Dalam panggung politik Indonesia, sosok Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, merupakan figur yang kerap mengundang beragam reaksi. Seakan-akan dia adalah sebuah cermin raksasa yang memantulkan kehidupan masyarakat: di dalam pantulannya ada joy, tetapi tidak jarang juga terjebak dalam refleksi marah. Pertanyaannya, mengapa mereka marah? Untuk mengeksplorasi fenomena ini, kita perlu menengok lebih dalam ke dalam mozaik pemikiran dan tindakan Gus Dur, yang telah melampaui batas-batas konvensional politik.
Gus Dur bukan sekadar seorang pemimpin; dia adalah seorang pemikir, pencerah, dan tentu saja, pegiat toleransi. Namun, ideologinya, yang kadang radikal dan tidak lazim, membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Ketika Gus Dur mengusulkan dialog antar agama, mendobrak batas-batas konservatisme, suara marah sering kali terdengar, seolah ombak yang mengguncang karang. Mereka yang terjebak dalam dogma dan tradisi merasa terancam oleh ide-ide progresifnya. Divisi ini menciptakan semacam ketegangan dalam masyarakat yang beragam ini, sehingga lahirlah pertanyaan: apakah suara yang marah itu, justru merupakan salah satu bentuk ketidakpahaman terhadap gagasan toleransi tersebut?
Belajar dari sejarah, kita dapat memahami bahwa kemarahan sering kali lahir dari ketakutan. Ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia mewakili kelompok yang selama ini terpinggirkan. Ia memperjuangkan nasib kaum minoritas, di saat kebanyakan politisi lain hanya memandang kepentingan suara mayoritas. Mungkin, mereka yang marah melihat Gus Dur sebagai upaya untuk ‘merampas’ kekuasaan dan identitas mereka, suatu hal yang sudah terlanjur terukir dalam memori kolektif masyarakat.
Dalam masyarakat yang terfragmentasi, ide-ide revolusioner bisa menjadi petasan yang meledak. Gus Dur, dengan logika Islam yang moderat dan terbuka, sering kali menempuh jalan yang tidak lazim. Ia mengajak kita untuk melihat banyak sisi dari sebuah isu, mirip dengan pandangan seorang seniman yang menghidangkan karya seni dari berbagai perspektif. Namun, bagi sebagian orang, seniman yang menghapus batas-batas warna dapat terlihat sebagai pengacau. Dengan itulah sikap negatif mulai muncul—sebuah kritik yang sering kali tidak didasari pengertian yang utuh.
Gus Dur juga dikenal dengan humor khasnya, yang kadang bisa jadi pedang bermata dua. Dalam banyak kesempatan, dia menggunakan lelucon dan satire untuk menyampaikan kritik sosial. Namun, tidak semua orang bisa menerima gaya komunikasi yang unik ini. Beberapa di antaranya merasa tersakiti, menganggap guyonan tersebut merendahkan otoritas mereka, atau bahkan merendahkan nilai-nilai yang mereka anut. Dengan humor yang tak jarang tajam, Gus Dur kadang-kadang menelanjangi kepicikan pandangan yang terpendam. Ini bisa menjadi bumerang, mengingat banyak yang tidak siap menerima kenyataan pahit yang disampaikan dengan tawa.
Menelaah lebih jauh, kemarahan terhadap Gus Dur juga menciptakan paradox. Dalam risalah politik, pejuang sejati sering kali tidak diakui, bahkan oleh kawan-kawan seiring. Gus Dur berbicara tentang persatuan dan kesetaraan, dua ruh moral yang seharusnya menjadi fondasi bangsa. Namun, saat ide-ide ini dikritik sebagai ‘utopis’, banyak yang berpaling dari penglihatannya. Sebuah tragedi, di mana harapan untuk masa depan lebih baik terbenam dalam kekacauan sentimen negatif.
Dari sudut pandang psikologis, fenomena kemarahan ini bisa dianggap sebagai mekanisme pertahanan. Ketika paradigma baru diusulkan, banyak yang merasa nyaman dalam ketidaktahuan, seperti katak yang tetap di dalam panci air panas. Saat Gus Dur memasuki ruang publik dengan ide-ide luar biasa, banyak yang tidak ingin mengetahui bahwa air sudah mendidih. Sosial media maupun forum-forum diskusi sering kali mengangkat suara-suara yang marah, dan menjadikannya sebagai bagian dari narasi nasional. Dengan ini, Gus Dur tidak hanya sekadar menghadapi kemarahan; ia juga menciptakan visi baru untuk Indonesia.
Akhirnya, marahnya mereka adalah pertanda bahwa perubahan itu menjengkelkan. Gus Dur, meski banyak yang memprotes, tetap berdiri tegar. Seperti biri-biri di tengah kisah si serigala yang menggonggong : meski terganggu, dia tetap melanjutkan jalan. Keterbukaan dan keinginan untuk berdialog yang ia usung, bukan hanya tentang menjembatani kelompok, tetapi tentang menemukan makna di balik perbedaan. Inilah keunikan Gus Dur—dia menghadirkan sendang bagi mereka yang berani menyeberang.
Dalam panorama ini, meskipun kemarahan dan kecaman tetap ada, Gus Dur memberikan kita pertanyaan vital: Apakah kita cukup berani untuk menyingkap tirai kegelapan dan menyambut cahaya? Dengan berani merangkul perbedaan, kita menemukan bahwa kemarahan mungkin merupakan sebuah fase yang harus dilewati, demi menuju sebuah pengertian yang lebih plastis dan mendalam. Gus Dur, dalam segala kontroversinya, mengajarkan kita bahwa perjalanan menuju harmoni tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus bersedia merangkul ketidaknyamanan, dan menyulapnya menjadi kekuatan untuk perubahan yang lebih baik.






