Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah politik Indonesia, dua entitas besar, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah menjadi topik yang memicu perdebatan sengit. Kedua organisasi ini, walaupun berbeda dalam ideologi dan tujuan, memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika sosial dan politik di tanah air. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai perbandingan antara HTI dan PKI, serta bagaimana keduanya menggambarkan kerumitan peta politik dan sejarah Indonesia.
HTI, sebagai organisasi yang dikenal dengan perjuangan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah, mengusung cita-cita untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun HTI memiliki basis dukungan yang kuat, langkah pemerintah untuk membubarkan ormas ini pada tahun 2017 menunjukkan ketegangan yang ada antara aspirasi ruhani dan keinginan untuk menjalankan negara berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Di sisi lain, PKI, yang pernah berkuasa pada tahun 1960-an, mengenakan lambang palu arit dan menekankan pada paham materialisme, bertentangan secara mencolok dengan nilai-nilai agama yang diusung oleh HTI.
Dengan membandingkan keduanya, kita tidak hanya melihat pada ideologi semata, tetapi juga memahami konteks sosial yang melatarbelakangi kebangkitan masing-masing organisasi. HTI muncul pada akhir abad ke-20 di tengah arus reformasi yang menjanjikan kebebasan berpendapat, sedangkan PKI berkeliaran dengan kekuatannya pada masa-masa penuh gejolak yang diwarnai dengan pergolakan kelas dan perjuangan anti-kolonial. Dapat dikatakan bahwa keberadaan HTI dan PKI mencerminkan reaksi masyarakat terhadap kondisi politik dan sosial yang ada saat itu.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap HTI dan PKI sangat menarik untuk dicermati. Mengapa ada kelompok yang memuja ideologi HTI, sementara yang lain melihat PKI sebagai momok menakutkan? Untuk memahami hal ini, kita perlu melibatkan komponen sejarah yang lebih luas. Sejarah kelam yang menyelimuti PKI menyebabkan stigma yang mengakar kuat dalam pikiran masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa PKI identik dengan pemberontakan dan pembantaian. Sebaliknya, HTI mengusung citra perjuangan yang lebih religius, meski beberapa kalangan skeptis menilai tujuannya sama besarnya dengan PKI dalam hal menciptakan tatanan sosial baru, yang menurut mereka bisa mengancam stabilitas negara.
Ketertarikan masyarakat terhadap aspek-aspek di luar ideologi juga patut dicermati. HTI, dengan penekanan pada kesatuan umat Islam dan pembentukan komunitas, menawarkan alternatif yang segar di tengah distorsi sosial yang dialami masyarakat. Program yang diusung, seperti pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial, menjadi daya tarik tersendiri. Terlepas dari itu, pendekatan HTI dalam mendiskusikan isu-isu kontemporer juga menciptakan ruang dialog yang, meskipun kontroversial, tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Mempertemukan dua ideologi yang sangat berbeda, HTI dan PKI, secara tidak langsung menyajikan pelajaran berharga bagi kita semua. Aspek kebebasan berpendapat dan hak untuk berorganisasi harus dihargai, tetapi di sisi lain, keutuhan bangsa dan keamanan masyarakat juga harus menjadi prioritas utama. Dalam dialog ini, terciptalah fenomena pergesekan ide yang kadang-kadang menghasilkan pemikiran yang cemerlang, tetapi tidak jarang juga berujung pada konflik sosial yang mendalam.
Sekarang, dengan situasi politik yang terus berubah, muncul pertanyaan-pertanyaan mendesak: Apakah HTI akan mendapatkan jalan kembali ke panggung utama politik Indonesia? Atau apakah stigma yang melekat pada PKI akan terus berlanjut, menghalangi segala usaha untuk merevitalisasi paham-paham lama demi kepentingan pembelajaran sejarah? Tangkas, kita wajib menggugah kesadaran kolektif untuk terus mengkaji dan memahami sejarah kita dengan berbagai dimensinya lebih dalam.
Kesimpulannya, HTI dan PKI menjadi representasi dari dua dunia yang bertabrakan—satu berakar pada keyakinan agama, dan lainnya pada paham materialisme. Walaupun keduanya mungkin tampak sebagai kutub yang bertentangan, ada benang merah yang menyatukan: pencarian identitas dan keadilan bagi ummat manusia. Dengan mempelajari kedua organisasi ini, kita dapat lebih menghargai keragaman perspektif dalam masyarakat serta memberikan ruang dialog yang konstruktif, bukan hanya untuk kepentingan politik, tetapi demi kemajuan sosial yang lebih besar.
Menghadapi masa depan, penting bagi kita untuk terus mengeksplorasi dan menantang pikiran-pikiran yang ada. Untuk itu, marilah kita membuka diskusi mengenai peran HTI dan PKI, guna memahami betapa kompleks dan dinamisnya sejarah dan politik di Indonesia. Hanya dengan begitulah, kita dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa yang lebih harmonis dan inklusif.






