Gus Dur Menolak Sektarianisme

Dwi Septiana Alhinduan

Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, merupakan salah satu tokoh terpenting dalam sejarah politik Indonesia, terutama dalam konteks penolakan terhadap sektarianisme. Sebagai seorang pemimpin, Gus Dur dikenal dengan pandangannya yang inklusif dan toleran. Dalam mempelajari perjalanan hidup dan pemikiran Gus Dur, kita dapat menemukan berbagai alasan yang mendasari penolakannya terhadap sektarianisme.

Di tanah air, sektarianisme bukanlah fenomena baru. Sejak masa kolonial, Indonesia telah berjuang melawan berbagai bentuk perpecahan yang diakibatkan oleh identitas agama, etnis, dan sebagainya. Gus Dur menyadari bahwa sektarianisme dapat memecah belah masyarakat dan mengancam keutuhan bangsa. Melalui pendekatannya yang humanis dan progresif, ia berusaha membangun jembatan antara berbagai kelompok yang memiliki perbedaan.

Salah satu aspek utama dari penolakan Gus Dur terhadap sektarianisme adalah keyakinannya pada nilai-nilai kebangsaan. Dalam pandangannya, Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman. Keberagaman ini harus dirayakan, bukan dianggap sebagai penghalang. Ia mengajak masyarakat untuk melihat perbedaan sebagai anugerah yang memperkaya budaya dan tradisi, alih-alih sebagai sumber konflik. Dialog antaragama dan toleransi menjadi dua pilar penting dalam pemikiran Gus Dur.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur menekankan pentingnya persatuan. Ia percaya bahwa, untuk mencapai tujuan bersama dalam membangun bangsa, masyarakat harus bersatu meskipun dalam perbedaan. Pendekatan ini sangat relevan di tengah meningkatnya ketegangan sosial yang sering kali dibakar oleh isu-isu sektarian. Dalam pandangannya, angin segar dari toleransi dan dialog mampu meredakan konflik yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan.

Lebih jauh, Gus Dur juga mengkritik elemen-elemen dalam masyarakat yang menggunakan sektarianisme sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik. Ia memahami bahwa politik identitas sering kali dijadikan senjata dalam memecah belah masyarakat demi meraih kekuasaan. Dengan pemikirannya yang kritis, ia mengajak rakyat untuk memahami bahwa kepentingan bersama harus mengalahkan ambisi sektarian. Kekuatan politik yang bertumpu pada perpecahan adalah ancaman bagi stabilitas dan kemajuan bangsa.

Dalam nuansa yang lebih luas, penolakan Gus Dur terhadap sektarianisme juga berkaitan dengan pemikirannya tentang demokrasi. Gus Dur meyakini bahwa demokrasi yang sehat hanya dapat tumbuh di tanah yang subur dengan toleransi. Dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, pilar-pilar demokrasi harus dijaga dengan penuh perhatian. Dalam hal ini, penolakan terhadap sektarianisme bukan hanya alasan moral, tetapi juga strategis, demi kelangsungan sistem politik yang lebih demokratis.

Gus Dur juga dikenal dengan sikapnya yang terbuka terhadap dialog antaragama. Ia menganggap bahwa perbedaan keyakinan bukanlah halangan untuk membangun relasi yang konstruktif. Melalui berbagai inisiatif, Gus Dur berupaya menciptakan ruang bagi pertemuan antara kaum religius dengan tujuan bersama untuk menciptakan kedamaian. Rasa ingin tahunya terhadap tradisi dan kepercayaan lain menjadi kunci untuk memahami keberagaman yang ada di Indonesia.

Dalam konteks yang lebih pribadi, kehidupan Gus Dur yang unik dan penuh warna memberi bukti bahwa ia hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Meskipun terlahir dalam keluarga Nahdlatul Ulama yang kental dengan tradisi Islam, Gus Dur tidak pernah membiarkan latar belakang tersebut menghalanginya untuk berinteraksi dengan penganut agama lain. Ia menjadikan dirinya sebagai teladan untuk mempromosikan persatuan dalam keberagaman.

Melihat semua ini, kita dapat memahami bagaimana Gus Dur merangsang pemikiran kritis di kalangan masyarakat. Ia menyadari bahwa penolakan terhadap sektarianisme bukanlah sekadar pilihan etis, melainkan juga kebutuhan fundamental untuk membangun bangsa yang lebih baik. Dari sini, kita diajak untuk merenungkan peran masing-masing dalam menjaga kerukunan dan toleransi, serta mengakhiri siklus perpecahan yang telah lama menghantui Indonesia.

Gus Dur mengajarkan kepada kita bahwa keindahan sebuah bangsa terletak pada keragamannya, bukan pada keseragaman. Dengan menatap masa depan, kita harus membawa warisan pemikiran dan tindakan Gus Dur sebagai pijakan untuk menciptakan Indonesia yang lebih harmonis. Hanya dengan membangun rasa saling menghargai, kita bisa berharap untuk melangkah menuju kemajuan yang berkelanjutan.

Dalam menyimpulkan pandangan Gus Dur yang menolak sektarianisme, jelas bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang visioner yang memandang jauh ke depan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, suara dan tindakan Gus Dur menjadi pengingat akan pentingnya persatuan di tengah perbedaan. Mari semua pihak berupaya untuk menghidupkan semangat yang diwariskan beliau, demi Indonesia yang lebih toleran dan damai.

Related Post

Leave a Comment