Kita saat ini hidup di zaman di mana manusia menyebut dirinya sebagai era evolusi industri 4.0 yang bisa mengubah status dirinya, tak hanya sebagai homo-sapiens, melainkan homo-super sapiens. Sebuah era di mana perkembangan informasi teknologi digital menyebabkan perubahan sosial yang rentan memicu gegar budaya.
Jadilah kita saat ini, masyarakat sesuai dengan apa yang disebut—meminjam Marshall Mc Luhan global village “kampung global” dan Guy Debord, global stadium “stadion global” atau “umat digital”, sebuah masyarakat yang sangat bergantung pada konektivitas.
Keberadaan jaringan internet yang makin maju sudah menjadi kebutuhan dalam segala aspek kegiatan kehidupan, seperti sosialisasi pekerjaan, pendidikan yang kian mempersempit ruang waktu dan jarak. Sulit untuk dimungkiri dan tak dapat mengatakan kalau di era saat ini hampir semua orang memiliki smartphone dan tablet dengan berbagai varian dan model serta memiliki akun media sosial selalu aktif setiap harinya.
Diakui atau tidak, saat ini smartphone dan akun media sosial bagi kebanyakan kalangan sudah menjadi kebutuhan dan dapat memenuhi banyak kebutuhan pula. Di mulai dari kebutuhan mencari informasi, interaksi, berkomunikasi dan pengungkapan jati diri hingga kebutuhan dalam beragama sekalipun.
Pesatnya perkembangan informasi teknologi digital saat ini membuat masyarakat menjadi keranjingan gawai dan doyan mengomsumsi informasi yang masuk tanpa melakukan saring sebelum sharing. Tanpa disadari sering kali penggunanya harus berkejibun dan terjebak pada pola pemikiran serta berperilaku seperti apa yang menjadi trending topic di media sosial.
Fenomena yang cukup menarik dari kehidupan kaum muda milenial hingga generasi Strowbery yang segalanya serba otomatis, efektif dan efisien, serta ingin cepat populer, tak mau lagi repot-repot “berkeringat”, bersusah-payah, dan instan.
Dari sini muncul budaya dan fenomena baru, mulai dari budaya One Night Stand (ONS), Online Dating, Mommys War, Midnite Run dan Bithday Bash hingga fenomena Bullying, Body Shaming serta ujaran kebencian (Hate Speech) yang ada di jejaring gawai media sosial. Fenomena ini kemudian oleh pengamat disebut sebagai Living on Social Media.
Beberapa fenomena yang belakangan cukup menarik perhatian adalah fenomena Bullying dan Hate Speech atau ujaran kebencian yang memang beberapa tahun terakhir ini cukup marak di tengah-tengah masyarakat kita. Misalnya, sikap bullying dalam media sosial maupun dalam kehidupan nyata ini masuk dalam kategori sikap agresif yang sepertinya memang disengaja dilakukan pada orang-orang yang dianggap tak sejalan dengan ideologi, panutan hingga arus politik.
Baca juga:
- Media Sosial Alat Minat Partisipasi Politik Milenial Indonesia
- Catatan AS Laksana untuk Franky: Kegelapan Media Sosial
Hingga di penghujung bulan puasa ini, ujaran kebencian, bullying, dan konflik kepentingan masih sering kali kita jumpai setiap hari. Dalam konflik kepentingan, baik ideologi politik, agama dan suku sering kali dinarasikan terjadi dan melibatkan antagonisme antar dua individu atau lebih, di mana keduanya saling serang, baik fisik maupu mental.
Sementara, bullying terjadi dengan tak adanya keseimbangan kekuatan dan memang disengaja. Bentuknya pun bervariasi seperti menghina dengan kata-kata kotor, mengejek.
