
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di sebagian besar desa/kelurahan dilaksanakan secara serentak pada hari ini, 7 November 2019. Hiruk pikuk politik telah terjadi beberapa bulan terakhir, yang memanas pada fase seminggu terakhir, dan makin mengecam di detik-detik menjelang pencoblosan
Tulisan ini tentang pelaksanaan Pilkades pada beberapa desa yang sangat jauh dari kawasan perkotaan di daerah Jawa Timur. Sehingga situasi sosial yang terjadi juga berbeda dengan pelaksanaan pemilihan di masyarakat perkotaan.
Prosesi pelaksanaan Pilkades di beberapa desa berlangsung dengan sangat panas. Calon Petahana yang ingin tetap melanggengkan kekuasaannya, melawan calon penantang yang barang, tentu sudah sangat tidak puas dengan sekian “kegagalan” petahana selama memerintah di desa.
Selama masa kampanye berlangsung, nyaris tidak ada terlontar visi-misi dari masing-masing calon. Masyarakat pun begitu ogah dengan visi-misi.
Kita tahu bersama bahwa masyarakat desa sangat jarang yang peduli dengan visi-misi, bahkan barangkali tidak tahu apa itu visi dan misi. Bagi masyarakat desa, yang dilihat adalah siapa calon yang diusung atau mencalonkan diri? Atau bagaimana latar belakang keluarga dan kesehariannya dengan masyarakat? Itu saja yang dipandang masyarakat desa.
Hal semacam ini tentu sah-sah saja dalam proses demokrasi. Figur publik memang sering kali menjadi daya tarik tersendiri dalam memperoleh dukungan. Tetapi tidak cukup sampai di situ untuk memenangkan kontestasi Pilkades.
Perseteruan dalam perebutan kekuasaan kerap kali menggunakan berbagai macam cara. Baik yang legal (sesuai aturan yang berlaku) ataupun tidak.
Beberapa bulan lalu, kita baru saja melalui pemilu legislatif sekaligus pilpres. Ketegangan juga terjadi dengan berbagai isu yang digaungkan seputar anti-NKRI, anti-Pancasila, Khilafah, HTI, PKI, dan lain sebagainya. Tetapi itu semua tidak terjadi pada masyarakat desa.
Baca juga:
Sekalipun terjadi permainan isu, yang dimainkan biasanya seputar kesalahan kades, keluarga kades, dan perangkat desa. Sekalipun kesalahannya tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pemerintahan desa, tetap saja bisa dijadikan bahan untuk menjatuhkan nama baik kades, yang muaranya adalah kekalahan pada kontestasi Pilkades.
Kita mungkin masih ingat, detik-detik menjelang Pilpres kemarin, tiba-tiba muncul film Sexy Killer yang mengungkap permainan bisnis beberapa elite politik di kancah nasional. Secara bersamaan juga banyak terjadi informasi-informasi hoaks antarpendukung paslon.
Hal yang demikian juga terjadi di desa. Hebatnya adalah, di sebuah desa yang sangat kecil, dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) kurang dari seribu jiwa, informasi hoaks masih saja bisa tercipta dan tersebarluaskan. Bedanya, hoaks tersebar dari mulut ke mulut secara berantai. Dan konfirmasi dalam jejaring komunikasi online pun sangat terlambat. Mulut tetangga lebih cepat dari 4G di desa.
Politik Uang
Politik uang memang bukan hal yang baru. Itu sudah berlangsung lama, bahkan mungkin sangat lama.
Kita semua yakin, semua elite politik mengakui bahwa politik uang adalah tindakan yang tidak benar dalam proses demokrasi. Namun secara bersamaan, kita juga masih begitu sering menyaksikan praktik transaksi jual-beli suara.
