Hacker dan Kekuasaan

Bicara kekuasaan jadi teringat tentang konsep kekuasaan yang diwacanakan oleh Michel Foucault. Foucault berargumen bahwa kekuasaan secara evolutif mengalami transformasi, artinya jika dulu seorang raja atau penguasa melakukan kontrol sosial dan menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan cara-cara kekerasan melalui mekanisme hukum (sovereign power).

Sedangkan dalam konteks masyarakat modern hari ini, hal tersebut sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan sistem disciplinary power atau normalisasi tindakan yang dirancang dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif serta menempatkan subjek sebagai efek dan kendaraan bagi kekuasaan.

Misalnya, dalam konsep panopticon Foucault, masyarakat modern akan patuh berkendara di jalan raya meski tidak ada polisi. Sebab sekarang pemerintah telah memasang perangkat tilang elektronik yang dipasang pada setiap lampu merah.

Aturan tersebut dibuat pemerintah untuk membuat pengendara merasa bersalah karena melanggar lampu merah. Secara tidak langsung pemerintah dengan cara yang demikian ingin menghukum pengendara yang melanggar (Setyowati, 2019).

Dalam kasus hacker hari ini, kekuasaan bisa beroperasi jika dilihat dalam konteks internet. Bila pada zaman Orde Baru mempertahankan atau menjalankan kekuasan melalui militer, dan siapa pun yang menganggu akan dilenyapkan.

Jika dahulu relasi kekuasaan terlihat jelas di dalam struktur sosial masyarakat antara sipil dan militer atau bahkan pemerintah saat itu memiliki sebagaimana yang dikatakan oleh George Orwell tentang Kementerian Kebenaran yang mampu mengatur, mewacanakan, dan memperjelas maksud pemerintah bahwa benar itu benar, meski kenyataan tidak berkata demikian.

Saat ini, sejak adanya perkembangan teknologi internet yang sedemikian maju. Relasi dan operasi kekuasaan begitu cair tidak ada lagi yang namanya Kementerian Kebenaran semua dibongkar habis oleh yang namanya hacker.

Meski sebagian dari kita tidak berhubungan langsung dengan namanya hacker dan tidak mengetahui siapa orang di balik pembobolan data, kita yang sudah menjadikan internet sebagai rumah tetap merasa khawatir akan terjadinya pencurian data yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Secara tidak langsung kita menjadi efek bagi kendaraan kekuasan para hacker.

Kini dengan memiliki kelebihan sebagai seorang hacker, mereka telah mampu menguasai psikologis yang buat manusia selalu merasa was-was akan pembobolan data. Padahal jelas kita tidak pernah tahu wujud seorang hacker tetapi kita merasa diawasi dan dikuasai.

Persis sebagaimana dikatakan oleh Foucault tentang kekuasan melalui pendisiplinan. Sejak hebohnya fenomena hacker, semua keamanan data mulai diperbaiki bahkan pemerintah pun sampai membuat tim khusus untuk menangani kasus hacker ini.

Kekuasaan tidak lagi terpusat, berwujud, personal, atau terindividu melalui mekanisme bottom-up, melainkan sudah menyebar dialihkan pada apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan. Sebagaimana pemaparan Edi Kurniawan dari Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang memaparkan penelitiannya berjudul “Sistem Pemantauan Kerumunan Berbasis Teknologi Drone dan Kecerdasan Buatan (Drone Physical Distancing).

Drone Physical Distancing merupakan pengembangan drone berbasis quadkopter untuk monitoring jarak dalam kerumunan dengan berbasis kecerdasan buatan. Quadkopter merupakan alat yang memiliki empat baling-baling untuk deteksi pelanggaran physical distancing di kerumunan (Kurniawan, 2020).

Dengan adanya kekuasaan berbasis kecerdasan buatan secara tidak langsung individu ditempatkan sebagai objek pantauan kecerdasan buatan (artificial intelligence) melalui drone, internet, media sosial, atau alat elektronik lainnya, operasi kekuasan tidak perlu lagi bersusah payah untuk mengatur masyarakat melalui sosok yang berwujud.

Bahkan untuk menggulingkan sebuah pemerintahan sebagaimana yang dilakukan oleh kategori tipe hacker Grey Hat, masyarakat, kelompok, atau individu tidak perlu lagi turun ke jalan cukup melalui kecerdasan buatan atau dengan memiliki keahlian program internet seseorang telah memiliki kekuasaan, seperti kelompok “Kecoak Elektronik”.

Walupun ada kecenderungan masyarakat yang mendukung kegiatan hacker karena sedikit banyak mengungkapkan kebobrokan sebuah sistem pemerintahan atau kelemahan perlindungan sebuah data, tetap saja kegiatan tersebut merupakan kegiatan ilegal, karena dampaknya yang begitu merugikan bagi kehidupan manusia, salah satunya adalah penyalahgunaan data-data untuk kepentingan pribadi atau penjualbelian paket data di pasar gelap.

Tetapi sejatinya aktivitas hacker ini menunjukkan sebuah bukti untuk menjawab siapa penguasa dunia internet adalah siapa saja bahkan seorang anak-anak di bawah umur yang menurut sumber berita “dituduh” sebagai hacker walau belum tentu terbukti benar.

Halaman selanjutnya >>>
Dimas Sigit Cahyokusumo