Hukum dan Penanganan Narkotika di Indonesia

Hukum dan Penanganan Narkotika di Indonesia
©VOA Indonesia

Persoalan penyalahgunaan narkotika sudah lama kita kenal di Indonesia. Hal tersebut dapat kita ketahui saat keluarnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional. Tujuannya, untuk menanggulangi enam persolan negara yang menonjol, salah satunya ialah penanganan narkotika.

Dengan berjalannya waktu, penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang sangat serius. Maka pada masa Orde Baru (Orba), pemerintah mengeluarkan regulasi (beschikking) berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah berubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Karena persoalan terkait penyalahgunaan narkotika di Indonesia masuk kategori persoalan yang luar biasa, maka perlu penanganan narkotika yang luar biasa pula.

Di dalam penegakan hukum terhadap persoalan narkotika, hanya diserahkan atau diperankan kepada para penegak hukum saja tidak akan cukup. Oleh karena itu, butuh pula peran serta dari seluruh elemen masyarakat.

Keterangan itulah yang melatarbelakangi berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN menggalakkan melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan Indonesia bebas dari narkoba yang merupakan target dari seluruh negara ASEAN.

Upaya-upaya tersebut bertujuan untuk menyelamatkan para pengguna narkoba dengan cara rehabilitas berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahwa pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalankan rehabilitas medis dan rehabilitas sosial. Untuk bisa rehabilitas, terhadap mereka mesti kena pasal 127 UU narkotika.

Pasal 127 ayat (1) menyebutkan, setiap penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sedangkan penyalahgunaan narkotika golongan II bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Dan penyalahgunaan narkotika golongan III bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun.

Oleh karena itu, pencegahan penyalahgunaan narkotika sangat ktia perlukan sejak dini.

Pemerintah dalam menanggulangi persoalan penyalahgunaan narkotika butuh keseriusan, terutama dalam persamaan kedudukan persoalan narkotika dengan persoalan korupsi dan terorisme. Ketiga persoalan tersebut sama-sama mempunyai dampak yang sistemik, mengancam ketahanan nasional serta merusak kesehatan masyarakat, terutama generasi muda.

Problematik

Dapat kita ketahui problematik atau persoalan yang timbul dari segi penanganan para penyalahguna narkotika. Berbagai pihak mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menyelesaikan atau merampungkan revisi tentang undang-undang (RUU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Revisi tersebut sangat kita perlukan karena payung hukum yang berlaku saat ini belum mampu menekan peredaran barang haram tersebut.

Menurut Kepala Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, salah satu poin yang perlu kita revisi, yakni pasal 112 UU narkotika. Menurutnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu menjelaskan lebih rinci dalam pasal tersebut. Sebab, pasal tersebut tidak membedakan antara penyalahguna dengan pengedar atau bandar narkotika.

Faktanya, penegak hukum sering kali salah dalam mengimplementasikan pasal tersebut untuk menjerat penyalahguna narkotika. Padahal, seyogianya pasal tersebut hanya berlaku bagi pengedar atau bandar narkotika. Sebab, Pasal 112 UU Narkotika memuat frasa “memiliki, menyimpan, menguasai” narkotika. Karenanya, penyalahguna narkotika lebih tepat terjerat dengan Pasal 127 UU Narkotika.

“Keberadaan unsur ‘memiliki, menyimpan, menguasai’ penyalahguna akan mudah terjerat pidana penjara. Sebab, secara otomatis penyalahguna pasti memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika. Meskipun unsur delik itu tidak memuat unsur mens area, yaitu tujuan atau maksud jahat dari kepemilikan narkotika tersebut.”

Selengkapnya, Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, terpidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.

Sedangkan, Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan, setiap orang yang penyalahguna narkotika Golongan I bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kemudian, pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika Golongan III bagi diri sendiri terpidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.

Kemudian, Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan jika penyalahguna narkoba terbukti hanya menjadi korban, maka individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sesuai isi dari undang-undang tersebut.

Halaman selanjutnya >>>
Latest posts by Mohammad Tobing (see all)