Permainan politik timses di desa, satu sisi, cukup cerdik, namun juga kaku. Dikatakan cerdik karena dalam proses memperkuat dukungan (dengan membagikan uang) sangat samar, yaitu dengan memanggil orang terdekat ke rumah salah satu timses, atau dititipkan pada orang lain yang tidak dicurigai, atau cara-cara lain yang tidak dapat terendus pihak lawan.
Lalu bagaimana menjadi kaku? Terutama pada durasi beberapa hari menjelang pemilihan, warga yang sudah meng-iya-kan pada salah satu calon (tentu dengan menerima uang), seolah terlarang untuk menjalin silaturahmi dengan timses lawan. Sekadar berbincang atau bertamu seperti biasanya, tanpa ada keterkaitan dengan politik, sudah pasti menjadi sorotan sesama pendukung.
Kekhawatiran untuk berpaling terlalu berlebihan. Seluruh timses dengan siaga selalu berjaga sepanjang 24 jam secara bergantian. Jadi biasa saja kalau tengah malam banyak motor lalu lalang.
Dengan ketegangan yang begitu dahsyat di kalangan timses, berapa nominal yang diberikan kepada warga untuk “membeli” suara atau “ongkos” mencoblos pada saat Pilkades?
Terkait nominal mungkin saja tidak sama, bahkan bentuk yang diberikan pun bisa tidak harus uang. Namun di salah satu desa, ada yang bahkan berani menggelontorkan uang senilai 200 ribu rupiah per kepala. Mungkin saja di desa-desa lain masih banyak dengan nominal yang jauh lebih besar.
Inilah perjuangan hanya demi jabatan selama enam tahun. Mungkinkah nominal 200 ribu dikalikan jumlah pemilih dapat kembali dalam kurun waktu enam tahun?
Krisis Figur dan Nasib Pembangunan
Politik uang dengan nominal yang begitu besar, setidaknya dua hal itulah yang menjadi teka-teki; figur dan pembangunan desa. Praktik politik uang, politik transaksional, atau apa pun namanya dengan merujuk pada satu pemahaman yang semakna, secara tidak langsung menunjukkan bahwa terjadi ketidakpercayaan diri pada masing-masing cakades.
Bila saja salah satu atau semua Cakades percaya diri bahwa dirinya mampu memengaruhi atau mengambil hati masyarakat, tentu tidak harus dengan menebar pesona rupiah. Terutama sekali bagi Cakades petahana, jika ia berlaku baik, benar, sesuai norma dan aturan selama masa kepemimpinannya, rakyat tidak mungkin harus dibeli dengan uang. Masyarakat desa sangat mengenal dan lebih tahu cara berbalas budi.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Politik uang sudah telanjur terjadi, masyarakat sudah menerima ratusan ribu dari masing-masing calon. Pilkades pun sudah berlangsung, tinggal menanti calon mana yang memenangkan kontestasi politik di desanya masing-masing.
Semua kegaduhan akan segera berlalu. Seluruh timses akan kembali pada aktivitas hariannya masing-masing.
Baru kemudian kita akan bertanya, bagaimana rencana pembangunan di desa? Dapatkah pembangunan (infrastruktur) dapat dilaksanakan secara maksimal dan sesuai prosedur dengan daya tahan yang sesuai prediksi? Atau akan dilaksanakan dengan ala kadarnya yang penting terlaksana? Mari kita saksikan bersama di desa-desa yang menggelar pilkades dengan tingkat politik uang yang tinggi.
Sebelum menjawab pertanyaan pembangunan, ada pertanyaan yang mungkin belum terjawab, bagaimana cakades (menang ataupun kalah) akan mengembalikan modal politiknya? Tiadakah memperhitungkan untung-rugi dalam perebutan kursi kekuasaan? Ini semua pertanyaan umum yang sering sekali terlontar. Barangkali mereka ikhlas mau berbagi rezekinya dengan rakyat.
- Huru-hara Pilkades dan Nasib Desa Sesudahnya - 7 November 2019
- Meikarta, Peluang dan Ancaman bagi Indonesia - 8 Januari 2018