
Sambil menunggu Kik selesai mengajar, Gaspar membiarkan Cortazar menepi ke sebuah bar. Ia masuk dan mendapati di bar itu sedang berlangsung acara diskusi. Ia tidak tertarik sedikit pun terhadap diskusi itu.
Di matanya, apa yang dilakukan orang-orang di diskusi tersebut kelewat berlebihan dan ia di dalam hatinya mengolok-ngolok mereka dengan caranya yang cerdas dan berwawasan. Barangkali sebagai bagian dari acara diskusi, di bar itu dibagikan bir gratis. Hal inilah yang menarik perhatiannya.
Ia duduk di dekat seorang perempuan dengan aroma parfum yang didefinisikannya sebagai aroma yang akan menggiringmu pada opini bahwa si perempuan itu anak pintar dan anak baik. Aroma itu dinilainya tidak terlalu kuat, tetapi rupanya ia bersin juga.
Si perempuan refleks menoleh ke arahnya dan tersenyum, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke pembicara. Tingkat fokus si perempuan ke pembicara barangkali adalah hal kedua di bar tersebut yang menarik perhatiannya.
Sampai di situ, semuanya baik-baik saja, hingga akhirnya percakapan dua orang lelaki di belakang Gaspar dimunculkan secara sempurna tanpa intervensi atau apa pun dalam dua setengah halaman.
Di percakapan itu, dibahas beberapa hal tentang Budi Alazon, yang dengan ringan dan santainya dihubung(-hubung)kan dengan Ahmad Dhani, Soeharto, feminisme, gender, LGBTQ, Tuhan. Percakapan dua orang tersebut benar-benar dimunculkan secara sempurna dan Gaspar baru memunculkan dirinya kembali setelah disebutnya kata Tuhan memantik imajinasinya. Percakapan dua lelaki tersebut, dengan demikian, adalah hal ketiga dari bar tersebut yang menarik perhatiannya.
Sayangnya, sementara dua hal sebelumnya tadi tidak terasa artifisial, yang ketiga barusan terasa artifisial. Mengapa begitu? Sebab kemunculannya kelewat sempurna, padahal sebelumnya perhatian Gaspar tengah terpusat pada si perempuan.
Dan kita sebagai pembaca juga tidak diberi petunjuk apa pun soal ketertarikan Gaspar terhadap topik pembicaraan dua lelaki itu—Budi Alazon; petunjuk tersebut baru diberikan setelahnya, yakni ketika si perempuan tadi tiba-tiba berdiri dan melepas kardigannya dan mengikatkannya di pinggangnya.
Ini lumayan mengganggu, saya kira. Dan sebagai pembaca yang rewel, sah-sah saja kita mendengus seperti Siluman Kerbau di serial Kera Sakti. Akan berbeda jika, misalnya, kehadiran Gaspar masih terasa di sepanjang percakapan tersebut; ia bisa menanggapi atau bereaksi terhadap apa-apa yang dikatakan dua lelaki itu tanpa mengintervensi mereka, yakni dengan hanya menggumamkannya di dalam benaknya saja.
Itu akan mengenyahkan sifat artifisial percakapan dua lelaki tadi. Dan pembaca pun, pastilah, akan terhindarkan dari kehilangan sosok Gaspar si penutur, si pusat di sepanjang cerita, ruh dari kisah-kisah yang bergulir dalam novel 24 Jam Bersama Gaspar karya Sabda Armandio ini.
___
Yadi bercerita tentang bagaimana Lazarus dihidupkan kembali oleh Yesus. Ibunya adalah Lazarus yang bangkit lagi minus kehadiran Yesus. Sindrom Lazarus.
Tiga kalimat tersebut kita temukan di halaman 88.
