
Apatisme masyarakat terhadap pemilu cukup tinggi, sehingga Golongan Putih atau Golput jadi pemenang Pemilu 2004.
Sebanyak 34.500.246 pemilih terhitung Golput karena terdaftar dan tak menggunakan hak pilihnya atau suaranya tidak sah. Jumlah ini melampaui perolehan suara Partai Golkar dengan mengantongi 24.480.757 suara.
“Prasangka” itu perlu kita tanggapi karena mengandung beberapa kelemahan mendasar. Pertama, apa Golput?
Golput tentu tidak terkait hal-hal teknis yang tak bisa terpenuhi dari para pemilih dan pemilu. Misalnya, kesalahan mencoblos yang menyebabkan tidak sahnya suara sekitar 10.957.925.
Kedua, jika Golput mencapai suara 21,34 persen, tak sepatutnya kita bandingkan dengan suara Partai Golkar, PDIP, atau lainnya. Golput hanya berhadapan langsung dengan para pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
Sebanyak 83 persen pemilih menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2004. Bandingkan perolehan suara yang terhitung Golput tersebut.
Secara kasat mata, pada hari pencoblosan suara, jalan-jalan ibu kota lengang. Pemilu jadi ritual yang sangat sakral seperti hari raya. Bahkan tidak sedikit warga ibu kota pulang kampung hanya untuk menyalurkan aspirasi politiknya di kampung halaman. Bahkan, pemilu bagi kebanyakan warga Indonesia adalah kewajiban.
Golput sebagai Oposisi
Salah satu pilar demokrasi adalah terdapatnya partisipasi kuat dari masyarakat dalam pemilu. Karenanya, Golongan Putih jadi sarana bagi mereka yang ingin mendelegitimasi kekuasaan pemerintah demokratis. Golput, dalam konstelasi politik, akhirnya jadi oposisi bagi pemerintah.
Persoalannya, seberapa kuat Golput jadi oposisi?
Pertama, Golput tak pernah terlembaga secara institusional. Tidak ada yang bisa merepresentasikan suaranya. Dengan demikian, akan sangat susah menentukan suara Golput dalam pengambilan setiap kebijakan negara yang berdasar suara partai-partai politik pemenang pemilu.
Kalangan aktivis tidak bisa mewakili suara Golput. Akibatnya, fenomena Golput mungkin ada dalam masyarakat, tetapi ia tidak pernah benar-benar ada dalam pengambilan kebijakan publik. Ia tidak punya kekuatan politis untuk menjadi oposisi karena antara ada dan tiada.
Pernah muncul gagasan melembagakan Golput secara konstitusional, yaitu dengan menyertakan gambar dan nomor urutnya dalam kertas suara partai-partai politik—katakanlah nomor 25 dengan gambar putih. Ini berlaku agar Golput bisa ikut berkampanye layaknya partai politik.
Bahkan, Golput juga bisa memperoleh biaya kampanye dari pemerintah. Undang-undang juga mengakui hak-hak politiknya.
Gagasan ini tampak sangat konyol sebab Golput hakikatnya menolak pemilu. Mengikutkan gambar putihnya dalam pemilu berarti ikut pemilu, bukan Golput lagi.
Bagaimana jika gambar putih memperoleh suara signifikan, apalagi sampai memenangkan pemilu? Lebih baik jadi partai sekalian agar bisa jadi pengambil kebijakan publik. Lagi-lagi, siapa bisa merepresentasikannya? Partai Golput sekalipun tentu saja tidak akan menolak kebijakan politiknya.
Kedua, gagasan Golput di era multipartai yang cukup demokratis juga terasa aneh. Bagaimana mungkin membangun demokrasi tanpa partai politik dan tanpa pemilu? Benarkah semua partai dan elite politik tidak layak untuk merepresentasikan aspirasi nurani rakyat?
Halaman selanjutnya >>>
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023
- Hate Crime - 13 Juni 2022