Gangubai, Stigma dan Diskriminasi Pelacur

Gangubai, Stigma dan Diskriminasi Pelacur
©Deadline

If Gangu can dream, why can’t Roshni.” Demikian kalimat yang diucapkan Gangubai, seorang pelacur yang beralih status menjadi mucikari di Kamathipura.

Kalimat tersebut tentu merupakan gambaran kuat bahwa setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, berhak dan memiliki, serta mengejar mimpinya, sekalipun terlahir dari seorang pelacur.

Film Gangubai Kathiawadi (2022) berkisah tentang perjalanan hidup seorang perempuan bernama Gangga Harjeevandas dari Kathiawadi, Gujarat India, yang kabur dari rumahnya menuju Mumbai dalam rangka mengejar cita-citanya menjadi seorang artis terkenal. Namun sayang, pacarnya menjual kepada seorang germo bernama madam Sheela (diperankan Seema Pahwa) seharga seribu rupe.

Pada awalnya, Gangga sangat sulit menerima kenyataan pahit dalam hidupnya, terlebih ia berasal dari keluarga dengan latar belakang kelas ekonomi menengah ke atas. Akan tetapi, setelah melayani tamu pertamanya dari tujuh hari selama seminggu, ia mendapatkan keyakinan bahwa pada suatu saat nanti, ia akan membeli rumah bordil dan memimpin Kamathipura.

Setelah benar-benar menikmati perannya sebagai seorang pelacur dan dicap sebagai salah satu pelacur Kamathipura, Gangga mengubah namanya menjadi Gangu. Nama Gangu dipilih karena dianggap sebagai bentuk matinya kesucian dan hilangnya harga diri yang ada pada diri Gangga.

Ia merasa tak pantas dengan nama Gangga yang dianggap sebagai simbol kesucian bagi kebanyakan masyarakat India. Gangu pada akhirnya menjadi seorang germo yang sangat berpengaruh dalam dunia gelap prostitusi di India.

Film Gangubai Kathiawadi ini diangkat dari sebuah buku yang ditulis S. Husain Zaidi berjudul Mafia Queen of Mumbai, dari kisah nyata yang berlatar bekalang tahun 1960-an, mengupas perjuangan perempuan di rumah bordil demi mendapatkan hak-haknya di tengah-tengah masyarakat India.

Film yang disutradarai dan sekaligus merangkap penulis skenario Sanjay Leela Bhansali dan dibantu Prakash Kapadia, serta Utkarshini Vashihta ini, dibintangi oleh Alia Bahtt sebagai Gangubai Kathiawadi, dan Ajay Devgn yang berperan sebagai seorang Muslim taat sekaligus mafia yang disegani dan takuti bernama Rahim Lala.

Baca juga:

Meskipun film ini diangkat dari kisah nyata, tetap sebagaimana film-film Bollywood pada umumnya, yaitu tetap ada musik, nyayian dan tari-tarian yang menghiasi sebagai identitas film Bollyhood. Oleh karenanya, penyampaian pesan moral, perdamaian, keadilah sosial, dan persamaan gender, serta menempatkan pada persoalan kemunusiaan, seperti yang diperjuangkan Gangubai dalam film ini.

Tentu, film Gangubai Kathiawadi ini hendak menampilkan realitas kehidupan perempuan yang menjadi pelacur bahwa berbagai stigma dan dikriminasi selalu melekat pada pekerja seks. Oleh sebab itu, sudah bukan rahasia lagi kalau dunia prostitusi atau pelacur memiliki konotasi yang selalu melekat dengan perempuan.

Dan ini, diakui atau tidak, mayoritas pelaku dalam praktik pelacuran adalah perempuan. Kendati demikian, ada pula sebagian peran-peran kaum laki-laki di dalamnya.

Keberadaan perempuan dengan segala daya seksualitasnya memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam mengalami eksploitasi tubuh dibandingkan laki-laki dari relasi jejaring kuasa gender yang memang sudah timpang di tengah-tengah masyarakat. Selain mengalami eksploitasi, pelacur juga mengalami marginalisasi sosial, dan yang paling terburuk adalah dikorbankan demi jejaring kuasa relasi gender.

Sebenarnya keberadaan pelacur bukan fenomena baru dalam tatanan sosial ini, melainkan sudah ada sejak lama. Keberadaannya sudah ada di tengah kehidupan masyarakat, atau tepatnya sudah ada sejak planet bumi ini ada. Dengan kata lain, profesi sebagai pelacur telah ada dan setua keberadaan manusia di muka bumi ini.

Eksisnya dunia pelacur hinnga kini sering kali disebabkan nafsu seksualitas abnormal, korban pemerkosaan, dan ambisi besar pada diri perempuan untuk mendapat status sosial yang lebih tinggi tanpa harus kerja keras, serta dijual keluarga, pacar, terbawa arus pergaulan bebas, tekanan ekonomi hingga menjual diri demi agar kebutuhan ekonominya terpenuhi, sebagaimana yang tergambar dalam film ini.

Keberadaan perempuan dalam dunia prostitusi sering kali melambangkan kemenduan pandangan dan sikap di dalam masyarakat. Pada satu sisi, misalnya, perempuan yang terlibat langsung maupun yang tidak dalam dunia ini sering didapati umpatan-umpatan, dihujat, dan direndahkan dengan kata-kata kotor. Tapi, pada satu sisi lain, perempuan yang terlibat dalam dunia pelacur kehadirannya dibutuhkan, dan bahkan tak sedikit yang menikmatinya.

Stigma dan dikriminasi tak hanya selalu melekat pada pekerja seks, melainkan juga pada kehidupan anak-anaknya, baik dari segi sosial pertemanan, terutama dalam bidang pendidikan yang seharusnya juga mendapatkan pendidikan yang layak. Gangubai sebagai ketua mucikari di Kamathipura memperjuangkan hal tersebut.

Halaman selanjutnya >>>
Syahuri Arsyi
Latest posts by Syahuri Arsyi (see all)