Gila Politik, Politik Gila

Gila Politik, Politik Gila
©Ist

Tidak usah gila politik, apalagi berpolitik gila.

Selama beberapa tahun mutakhir, sejak pilpres 2014, pilkada Jakarta hingga menjelang pilpres 2019, publik kita terhegemoni oleh isu-isu politik murahan yang menguras banyak tenaga dan pikiran. Ada banyak orang membincang dengan aneka ragam tetek bengeknya, tak terkecuali masyarakat di akar rumput.

Politik menjadi isu yang paling masyarakat kita gandrungi dewasa ini. Ia lebih sering jadi perbincangan dan perdebatan melebihi perbincangan dan perdebatan tentang isu kemiskinan, ketimpangan  sosial, dan korupsi yang merajalela. Hal ini menjadi indikasi bahwa publik kita menjadi gila politik.

Gila politik merupakan fenomena baru dalam dunia kepolitikan kita sejak reformasi pecah pada tahun 1998. Sebab, tidak hanya para elite yang membincangkannya, tetapi juga masyarakat di tataran grassroot menggandrunginya, merasaninya dalam setiap perkumpulan, termasuk tongkrongan di warung kopi.

Mereka yang dahulu apatis terhadap isu, kini mendadak begitu menggilainya. Serasa tidak ada bosan-bosannya ngomongin politik, hingga tidak tahu kapan waktu dan di mana tempat yang absah membincangkannya. Misalnya, ketika kita lagi asyik membahas tentang hasil tangkapan ikan yang sedikit, tetiba teman kita ngalur-ngidul membahasnya, baik pilkada, pileg, pipres dan pil-pil yang lain, tetapi bukan pil KB ataupun pil kuat. Sungguh menjengkelkan, bukan?

Apa pun terkait-kaitkan, meski pada hakikatnya tidak ada keterkaitan dengan politik itu sendiri, terlebih di tahun politik dewasa ini. Kita harus serba hati-hati bertingkah, sebab jika tidak, maka kita akan tercap cebong atau kampret. Entah bagaimana keduanya bermetamorfosa, sehingga orang layak jadi cebong atau kampret.

Kegandrungan terhadap media sosial dengan beragam rupa dan bentuknya menjadi penyebab paling sahih atas kegilaan masyarakat kita terhadap politik. Melalui media sosial, masyarakat kita bisa dengan mudah mengakses informasi-informasi tentangnya beserta dinamikanya. Tanpa adanya filterisasi terhadap informasi yang ia akses, bisa-bisa terjebak ke dalam ruang-ruang kegelapan hoaks yang menggurita dewasa ini.

Kegilaan terhadap politik, di satu sisi, menjadi angin segar bagi tumbuh-kembangnya demokrasi kita. Sebab kesadaran masyarakat kita terhadapnya sudah mulai tumbuh. Tetapi, di sisi yang lain, kegilaan politik adalah petaka bagi demokrasi kita. Sebab kegilaan itu tidak dibarengi oleh kecerdasan literasi yang tinggi, sehingga yang mereka perbincangkan dan hasilkan adalah politik gila.

Politik gila menghasilkan caci maki, fitnah, hoaks, kebencian dan tetek bengeknya. Kenyataan semacam ini dapat dengan mudah kita temukan di media sosial kita. Dan tak jarang juga kita temukan dalam dunia keseharian nyata kita. Ini menjadi pemantik bagi tumbuh suburnya perpecahan di antara sesama hanya karena pandangan dan pilihan yang berbeda. Sehingga kegaduhan dan kekerasan tak terhindarkan.

Baca juga:

Hal ini mampu mengaduk-ngaduk emosi masyarakat kita. Seketika masyarakat bisa menjadi iblis, dan seketika pula bisa menjadi malaikat, tergantung mazhab yang ia gilai, apakah mazhab cebong atau kampret.

Tingkah lakunya tidak lahir dari kemurnian akal budi, melainkan dari emosi dan egoisme hayawaniah-nya. Dalam konteks ini, menjadi benar apa yang pernah Thomas Hobbes (1651) sampaikan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Sebab, menurut Thomas Hobbes, manusia secara alamiah mempunyai naluri kekerasan, sama seperti binatang buas. Kekerasan terjadi karena tidak tersalurnya naluri yang berlebihan.

Di masanya, Hobbes melihat, manusia sungguh seperti binatang karena mereka saling memangsa dan memakan. Mereka tidak lagi memegang teguh nilai-nilai humanisme yang menghargai eksistensi orang lain. Kondisi semacam ini juga masih terlihat hingga sekarang.

Antara kebenaran dan kebatilan nyaris tak dapat kita bedakan. Masyarakat kita mempunyai definisi sendiri-sendiri tentang kebenaran dan kebatilan. Subjektivitas menjadi tolok ukur, sehingga membunuh nalar kritis sebagian banyak masyarakat kita. Kebenaran beroperasi sesuai kepentingan yang melatarinya. Dan kebenaran menjadi grey area dan bahkan menjadi hitam nan gelap.

Tidak hanya itu, politik gila juga kerap melahirkan apa yang oleh publik kita lazim sebut sebagai machiavellistik. Machiavellistik adalah politik yang menghalalkan segala cara demi mencapai hasrat dan syahwat politiknya (lihat dalam Il Princile, karya Nicclo Machiavelli, 2008). Memfitnah, membuat dan menyebarkan hoaks adalah fenomena machiavelistik kita dewasa ini.

Perilaku amoral semacam ini sah-sah saja kita lakukan di tengah-tengah gegap gempita kepolitikan kita yang lebih mengutamakan kemenangan ketimbang kewarasan dalam berpoltik. Karena, menurut Machiavelli, pilihan pragmatis walaupun jahat, dalam kondisi tertentu, lebih diutamakan ketimbang mempertahankan keyakinan moral yang memaksa kita kehilangan kekuasaan (Alfan Alfian, Demokrasi Pilihlah Aku; Warna-Warni Politik Kita, 2013).

Menjadi ironi ketika masyarakat kita yang masyhur akan etika dan moralitasnya, justru bertingkah di luar batas kewajaran dan kewarasan berpolitik. Sudahlah, tidak usah gila politik, apalagi berpolitik gila. Karena politik itu, meminjam istilah Alfan Alfian, owah gingsir alias dinamis; pagi putih, sore abu-abu. Jadi, politik itu abu-abu.

Baca juga:
Naufal Madhure
Latest posts by Naufal Madhure (see all)