Hapus Saja Ambang Batas Nyapres Itu!

Hapus Saja Ambang Batas Nyapres Itu!
©Antara

Melirik sepintas ke judulnya, tentu besar kemungkinan tulisan ini akan pembaca pahami sebagai bentuk dukungan saya terhadap usulan Partai Demokrat. Memilih berbeda dengan yang lain, anti-mainstream, Partai Demokrat menjadi satu-satunya partai politik yang menghendaki tiadanya ambang batas nyapres alias presidential threshold 0%.

Tak mengapa. Sebagai penulis, saya harus menerima kenyataan pahit jika sampai pembaca menilai demikian. Tetapi satu hal yang pasti, terlepas apa pun tujuan Partai Demokrat, tiadanya ambang batas nyapres adalah ide yang bagi saya sendiri benar-benar sejalan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Itu berarti menjamin kebebasan tiap-tiap individu. Menjamin hak politiknya: memilih dan dipilih sebagai warga negara.

Saya selalu yakin, jika Indonesia benar-benar mau keluar dan tampil sebagai bangsa pemenang, yang merdeka, yang mandiri, dan yang optimistis menatap masa depan, maka tak ada jalan lain kecuali demokrasi sebagai sistem politiknya wajib menjamin tiap-tiap kebebasan individu warganya tanpa kecuali. Ini bukan semata persoalan hak, melainkan konsekuensi logis (kewajiban) yang mesti negara tanggung sebagai bangsa yang sudah mendeklarasikan diri menjadi bangsa yang bebas-merdeka.

Memang, demokrasi tidak serta-merta memberi jaminan akan kondisi yang demikian. Di banyak negara, ada demokrasi yang benar-benar bisa menjamin. Tetapi tidak sedikit pula yang hanya mampu berlaku sebaliknya. Tentu semua tergantung kepada siapa yang berkuasa, tergantung pada kebijakan apa yang elite politik ketuk atau tetapkan di atas sana.

Tetapi, untuk konteks Indonesia, bersandar pada prinsip atau cita-cita kemerdekaan yang sudah terproklamirkan secara gagah nan lantang puluhan tahun silam, maka tak ada alasan untuk tidak memanifestasikan demokrasi dalam bentuknya yang membebaskan. Sekali lagi, ini konsekuensi logis yang mesti negara tanggung!

Namun, sayang ribuan sayang, mewujud-nyatakan cita-cita nyatanya tak semudah membalik telapak tangan. Alih-alih negara mengambil banyak peran dalam upaya perwujudannya, justru negara sendiri yang tampak mengkhianati kesepakatan bersama. Negara seolah melupakan apa yang sudah dirumuskan mati-matian oleh founding fathers negeri ini sebelumnya.

Salah satu bentuk pengkhianatan itu tercermin erat dalam upaya pemberlakukan ambang batas nyapres. Negara sampai ngotot-ngototan segala, bahkan mengancam akan menarik diri dari pembahasan jika keinginannya tidak terakomodasi.

Lantas, apa yang tampil mencolok dari sikap negara seperti ini? Tak lain hanya satu: pembungkaman kebebasan individu atas nama demokrasi.

Demokrasi Menjamin Kesamaan Kesempatan

Mungkin negara tak sadar atau mungkin benar-benar tak memahami bahwa demokrasi itu bukanlah menjamin kesamaan kondisi, melainkan menjamin kesamaan kesempatan. Jika ambang batas nyapres sebesar 20-25 persen menjadi syarat umum, maka di sana demokrasi dipaksakan hanya untuk menjamin kesamaan kondisi, bukan pada kesamaan kesempatan.

Tidak mudah memang menemui ujung dari perdebatan yang hanya diwarnai dengan pragmatisme politik. Apalagi negara (yang berkuasa hari ini) sendiri ikut-ikutan dalam pertarungan kepentingan, yang saya duga-duga, hanya demi memantapkan jaminan kekuasaan di masa berikutnya.

Bersama tiga partai pendukungnya, yakni PDI Perjuangan, Golkar, dan Nasdem, negara tampak memainkan kekuasaan dengan mengancam sana-sini jika sampai ambang batas nyapres berjumlah 20-25 persen itu tidak terpenuhi.

Di kelompok yang lain, mungkin bisa kita katakan sebagai barisan sakit hati, meski posisinya sebenarnya merupakan partai pendukung pemerintah, yakni PKB, PPP, Hanura, dan PAN, juga tampak ngotot memaksakan 10-15 persen. Terlebih partai oposisi, Gerindra dan PKS, mengusung dan mendukung kepentingan ini.

Satu-satunya partai yang paling berbeda sendiri, yang mengusulkan 0 persen, adalah Partai Demokrat. Dan, sialnya, saya cenderung sepakat dengan usulan partai terakhir ini. Bukan karena berbeda sendiri, anti-mainstream, melainkan—sekali lagi—sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang saya hayati.

Terlepas dari itu, yang ingin saya tekankan di sini adalah mengapa tidak kita absahkan saja penghapusan ambang batas nyapres? Bukankah semua golongan justru bisa ikut maju dalam pertarungan politik dengan sistem yang seperti ini? Mengapa negara seolah takut jika aturan di UU Pemilu lama itu berubah?

Okelah, alasannya mungkin karena proses pemilihan calon presiden memerlukan dukungan riil. Dukungan tersebut terlihat dari jumlah suara yang partai politik peroleh. Dan partai politik, suara yang ia raih, adalah representasi suara rakyat.

Pertanyaannya, apakah pilihan mayoritas melulu menentukan kebenaran? Jika alasannya hanya untuk menghadirkan calon-calon yang berkualitas, justru dengan pertarungan bebas tanpa bataslah maka semua akan berakhir dengan yang terbaik. Itu jika kita mau optimistis memandang tiap-tiap individu manusia.

Halaman selanjutnya >>>
Maman Suratman
Latest posts by Maman Suratman (see all)