Hukum dan Penanganan Narkotika di Indonesia

Bila membandingkan pasal-pasal tersebut, seharusnya terdapat perlakuan berbeda antara pengedar dan penyalahguna narkotika. Sayangnya, penegak hukum lebih banyak menjerat penyalahguna narkotika dengan menggunakan Pasal 112 karena lebih mudah dalam proses pembuktiannya.

Persoalan yang muncul adalah dari perbedaan persepsi antar-aparat penegak hukum yang kemudian menimbulkan penanganan penyalahguna narkotika yang berbeda-beda pula. Sangat sering terjadi penyidik menggunakan pasal yang tidak seharusnya terberi kepada pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Jaksa Penuntut Umum pun hanya bisa melanjutkan tuntutan yang sebelumnya sudah tersangkakan oleh penyidik, yang kemudian hal itu berujung vonis pidana penjara oleh Pengadilan (Hakim) kepada para pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Seharusnya aparat penegak hukum dapat lebih jeli lagi melihat amanat Undang-Undang dan regulasi lainnya yang mengatur tentang penanganan penyalahguna narkotika. Sudah jelas dalam pasal 54 UU Narkotika yang mengutamakan bahkan wajib hukumnya pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal itu mendapat penguatan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pencandu Narkotika.

Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memenuhi hak pencandu narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apa yang termaksud dalam PP No. 25 Tahun 2011 ini pun semestinya para aparat penegak hukum menjalankan pula mengingat Peraturan Pemerintah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Begitu pula apabila kita lihat dari sisi hakim. Hakim seharusnya dapat memperhatikan pasal-pasal pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adanya kondisi tersebut berakibat penyalahguna narkotika tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan ketergantungannya. Dengan tidak pulihnya ketergantungan tersebut, berpotensi penyalahguna menggunakan atau memakai narkotika kembali di dalam penjara. Akibatnya, praktik jual-beli narkotika makin subur, bahkan di dalam penjara sekalipun.

Selain itu, Undang-Undang Narkotika lebih mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara yang menimbulkan persoalan lain terkait daya tampung penjara yang saat ini sudah melebihi kapasitas (over-capacity). Penjara yang penuh menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan bagi warga binaan dan petugas penjara. Selain itu, sesaknya penjara juga berpotensi tingginya konflik di dalam penjara.

Baca juga:

Oleh sebab itu, penegak hukum seharusnya mengedepankan proses rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika ketimbang penjatuhan sanksi pidana. Kita harus membandingkan negara lain yang lebih mengedepankan proses rehabilitasi yang justru mampu menekan peredaran narkotika.

Dengan begitu, pemerintah dan DPR harus memberi penegasan dalam membedakan antara pengedar atau bandar dengan penyalahguna. Kemudian, untuk penegak hukum, lebih mengedepankan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika ketimbang sanksi pidana.

Kesimpulan dan Saran

Pada permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan para penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pencandu narkotika yang merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana penjara dan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang mana dalam lapas tersebut para pencandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba.

Padahal fakta empiris tegas memperlihatkan bahwa peredaran narkotika di dalam lapas juga marak. Itu artinya, vonis pidana penjara dan penempatan para pencandu narkotika di dalam lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Yang terjadi, para pencandu tersebut akan makin kecanduan dan makin mudah memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar, sindikat, dan pengedar narkotika.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, adanya strategi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN.

Dalam strategi tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan para pencandu narkotika demi menurunkan prevalensi pencandu narkotika dan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tahun 2015 Indonesia bebas dari narkoba.

Selain itu, terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Dekriminalisasi itu adalah proses penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.

Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan di mana para pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor yang Pemerintah tunjuk. Kemudian para pencandu dan korban penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Halaman selanjutnya >>>
Mohammad Tobing
Latest posts by Mohammad Tobing (see all)