Husain Thabathabai dan Sepuluh Pengetahuan Tuhan

Husain Thabathabai dan Sepuluh Pengetahuan Tuhan
©Tafsir Al-Quran

Seakan sudah menjadi kesepakatan bahwa kajian tentang pengetahuan Tuhan adalah salah satu pembahasan penting dalam sejarah pemikiran Islam yang sangat banyak menyerap energi berpikir para filosof dan teolog Muslim. Bahkan, karena pentingnya kajian itu, tidak berlebihan jika dikatakan hampir seluruh filosof dan teolog berusaha mengkaji dan memahami hakikat pengetahuan Tuhan. Lalu apa yang menjadi masalah utama perdebatan mereka?

Kita tahu, perdebatan utama para filosof dan teolog secara umum di seputar pengetahuan Tuhan adalah, apakah pengetahuan Tuhan itu bagian dari zat-Nya atau justru terpisah dari zat-Nya? Apa yang dapat diketahui oleh Tuhan? Apakah Tuhan mengetahui segala sesuatu? Ataukah pengetahuan Tuhan itu sebenarnya bermakna mengetahui prinsip-prinsip umum yang mengatur dunia?

Berangkat dari permasalahan ini, pemikir asal Iran yaitu Husain Thabathabai memberikan pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan, di samping juga menguraikan sepuluh pendapat para filosof dan teolog berkenaan dengan pengetahuan Tuhan.

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui berdasarkan zat-Nya, bukan berdasarkan akibat yang muncul disebabkan oleh adanya Tuhan. Dikatakan demikian, karena Tuhan sebagai zat yang transenden adalah bersifat azali, sedangkan akibat-akibat Tuhan adalah baru.

Thabathabai juga ketika mengomentari pendapat pertama ini mengatakan, berdasarkan pendapat itu, jelas sudah bahwa pengetahuan tentang akibat-akibat-Nya adalah bagian dari pengetahuan langsung, baik sebelum maupun sesudah akibat-akibat itu mengada di dalam tingkatan zat.

Kedua, pandangan ini bersumber dari Plato. Baginya,  pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu merupakan akal-akal imaterial (al-uqul al-mujarradah), yang di dalamnya terkumpul bermacam-macam kesempurnaan segala sesuatu. Pendapat Plato tentang pengetahuan itu hendak mengatakana bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu adalah, pengetahuan yang telah terjadi yang terdapat dalam tingkatan wujudnya yang mungkin.

Pengetahuan Tuhan yang demikian ini, meniscayakan zat Tuhan yang transenden dan tidak memiliki kesempurnaan-kesempurnaan pengetahuan. Padahal, Tuhan adalah zat murni yang memiliki segala kesempurnaan wujud.

Ketiga, pendapat yang bersumber dari Porphyry. Pendapat ini menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu menjadi satu dengan sesuatu yang diketahui. Pendapat ini menurut Thabathabai hanya mampu untuk menjelaskan bersatunya antara yang mengetahui (aqil) dan yang diketahui (al-ma’qul). Atas dasar kesatuan itu, Tuhan dapat dikatakan mengetahui sesuatu secara langsung, tapi tidak bergantung pada sesuatu itu sendiri.

Baca juga:

Namun, pengetahuan Tuhan yang demikian tak mampu menjelaskan pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu, baik sebelum maupun sesudah segala sesuatu itu terjadi. Kritik Thabathabai terhadap pendapat Porphyry di atas sangat jelas menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap pendapat itu. Karena baginya, pendapat itu tak mampu menjelaskan pengetahuan Tuhan terhadap sesuatu (baik sebelum atau sesudah sesuatu itu terjadi).

Keempat, pendapat yang bersumber dari Syaikh al-Israq. Pendapat ini menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, baik yang imaterial (al-Mujarradat) maupun yang material (almaddiyat). Dan, segala sesuatu itu diketahui Tuhan secara langsung dengan wujud yang sebenarnya, tanpa penghalang apapun.

Pengetahuan Tuhan yang terperinci tentang segala sesuatu terjadi setelah segala sesuatu itu terjadi. Tuhan juga memiliki pengetahuan yang global terhadap segala sesuatu itu karena pengetahuan Tuhan berdasarkan zat-Nya.

Sebagaimana di atas, Thabathabai menolak pendapat Syaikh al-Israq. Penolakan itu didasarkan pada pendapat syaikh al-Israq yang menyatakan sesuatu yang material dapat secara langsung diketahui Tuhan, dan pembatasan pengetahuan Tuhan yang terperinci pada sesuatu yang telah terjadi, akan membawa pada kesimpulan ketidaksempurnaan zat Tuhan. Sebagai zat yang paling sempurna, tentunya Tuhan mengetahui apapun secara terperinci, baik sebelum ataupun setelah sesuatu itu terjadi.

Kelima, pendapat yang bersumber dari Melatius (548 SM). Pendapat ini mengatakan, Tuhan mengetahui dengan Akal Pertama (alaql al-awwal) yang merupakan Pemancar Pertama (al-shadir alawwal). Kehadiran al-shadir al-awwal pada Tuhan, ia secara langsung mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan yang tidak didapatkan Tuhan dari Akal Pertama, akan didapatkan dengan cara merepresentasi (irtisam) gambaran-gambaran seluruh sesuatu itu pada Akal Pertama.

Rupa-rupanya, pendapat ini meniscayakan ketidaksempurnaan zat Tuhan yang transenden. Disamping itu, pernyataan yang mengatakan bahwa pengetahuan yang tidak diperoleh melalui Akal Pertama, akan didapatkan melalui representasi seluruh sesuatu itu pada Akal Pertama, adalah pernyataan yang tidak dapat dibenarkan. Karena pengetahuan imaterial  didapatkan  secara tidak langsung (Hushuli), tapi sebaliknya pengetahuan demikian didapatkan secara langsung (Hudhuri).

Keenam, pendapat yang menyatakan bahwa zat Tuhan yang transenden memiliki pengetahuan yang terperinci (tafshili) berdasarkan akibat pertama (al-ma’lul al-awwal). Tuhan juga memiliki pengetahuan secara global (ijmali), tapi tidak dari akibat pertama itu. Dzat al-ma’lul al-awwal (zat akibat yang pertama) memiliki pengetahuan terperinci dari akibat kedua (al-ma’lul altasani). Sebaliknya, zat akibat yang pertama itu memiliki pengetahuan global tidak dari akibat kedua tersebut. Begitu seterusnya.

Ketujuh, pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan pemikir yang datang belakangan. Dalam pandangan mereka, Tuhan memiliki pengetahuan berdasarkan zat-Nya. Pengetahuan yang berdasarkan zat-Nya itu dibagi menjadi dua, yaitu pengetahuan terperinci dan pengetahuan global.

Halaman selanjutnya >>>
Salman Akif Faylasuf
Latest posts by Salman Akif Faylasuf (see all)