Yadi, sebagaimana dideskripsikan Gaspar sebelumnya, adalah orang yang gemar mengisahkan ulang cerita-cerita lama untuk kemudian menganalogikannya dengan apa yang sedang terjadi atau sedang dihadapinya. Kadang keautentikannya ini terasa istimewa. Dibutuhkan pengalaman membaca atau mendengar yang tidak sedikit untuk bisa mengisahkan cerita-cerita lama itu seolah-olah refleks semata; cerita-cerita itu seperti telah tertanam dan melekat di benak Yadi dan menjadi bagian dari dirinya.
Pertanyaannya adalah, dari mana keautentikan itu terbentuk? Profesi dan keseharian Yadi yang dituturkan Gaspar sama sekali tak mampu menjelaskannya. Dan ia pun seorang muslim yang tumbuh di lingkungan muslim sehingga akan lebih terasa natural jika ia mengisahkan ulang cerita-cerita di dalam Al-Qur’an ketimbang Alkitab, misalnya.
Kisah tentang Lazarus tadi, menurut saya, akan jauh lebih masuk akal jika keluar dari lidah Gaspar, mengingat ia seorang penulis cerita—yang pastinya juga seorang pembaca cerita.
Lama-kelamaan, keautentikan Yadi ini jadi terkesan sesuatu yang artifisial, sesuatu yang sengaja dibuat ada untuk membuat petualangan Gaspar semakin penuh-sesak dengan cerita-cerita. Intertekstualitas? Boleh jadi. Tetapi, ia mengganggu, saya kira, sebab ia terasa (sangat) artifisial.
Bukan hanya sosok Yadi yang pada akhirnya terasa artifisial, sosok-sosok lain pun begitu.
Njet, misalnya. Ia seorang montir, seorang penganut Saksi Yehuwa. Identitasnya yang pertama membuatnya batal mengakhiri hidupnya sebab entah bagaimana, secara ajaib, wujud Cortazar yang membuatnya terkagum-kagum seperti dalam sekejap menyapu semua kesedihan dan kepedihan yang telah dan tengah melandanya, atau setidaknya meniadakan hasrat bunuh dirinya yang sebelumnya pastilah meluap-luap.
Identitasnya yang kedua, sementara itu, seperti menjadi alasan sempurna bagi Gaspar untuk sedikit mempermasalahkan perlakuan tidak baik orang-orang kristiani pada umumnya terhadap para penganut Saksi Yehuwa, juga untuk sedikit mengemukakan pandangannya soal agama dalam realitas manusia.
Kedua identitasnya itu, di mata saya, seperti bahan baku semata; sesuatu yang sudah direncanakan ada untuk diolah, tetapi hasil olahannya tidak sebuah sajian sempurna, belum sebuah sajian sempurna. Sesuatu yang artifisial, dengan kata lain. Dan hal serupa pun bisa kita dapati pada diri Cortazar.
Oleh Gaspar, Cortazar selalu dianggap bukan sepeda motor; lebih tepatnya, bukan sekadar sepeda motor. Ia memang berwujud sepeda motor, tetapi di dalam dirinya bersemayam Jin Citah yang membuatnya—ini menurut Gaspar—memiliki kehendak bebas.
Memang, di sepanjang cerita kita beberapa kali disuguhi adegan di mana Cortazar bertindak di luar perintah atau keinginan pengendaranya, dan di satu bagian novel kita pun disuguhi masa lalu Cortazar yang di sana kita menemukan bagaimana Jin Citah itu bisa sampai merasukinya dan tetap bertahan di dalam tubuh-mesinnya.
Masalahnya, sajian masa lalu Cortazar ini terlalu terasa dibuat-buat; kurang detail, kurang sabar; kurang memberi dampak pada kisah hidup Gaspar sendiri; jatuhnya seperti dongeng belaka. Dan kita sebagai pembaca, akibatnya, seperti sengaja dibawa ke sebuah ambang, sebuah situasi yang bukan saja tidak kentara tetapi juga tidak jelas mana yang sungguhan mana yang bualan.
