
Dunia Internasional memperingati Hari Antikorupsi setiap tanggal 9 Desember. Di Indonesia, hari antikorupsi dimaknai sebagai momentum yang sangat penting bagi upaya pemberantasan korupsi. Namun terlepas dari itu, upaya pemberantasan korupsi di hari ini kian dipertanyakan.
Keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan korupsi justru menimbulkan public distrust di kalangan masyarakat Indonesia (grass root). Pangkal persoalan ini justru lahir dari upaya pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu yang telah merevisi dan mengesahkan UU KPK di tengah makin maraknya praktik tindak pidana korupsi (Tipikor).
Revisi yang dilakukan bukan menguatkan, tetapi melemahkan lembaga antirasuah untuk menindak dan memburu para koruptor dan sekutunya. Tetapi pemerintah menggembosi jalan kerja KPK melalui revisi UU.
Untuk mengingat kembali, ada beberapa poin yang direvisi dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Pertama, kewenangan KPK untuk menggeledah dan menyita (Pasal 47 Ayat 1 dan 2).
Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh KPK harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. Dengan adanya keputusan semacam ini, akan menghambat kerja KPK, terutama dalam pembuktian kasus korupsi, karena harus melalui persetujuan dewan pengawas. Sehingga penanganan kasus yang sedang ditangani menimbulkan sarat kepentingan.
Kedua, keharusan mendapatkan izin sebelum menyadap (Pasal 12B Ayat 3). Sama dengan persoalan yang pertama, penanganan sebuah kasus bisa jadi tidak diizinkan dari dewan pengawas.
Ketiga, jangka waktu penyadapan diatur (Pasal 12B Ayat 4). Waktu yang diberikan justru sangat singkat sehingga mengganggu penanganan korupsi. Sementara untuk mengungkap sebuah kasus, dibutuhkan waktu sekaligus kesabaran. Sehingga penanganan benar-benar menemukan titik terang atas kasus yang sedang ditangani.
Keempat, KPK berwenang menghentikan perkara (SP3). Poin ini sangat krusial, karena penanganan terhadap kasus korupsi, apalagi di era teknologi, tidak bisa melalui pembuktian secara cepat. Melainkan butuh waktu bagi KPK untuk memahami kasus, melakukan investigasi, dan menemukan titik terang dari kasus tersebut.
Baca juga:
Hadirnya poin ini justru membuat kerja KPK dalam pemberantasan korupsi mengalami tumpang tindih (overlapping) dengan masalah lain. Karena KPK dituntut harus cepat menyelesaikan kasus yang ditangani.
Kelima, kedudukan pimpinan KPK dan status kepegawaian. Dengan adanya poin ini, justru membuat lembaga antirasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen, karena harus tunduk pada pejabat negara yang status dan kedudukannya lebih tinggi.
Keenam, pembentukan dewan pengawas dan pengawasan terhadap KPK. Ini akan menghambat kinerja KPK karena penanganan kasus yang sedang ditangani mudah untuk dibocorkan dan di dalamnya sarat akan kepentingan.
Ketujuh, pemilihan dewan pengawas (Pasal 69A). Di sini diatur bahwa dewan pengawas dipilih oleh Presiden sehingga rentan terhadap kepentingan dan sarat akan politis.
Revisi terhadap UU KPK nyatanya sangat jauh dari upaya bersama untuk melakukan pencegahan korupsi yang selama ini menjalar dan mengakar di sebagian pejabat negara.
Sejak dibentuknya lembaga KPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sudah banyak koruptor, mulai dari Menteri, Mahkamah Agung, DPR, Gubernur, Bupati, Kepala Desa, dan pejabat negara lainnya yang sudah ditangkap karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar lembaga negara bersih dari praktik-praktik korupsi yang menyebabkan kerugian negara.
Tetapi dengan hadirnya revisi UU KPK yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah, mengindikasikan ada upaya untuk menyuburkan praktik korupsi di negara Indonesia. Ada semacam bola politik yang digelinding oleh pemerintah dan DPR dalam menggulingkan lembaga KPK. Ini harus diakui oleh masyarakat, pemerintah dan DPR telah menodai kerja sama untuk mengupayakan negara bebas dari koruptor.
Kembalikan Marwah KPK
Presiden Jokowi saat diwawancarai oleh awak media mengatakan, koruptor bisa dihukum mati jika masyarakat Indonesia menghendaki. Statement presiden justru tidak menjawab serius upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Malah presiden tidak mendukung adanya pemberantasan korupsi.
Hal itu bisa kita temukan dari sikap presiden Jokowi yang sampai hari ini masih membiarkan revisi UU KPK terus berjalan tanpa adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Masyarakat menghendaki agar presiden bisa mengeluarkan Perppu sebagai jalan tengah untuk mengembalikan marwah KPK sebagai lembaga independen yang tugas utamanya memberantas korupsi. Statement presiden hanya sebuah wacana yang dilontarkan ke ruang publik agar masyarakat paham bahwa presiden mendukung upaya untuk memberantas korupsi.
Seolah beban periode pertama masih menumpuk dan terus di pupuk di periode kedua masa pemerintahan Jokowi. KPK sebagai lembaga tepercaya dalam pemberantasan korupsi sedang beradu nasib di bawah revisi UU yang baru disahkan. Ruang gerak KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi sudah dijegal dengan berbagai regulasi yang baru dan dimonitoring oleh dewan pengawas.
Masyarakat sudah berupaya mendesak presiden agar mengeluarkan Perppu, tetapi sampai hari ini justru Perppu yang ditunggu tidak dilakukan. Presiden malah mengeluarkan grasi bagi mantan Gubernur Annas Maamun. Sikap presiden makin mempertegas bahwa presiden tidak konsisten dengan upaya pemberantasan korupsi.
Pada akhirnya kita harus mengakui lembaga KPK sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup dalam memberantas korupsi. Di tengah gejolak semacam itu, masyarakat harus tetap menjadi kekuatan bagi KPK untuk tetap melanjutkan misi besar pemberantasan korupsi. Jangan sampai hari antikorupsi bukan lagi hari untuk memberantas korupsi, tetapi hari di mana ‘aksi korupsi’ mulai bertebaran ke setiap lembaga negara.
- Berpacu Melawan Corona - 29 Maret 2020
- Pendidikan, Ancaman Global, dan Pembenahan Sistem - 3 Maret 2020
- Desa sebagai Aset Masa Depan Bangsa - 21 Desember 2019