Di sebuah sudut Indonesia yang mungkin tidak banyak dikenal, Sulawesi Barat (Sulbar) berjuang dalam batas gelap ketidakpastian dan harapan. Gaji guru di wilayah ini telah terhenti hampir satu tahun, menciptakan gelombang kemarahan dan keputusasaan di kalangan tenaga pendidik yang memegang peranan kunci dalam pembangunan masa depan bangsa. Seperti jam pasir yang berdetak, waktu terus berlalu, dan dengan setiap butirnya, harapan para guru semakin menipis.
Keadaan ini menuntut perhatian. Dalam dunia yang kerap kali melupakan betapa pentingnya pendidikan, guru-guru di Sulbar menjadi simbol perlawanan. Mereka bukan sekadar pengajar; mereka adalah pilar-pilar yang menopang visi dan mimpi bangsa. Namun, ketika gaji yang seharusnya menjadi hak mereka tidak dibayarkan, maka hak itu seolah diinjaki-injak—menjadi sebuah ironi dalam sistem yang seharusnya mendukung pendidikan.
Mogok mengajar bukanlah tindakan yang diambil dengan ringan. Ini adalah sikap yang kebanyakan diambil sebagai bentuk protes agar suara mereka didengar. Dalam rutinitas yang telah ditetapkan, guru-guru ini, yang seharusnya menjadi penggerak pengetahuan, kini terjun ke dalam kegelapan ketidakpastian finansial. Mereka memposisikan diri sebagai pejuang dalam perang yang tidak terlihat, berjuang bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk generasi penerus yang mereka didik.
Akibat dari situasi ini, murid-murid menjadi korban. Tanpa adanya pendidikan yang layak, masa depan mereka terancam. Seperti sebuah pohon yang diambang kehampaan, tanpa air dan nutrisi, maka bakal layu dan mati. Ketika guru-guru di Sulbar mogok, nasib murid-murid mereka seolah terperosok ke dalam jurang ketidakpastian. Mereka kehilangan bukan hanya pelajaran, tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan diri di era yang semakin kompetitif.
Kondisi ini menuntut pertanyaan besar: di manakah tanggung jawab pemerintah sebagai pemangku kebijakan? Harapan seharusnya menjadi cahaya penuntun. Namun, kekosongan gaji menciptakan bayang-bayang suram di dalam sistem pendidikan. Seharusnya, pemerintah berpikir bahwa gaji guru adalah investasi, bukan beban. Tanpa guru yang terlayani dengan baik, kualitas pendidikan akan kembali merosot. Kami seharusnya menyadari bahwa setiap langkah mundur dalam pendidikan adalah langkah mundur bagi masa depan bangsa.
Masyarakat setempat mulai membuka mata. Di jalan-jalan kota kecil, di warung kopi, di sekolah-sekolah yang sepi, percakapan tentang pendidikan bergulir. Sekali lagi, masyarakat menemukan suaranya. Mereka menuntut perubahan karena menyadari bahwa pendidikan adalah fondasi untuk menghindari keruntuhan sosial. Kesadaran ini gerakan yang organic, tumbuh dari akar-akar masyarakat, yang dalam lapisan-lapisan populasi, mulai ribut—dari pedagang hingga orangtua murid—semua tergerak untuk mendukung perjuangan para guru.
Tindakan mogok mengajar seakan memberi tekanan pada pemerintah untuk bangkit dari tidurnya dan bergegas memulihkan hak-hak yang seharusnya diterima. Tetapi, sorotan publik juga tak sepenuhnya bergerak linear—ada kalanya sinar harapan bersinar, dan ada kalanya kabut ketidakpastian kembali melanda. Ini seperti pasang surut lautan; ada waktu untuk tenang, dan ada waktu untuk gelombang yang menggulung.
Di tengah kegalauan yang melanda, kita perlu berpegang pada harapan. Sekolah-sekolah adalah tempat di mana kita merajut masa depan. Kita harus percaya bahwa setiap tindakan, sekecil apapun, dapat membawa perubahan besar. Bukan hanya guru yang berjuang; publik, orangtua, dan anak-anak juga memiliki peran penting dalam memulihkan harkat pendidikan. Dengan suara kolektif, mereka dapat memperjuangkan hak-hak guru dan memaksa pemerintah untuk menghargai usaha dan pengorbanan mereka.
Pendidikan bukanlah sekadar sebuah mata pelajaran di kelas; ia adalah jiwa dari sebuah bangsa. Ketika guru mendapat gaji dan perawatan yang layak, mereka akan lebih mampu menginspirasi dan membentuk karakter bangsa. Setiap pelajaran yang diajarkan membuka pintu menuju kemungkinan yang tak terbayangkan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bersatu dalam mendukung pendidikan yang berkelanjutan.
Di saat kita merenungkan perjalanan yang penuh liku ini, sangat jelas bahwa perjuangan guru di Sulbar bukanlah persoalan lokal semata, melainkan panggilan untuk kita semua. Pendidikan adalah tanggung jawab kolektif yang harus kita pikul bersama, karena di dalamnya terdapat masa depan kita. Tanpa guru yang berdaya, harapan untuk membangun bangsa yang lebih baik akan terancam sirna. Dan kita semua—tanpa terkecuali—harus mengambil bagian dalam menjaga nyala api semangat pendidikan untuk generasi mendatang.
Dengan demikian, mari kita berikan dukungan kepada para guru, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Sudah saatnya kita mengubah narasi dari sekadar harapan menjadi sebuah tindakan. Karena, di akhir cerita, pendidikan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih cerah, dan bersama kita dapat membangun jembatan itu dengan kuat.