Berbeda dengan fenomena bullying, fenomena Hate Speech atau ujaran kebencian sering kali diartikan sebagai tindakan komunikatif di jagat dunia maya. Keberadaan Hate Speech ini lebih banyak memanfaatkan ruang-ruang di media sosial seperti Facebook, Twitter, Istagram, aplikasi pesan instan seperti Whattsapp dan Telegram Channel. Bentuknya pun sering kali berupa kalimat, kata-kata, memek atau gambar tak menyenangkan, provokatif, penyebaran hoaks dan sebagainya
Maka tak mengherankan kalau Hate Speech atau ujaran kebencian lebih banyak terjadi di media sosial dan dampaknya lebih besar daripada bullying. Karena Hate Speech atau ujaran kebencian tak hanya korban saja yang tahu, akan tetapi hampir semua pengguna media sosial yang selalu aktif.
Para pengguna media sosial memang sepertinya tak tahu dan tak mau tahu pembedaan antara bullying dan konflik di akun media sosial yang diikuti, yang terpenting bisa melampisan hasrat dan gejolak dalam dirinya.
Fenomena ini hampir semuanya ada dan benar-benar nyata dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering terjadi pada diri kita. Dan, para pelaku maupun korban tak mengenal status, baik itu pada orang-orang yang dianggap tokoh, politikus, pejabat, seniman, artis, kiai, ulama, dan pada hampir semua orang yang aktif diberitakan di dunia maya.
Tentu keberadaan media sosial saat ini sudah dimaknai bukan hanya sekadar jejaring informasi antarteman. Akan tetapi, sudah menjadi media eksistensi diri dalam ranah publik dan gaya hidup keseharian. Di mana keberadaan kita di media sosial hampir ditampilkan sama persis dengan yang ada di dunia nyata. Hampir segala hal ada di dunia nyata mau dipindah ke dunia media sosial. Walaupun mungkin kenyataannya tak demikian adanya.
Dari sini ada semacam hasrat dan jejak ruang media sosial yang perlu ditutupi dan disikapi dengan bijak. Oleh karenanya, perlu kiranya keberadaan atau penggunaan media sosial yang bijak dan santun itu tampil ke permukaan. Paling tidak, isi dan konten yang ada di berbagai media sosial bisa berimbang dengan para pengguna sosial yang tak bijak, apalagi pengguna media sosial yang sering menggunakan kata mencaci maki dalam bentuk verbal.
Baca juga:
Kalau perlu setiap fenomena media sosial yang bijak langsung diberikan contoh kiasan kasus yang ada pada zaman nabi tanpa harus menceramahi dan menggurui. Dan, kalau perlu memberikan pandangan baru terkait kontroversi Ijma’(consensus ulama) dalam bermedia sosial dari sudut pandang hukum Islam.
Paling tidak, kajian atau pemahaman fikih konvensional yang selama ini berkembang di kalangan umat Islam saat ini bisa mematahkan tesis yang mengatakan bahwa selama ini hukum fikih itu majunya ke belakang bukan ke depan, yaitu hukum fikih yang selalu dikembalikan pada masa para sabahat atau pada masa ketika penulis hukum fikh itu hidup.
Pada akhirnya, hukum fikih dalam media sosial bersifat dinamis, sesuai dengan konteks yang ada. Karena banyak alasan kuat yang melandasi perubahan hukum sesuai dengan sosio-kultural yang ada. Dengan demikian, al-Quran dan sunnah telah menetap hukum-hukum tentang perubahan terhadap hukum yang ada, berdasarkan sebab-akibat.
Karena itu doktrinnya selalu sesuai “dengan perubahan waktu, perintah berubah pula” sesuai yang selama ini dengan bunyi taghayyur al-ahkam bi taghayyur az-zaman: perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, yang diformulasikan. Begitu.
- Gangubai, Stigma dan Diskriminasi Pelacur - 3 Juli 2022
- Hasrat dan Jejak Ruang Media Sosial - 30 April 2022
- Autologi Diri Perspektif al-Ghazali - 26 Maret 2022