
Gibah merupakan suatu perbuatan dengan membicarakan aib atau keburukan orang lain. Gibah adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam dan termasuk perbuatan dosa besar, sekalipun aib yang dibicarakan itu benar dan sesuai dengan kenyataan namun tetaplah ini merupakan perbuatan zalim.
Meskipun perbuatan ghibah ini sulit kita dihindari, namun kita tetaplah harus berusaha untuk menghindari perbuatan dosa ini. Dalam Islam sendiri, menganalogikan para pelaku ghibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt surah Al-Hujarat 12 sebagai berikut:
“Dan janganlah sebagian kalian ghibah (menggunjing) sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kalian akan merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.”
Gibah menjadi suatu budaya yang tidak lepas dari masyarakat desa, ataupun masyarakat kota, baik dilakukan secara lisan ataupun tertulis dan biasanya terjadi pada ibu rumah tangga, para remaja, para pekerja karier ataupun buruh, bapak-bapak, bahkan juga di kalangan lanjut usia, mereka semua memiliki kebiasaan menceritakan aib orang lain atau hal-hal yang belum tentu benar mengenai orang yang digunjingi itu.
Di wilayah pedesaan, ibu-ibu rumah tangga biasanya melakukan ghibah pada waktu pagi saat belanja sayur menjelang, karena sebagian besar wanita di desa hanyalah menjadi ibu rumah tangga yang tentu saja kegiatan sehari-harinya sekadar memasak, merawat anak, dan mengurus rumah.
Hal ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sebagian waktunya dihabiskan hanya untuk bekerja hingga sore hari, bahkan ada yang sampai malam hari. Maka keadaaan yang seperti ini juga tidak menutup kemungkinan untuk tidak melakukan ghibah, bisa saja mereka melakukan ghibah pada saat jam istirahat kerja dan biasanya dihabiskan untuk ngobrol, makan siang, ataupun sekadar bermain handphone.
Memang seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat perkotaan itu sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan. Dari segi karakteristik saja sudah berbeda, apalagi kulturnya.
Biasanya masyarakat pedesaan diidentikkan dengan masyarakat yang terbelakang atau masyarakat yang belum tersentuh arus modernisme, sedangakan masyarakat perkotaan diidentikkan dengan masyarakat yang berpikir maju dan modern. Demikianlah anggapan sebagaian orang.
Padahal kalau kita mau menelisik lebih jauh lagi, hari ini kita tidak bisa mengkotak-kotakkan antara masyarakat kota dan desa. Karena jika kita lihat sekarang ini, justru yang terjadi adalah pembauran masyarakat sehingga masyarakat pedesaan semi kota.
Masyarakat kota bisa disebut masyarakat urban karena kebanyakan orang desa mencari pekerjaan dengan gaji yang besar di daerah perkotaan, maka di kota sangat majemuk masyarakatnya, dari berbagai macam suku dan etnis berkumpul menjadi satu dan itu berjalan begitu saja secara alami.
Baca juga:
Maka kata Talcott Parsons, masyarakat merupakan jalinan sistem yang ada di dalamnya serta berbagai fungsi yang bekerja seperti norma-norma, nilai-nilai, konsensus dan bentuk kohensi sosial. Berjalannya fungsi tersebut berbeda-beda dan disebut spesialisasi, yang di mana setiap fungsinya bersifat saling menopang dan sinergi.
Kembali ke topik tentang gibah. Seperti kita tahu bahwa masyarakat pedesaan lah yang biasanya melakukan gibah. Alasannya yaitu masyarakat desa biasanya lebih banyak waktu untuk berkumpul atau jagong sehingga waktu berkumpul itu mereka membicarakan apa pun, mulai bicara soal ternak, pertanian, ataupun menggunjing orang lain. Fenomena seperti ini sangat lazim di daerah pedesaan.
Lalu bagaimana dengan masyarakat perkotaan? Apakah mereka tidak melakukan gibah?
Pada hakikatnya manusia dianugerahi Tuhan mulut untuk bicara, namun kadang kala lepas kontrol dan ceplas-ceplos. Jadi semua manusia punya potensi untuk menggunjing, terlepas dari apakah dia tinggal di kota ataupun desa.
Namun yang perlu kita amati adalah bagaimana bisa masyarakat kota yang tentu saja waktunya banyak tersita kerja masih bisa menggunjing temannya? Ini menarik jika kita lihat dari kajian patologi sosial atau penyakit-penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat tanpa sadar.
Dampak buruk yang ditimbulkan dari gibah ini sangatlah banyak, baik bagi pelakunya maupun bagi orang yang dibicarakan, yaitu dapat menjadikan hati keras. Mengapa ini bisa terjadi? Ya hal ini bisa terjadi karena gibah itu dipengaruhi oleh rasa iri hati, benci, dan tidak bersyukur atas karunia.
Kemudian dampak yang selanjutnya yaitu dapat merusak pertemanan bahkan persaudaraan. Tidak jarang karena masalah gibah ini dapat menimbulkan pertikaian antar-teman. Saling mengadu domba justru akan memperburuk masalah, maka dengan demikian pertemanan akan hancur dan akhirnya menimbulkan permusuhan.
Dampak buruk lainya yaitu dapat memutus tali silaturahmi. Bagaimana tidak jika gibah ini didengar oleh orang yang bersangkutan dan dia merasa sakit hati, maka di sinilah mulai terjadi keregangan pertemanan bahkan ada yang tidak mau tegur sapa lagi.
Maka dari ini, marilah kita menjaga lisan agar ketika mengucapkan sesuatu perlu dipikirkan apa dampak yang akan ditimbulkan, apakah akan menyakiti orang lain atau tidak.
- Lembang Uluway Tana Toraja yang Multikultural - 19 November 2023
- Membumikan Pemikiran Gus Dur Bersama Kelas Penggerak Gusdurian Yogyakarta - 4 November 2023
- Filsuf Muslim dan Bapak Optik Dunia - 20 September 2023