihan.
Ketika suatu saat dulu Nasdem pernah ambil sebuah putusan (memilih Anies jadi bacapresnya), itu bukan tanpa strategi, itu PASTI berdasar matang sebuah olah pikir dengan pendahuluan debat dari banyak isi kepala.
Untung dan rugi sudah masuk dalam paket debat itu.
Bahwa ada tiba-tiba muncul banyak nilai atau ukuran yang membuat kita merasa pantas untuk berdebat terkait untung rugi partai itu, itu berangkat dari sisi pandang jendela milik orang lain. Jendela rumah tetangga yang angle-nya tak sama dari cara Nasdem melihat.
“Jadi, Nasdem untung atau rugi?”
Setelah berjalan kurang lebih 6 bulan (dihitung sejak partai itu mencalonkan Anies), hitung-hitungan untung dan rugi itu memang mulai terlihat.
Sepertinya, bila dilihat dari sisi jendela tetangga, mereka rugi. Dari luar, para penghuni yang berada di dalam rumah itu terlihat sedang pusing tujuh keliling.
Bukan masalah reshuffle (meski iya juga sih), mereka yang kemarin duduk dan nanti akan diganti, ada juga rasa takut dikejar karma. Dikejar hukum, misalnya.
Baca juga:
- Nasdem Lebih Suka Calon yang Pernah Terjerat Isu Korupsi daripada Bermulut Kontroversial
- Ridwan Kamil Menghambat Suara Prabowo dan Anies di Jawa Barat
Itu lumrah. Itu biasa terjadi. Ada banyak kisah bahwa setelah seorang menteri diganti, misalnya, tak lama kemudian, buruk kelakuannya selama menjabat diceritakan. Apa yang kemudian terjadi, Anda semua tahu.
Dan itu memang tampak dalam banyak tanda, baik kelompok maupun personal. Para petinggi Nasdem tiba-tiba bertemu dengan Koalisi Indonesia Raya Gerindra dan PKB, tak mungkin tanpa sebab.
Nasdem butuh dekat dengan paket Gerindra dan PKB untuk menawarkan Anies jadi calon Presiden jelas tak masuk akal. Koalisi itu sudah mapan dengan syarat Prabowo sebagai capres. Tidak ada yang lain.
Padahal, bila bangunan koalisi 3 partai Nasdem, PKS, dan Demokrat dapat dikatakan sudah mendekati final, itu jelas tampak dari pernyataan AHY. AHY baru saja dikabarkan sudah tak kaku lagi dengan syarat dirinya harus jadi cawapres.
Sebelumnya, nasib koalisi itu selalu bertemu jalan buntu. Nasdem bersyarat kaku bahwa cawapres Anies tidak boleh dari kader partai pendukung, namun di sisi lain Demokrat tetap ngotot AHY harus cawapres.
Pun PKS, beberapa hari yang lalu, partai itu mulai bisa menerima syarat Nasdem dan sepertinya juga telah siap memberi ruang pada Anies untuk memilih dan menentukan sendiri cawapres yang kelak akan mendampinginya.
Seharusnya, ketika syarat utama itu sudah dipenuhi para pihak, Nasdem gelar tenda dan pesta dilakukan. Ini tidak! Nasdem justru datang ke koalisi Indonesia Raya.
Seperti seorang yang melamar dan lalu lamarannya diterima, dia justru jadi galau dan baru mulai berpikir apakah niatnya untuk nikah itu berangkat dari kebutuhan atau hanya sekadar kebelet. Ini kacau.
Halaman selanjutnya >>>
- Mungkinkah Agnes Dapat Dipidana? - 28 Februari 2023
- Transformer - 6 Februari 2023
- Jalan Panjang Demokrasi Kita - 2 Februari 2023