
“Pada era digital ini, kita tidak lagi berbicara sambil menggunakan bahasa tubuh. Kita hanya bisa menuliskannya.”1 (Erica Dhawan)
Kultur pergaulan hari ini ialah klik dan notifikasi sosialnya ialah online. Peradaban baru yang menuntut adab baru. Jagat digital mereduksi ekspresi ke dalam gambar dan simbol. Sopan santun biasa dunia sehari-hari diwakilkan oleh bahasa baru yang sulit mempromosikan kebenaran.
Kita menulis pesan berupa emoji dan emoticon. Kita ucapkan belasungkawa menggunakan emoji dan merasa cukup dengan itu. Perasaan manusiawi kita dieksploitasi oleh gambar, tetapi entah mengapa, gambar itu telah mengolah desire kita sehingga menimbulkan kegairahan dalam klik dan membaca emoji. Di era ini, kapan dan di mana pun tetap aktual gestur digital kita – aku klik maka aku ada (premo ergo sum).
Apakah kita benar-benar jujur dan tulus dengan aktualitas bahasa tubuh digital ini? Klik memekarkan spontanitas cara ucap atau membatalkan jangkauan ekspresi manusia yang lebih dalam?
Kita tetap butuh panduan untuk berjalan di lalu lintas digital yang tidak punya trotoar, tanpa traffic lights. Panduan diharapkan memajukan komunikasi, menumbuhkan rasa saling percaya, dan mengupayakan kerja sama dalam jaringan untuk kebaikan, kebenaran, dan keindahan.
Karena itu, Erica Dhawan, dalam bukunya Digital Body Language: How to Build Trust and Connection, No Matter the Distance, menekankan empat prinsip bahasa tubuh digital: memberi penghargaan nyata, berkomunikasi dengan hati-hati, berkolaborasi dengan penuh percaya diri, memercayai sepenuh hati.2
Mengapa mesti mengajukan respek, sikap hati-hati, dan sikap percaya? Apakah relasi virtual berpeluang menciptakan dekadensi moral dan memuramkan kritisisme?
Pola transmisi infromasi yang mengalir cepat turut menghanyutkan daya fokus dan keasyikan scrolling melemparkan kita pada tempat maya yang nihilsitik. Erica Dhawan memberikan afirmasi dengan sinyal pesimisme yang beralasan bahwa teknologi menciptakan topeng3 dan layar monitor telah mengubah bahasa tubuh kita4. Apakah kita betul sadar dengan kondisi ini, bahwa dengan klik kita bertopeng dan berkaca pada layar HP memantulkan wajah kita yang tanpa nama?
Jejak digital kita akurat terbaca dan awet dirawat alogaritma, tetapi subjektivitas kita dieliminasi begitu serius. Kita ibarat wayang tanpa tata wicara si dalang, suatu pentas bisu karena kehilangan panggung dan tanpa sutradara, seorang rasional bernama animal rationale.
Baca juga:
Kita sedang dipermainkan aplikasi. Kita teralienasi. Harga mahal yang mesti dibayar ialah: harga diri. Mungkin tak lekas lunas sebab kita lebih istimewa di dinding story dengan ribuan comments, likes, subsribers, views. Artifisilitas ini eviden mulai dari ruang privat sampai ruang publik.
Bahasa Tubuh Digital – Bahasa Mesin atau Bahasa Manusia?
Kita mendapat identifikasi terminologis – mungkin saja membanggakan – sebagai manusia digital (homo digitalis). Manusia yang mengafirmasi dirinya dengan tindakan klik. Klik melahirkan bahasa tubuh digital. Pertanyaannya, bahasa mesin atau bahasa manusia?
Si A mengirim pesan kepada si B lewat Email, WhatsApp, Messenger, Instagram, Facebook, dan lain sebagainya. Proses komunikasi yang termediasi. Kadang pengirim pesan dilupakan. Pertanyaan siapa rupanya kurang krusial dan digantikan dengan di mana. Bukan pesan siapa, tetapi pesan di mana.
Karena itu (misalnya) sering kali pembicara langsung mengatakan saya membaca pesan di WhatsApp atau ada pesan di WhatsApp bahwa …. Subjek tak terbaca, person bukan apa-apa. Manusia mungkin saja tak berjejak di dalam beberapa riwayat aplikasi media sosial.
Lalu apakah logis jika mengajukan proposisi ini: bahasa tubuh digital sebagai bahasa mesin cerdas. Secara teknis bisa jadi demikian, tetapi dalam bingkai relasionalitas itu tetap merupakan tegur sapa sosial manusia yang dibantu oleh media teknologi informasi dan komunikasi.
Bahasa tubuh digital menampilkan karakter digital dari ekspresi manusia, yang tentunya mengikuti pola-pola yang telah diprogramkan oleh basis kerja teknologi. Jika tidak melek teknologi, mudah sekali salah paham dan menimbulkan diskomunikasi. Kita butuh hermeneutika dan daya tafsir yang cerdas untuk membaca bahasa tubuh digital.
Erica Dhawan menulis, “Bahasa tubuh digital memberi kita cara sistematis untuk memahami tanda-tanda dari dunia digital sebagaimana kita berusaha menafsirkan tanda-tanda yang ada di dunia fisik. Keterampilan dan pengatahuan tentang bahasa tubuh digital membuat kita mengenali dan menjelaskan perkembangan norma dan petunjuk dalam komunikasi digital yang berlaku di dalam organisasi, dan pemahaman itu akan membantu kita menetapkan harapan bersama dalam komunikasi jarak jauh.”5
Inti pokok yang disampaikan ialah keterampilan menafsir dan pengatahuan membaca tanda-tanda digital mesti benar-benar kompoten demi komunikasi digital yang bisa saling mengerti satu sama lain. Posisi ini mengandaikan orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran komunikasi memiliki kecakapan yang cukup tentang bahasa tubuh digital, terbiasa dengan cara komunikasi itu, dan mengikuti pola umum dalam ukuran yang familiar dan bisa dipahami. Kata yang dipakai, bahasa yang disampaikan mesti jelas dan tegas.
Halaman selanjutnya >>>
- Stadion Kanjuruhan, Colesseum-nya Indonesia - 10 Oktober 2022
- Ulang Tahun Seorang Perempuan - 4 Oktober 2022
- Kesetaraan Keakraban - 2 Oktober 2022