Memang, kita bisa saja menerimanya, tetapi agaknya setelah melakukan sekian pemafhuman lebih dulu, dan mungkin sedikit terpaksa—atau pasrah. Sesuatu artifisial. Sesuatu menonjol yang kehadirannya di hadapan kita masih terasa kasar; tidak benar-benar menyatu dengan sajian utamanya.
___
Sesuatu artifisial itu juga terasa ketika Gaspar memberitahu kita, secara tak langsung, motif sebenarnya dari perampokan yang ia rencanakan. Semua rupanya tentang sebuah kotak hitam dan seorang anak perempuan (atau remaja perempuan) bernama Kirana, tentang kebencian dan dendam atas perlakukan Wan Ali—si pemilik toko yang akan ia rampok—terhadap Kirana, tentang kurioritasnya yang tinggi atas apa-apa yang dtuliskan Kirana untuknya di lembaran-lembaran kertas di dalam kotak hitam itu.
Bagian ini, harus saya akui, barangkali adalah bagian terbaik dari novel ini; sesuatu yang benar-benar bisa membuat diri kita merasa kosong lalu sekejap terisi penuh lalu kosong lagi lalu terisi lagi dan seterusnya. Yang jadi masalah adalah, kemunculannya terasa tiba-tiba. Hampir-hampir tiba-tiba.
Memang, kehadiran Kirana sudah terasa di beberapa bagian sebelumnya, yakni saat Gaspar menceritakan sebagian masa lalunya tadi. Namun, menurut saya, kehadiran Kirana ini, meski samar, mestinya sudah terasa juga di awal-awal cerita ketika Gaspar berhadap-hadapan dengan Wan Ali, atau saat ia memberitahu kita ketertarikannya akan kotak hitam itu.
Saya melihatnya demikian karena di bagian terbaik yang saya singgung tadi terasa sekali dendam dan kebencian dan kepedihan Gaspar atas nasib buruk yang menimpa Kirana. Sebelum sampai pada bagian ini, sama sekali tak terasa dendam dan kebencian dan kepedihan tersebut.
Ini berarti Gaspar adalah seseorang yang sangat lihai menyembunyikan apa-apa yang dirasakannya, atau ia kelewat menyebalkan saja; hampir di sepanjang cerita ia mempermainkan kita dengan menggiring kita seperti anjing menggiring domba dan akhirnya membenturkan kita pada apa yang dengan sangat sempurna ia tutup-tutupi. Terasa artifisial.
Sungguh terasa artifisial. Seperti sebuah kejutan yang meski berhasil mengejutkan kita dan memberi kita sesuatu, namun di saat yang sama membuat kita bingung, kecewa, bahkan kesal.
Gaspar. Sosoknya ini memang eksentrik dan mudah dinikmati dan mudah disukai dan mudah melekat di benak kita; yang bisa menandinginya dalam hal ini barangkali hanyalah Bu Tati. Sayangnya, terasa seakan-akan hal-hal lain yang muncul dan tersaji di sepanjang cerita adalah untuk mendukung eksistensinya semata, untuk membuat petualangannya yang seru itu ada semata.
Namun setidaknya, sosok Gaspar sendiri tidak terasa artifisial; justru sangat nyata, sangat hidup, sangat bisa kita wujudkan dalam benak kita. Dan cara ia mendeskripsikan sesuatu dengan mengolok-olok itu mungkin perlu digarisbawahi.(*)
*Ardy Kresna Crenata tinggal di Bogor. Ia bergiat di Komunitas Wahana Telisik Seni & Sastra. Buku puisinya, Kota Asing, terbit Juni lalu. Kumpulan ceritanya, Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku, terbit September ini.
___________________
Artikel Terkait:
- Feminisme di Indonesia: Sekilas Sejarah dan Dinamika
- Bukan Zaman Buku
- Tetralogi Buru, Roman Sejarah Indonesia Awal Abad 20
- Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi - 28 Februari 2023
- Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar - 23 Februari 2023
- Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal - 22 Februari 2023