Hutan Para Roh

Hutan Para Roh
Ilustrasi: Stocks

Jauh di atas sana, di permukaan langit lapis ketiga, Tuhan mencipta sebuah hutan belantara. Hutan itu Tuhan ciptakan sebagai tempat tinggal roh-roh manusia yang telah dipisahkan dari raganya, oleh kematian.

Sepanjang waktu, di hutan itu hanya akan terdengar kidung-kidung pilu yang iramanya menyayat hati; melumat relung perasaan yang paling dalam. Sampai saat ini, tak ada satu pun manusia yang mengetahui keberadaan hutan itu. Tapi, seandainya ada seorang manusia yang diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menyaksikannya, pasti ia akan mengatakan bahwa hutan itu sungguh mahaluas. Bahkan lebih luas dari hutan-hutan terluas yang ada di muka bumi.

Hanya ada satu jenis pohon yang tumbuh di hutan itu. Tuhan menamainya pohon kematian. Pohon itu selamanya tidak akan pernah ditemukan di bumi. Bentuknya hampir mirip dengan pohon bambu. Akan tetapi, jika batang dan daun pohon bambu di bumi berwarna hijau, maka batang pohon kematian itu berwarna hitam pekat, sedang daunnya berwarna merah menyala.

Di tengah-tengah hutan, terdapat sebuah telaga kecil. Airnya merah pekat serupa darah. Setiap saat, air telaga itu mendidih sehingga di permukaannya selalu bermunculan gelembung-gelembung yang menetaskan uap panas.

Bila dilihat sekilas, hutan itu akan tampak kosong tak berpenghuni. Tapi jika dilihat dengan lebih teliti lagi, maka akan terlihat sosok-sosok halus serupa kabut berbentuk tubuh manusia yang senantiasa melayang dan berkelebat. Itulah wujud roh-roh manusia yang telah terlepas dari raganya dan menjadi penghuni hutan itu. Benar-benar tak ada yang berbeda antara wujud para roh dengan bentuk tubuh manusia yang masih hidup. Hanya saja, para roh bisa terbang melayang dan meliuk-liuk di udara, sedang manusia tidak bisa.

Dengan sifat kuasa-Nya, Tuhan menjadikan semua roh penghuni hutan itu selalu berusia dua puluh lima tahun. Sampai kapan pun mereka tidak akan pernah tua. Jadi, apabila seorang manusia meninggal dunia di usia tua, maka rohnya akan kembali berumur dua puluh lima tahun ketika tinggal di hutan itu. Begitu juga manusia yang meninggal ketika masih kecil. Mereka hanya akan tumbuh sampai usia dua puluh lima tahun. Tak akan pernah bertambah usia sampai kapan pun, bahkan sampai hari kiamat tiba.

Konon, sebelum tinggal di hutan itu, roh manusia yang baru meninggal masih akan berada di bumi selama tujuh hari tujuh malam semenjak hari kematiannya. Barulah pada hari ketujuh, malaikat akan menjemput dan mengantarkannya ke hutan itu.

***

Di tepi telaga yang ada di tengah-tengah hutan, tampak sepasang roh sedang duduk bersandar pada bebatang pohon kematian. Yang satu lelaki, satunya lagi perempuan. Usia mereka tampak sebaya. Mereka baru saja bertemu dan berkenalan beberapa saat yang lalu.

“Sudah berapa lama kamu tinggal di hutan ini?” tanya roh perempuan.

“Sekitar seratus tahun, Alisa,” jawab roh lelaki. “Kamu?”

“Sepertinya juga sudah hampir seratus tahun aku di sini.”

“Tapi, kamu jauh lebih beruntung, Alisa.”

“Kenapa begitu?”

“Kamu beruntung bisa merasakan indahnya hidup di dunia, sedangkan aku tidak.”

“Maksudmu?”

“Dulu, beberapa bulan sebelum aku dilahirkan ke dunia, maut sudah mencabut rohku.“

“Aku belum mengerti maksudmu, Roy.”

“Aku tidak diinginkan, Alisa! Aku digugurkan oleh ibuku sendiri!”

“Digugurkan?!” Roh perempuan itu tampak begitu terkejut.

“Ya, digugurkan!” jawab roh lelaki sambil menatap mata Alisa. “Tapi, sudahlah. Bukankah memang itu jalan takdirku?”

“Tunggu dulu. Tidakkah kamu sempat melihat wajah perempuan yang telah menggugurkanmu dari rahimnya itu?”

“Maksudmu ibuku?”

“Ya, ibumu.”

Roy menggelengkan kepala. Diambilnya sebuah batu kecil yang tergeletak di tanah, lantas ia lemparkan ke arah telaga.

“Saat itu, yang kulihat hanyalah seorang perempuan berpakaian serba putih, rambutnya sebahu, memakai masker dan kacamata. Perempuan itu mengangkat tubuhku yang belum sempurna dan memasukkannya ke dalam tas plastik, lantas membuangnya ke tempat sampah.”

“Selain itu, apalagi yang kamu lihat, Roy? Tidakkah kamu melihat seperti apa suasana ruangan tempat perempuan itu mengeluarkanmu dari rahim ibumu?”

“Seingatku, ruangan itu cukup sempit. Ada beberapa poster ditempel di dindingnya yang berwarna biru muda. Di bagian atas dinding sebelah timur terdapat sebuah kipas angin. Dan yang paling kuingat adalah sebuah lubang yang ada di sudut langit-langitnya.”

“Lubang di sudut langit-langit?!” Alisa tercekat. Raut wajahnya tampak semakin terkejut.

“Ya, benar. Memangnya kenapa?”

“Ah, tidak. Tidak apa-apa.”

“Sudahlah. Sebaiknya kita tidak usah membahasnya lagi.”

Setelah itu mereka hanya diam memandang telaga dan larut ke dalam pikirannya masing-masing. Tak lama kemudian, Roy bangkit dari duduknya, lalu mengajak Alisa pergi.

“Mau ke mana, Roy?”

“Bagaimana kalau kita pergi ke puncak bukit? Aku sudah bosan duduk di sini.”

Alisa setuju. Mereka pun melayang-layang rendah di atas permukaan tanah menuju bukit yang ada di tepi hutan.

“Roy,” ujar Alisa di tengah perjalanan.

“Ya, Alisa?”

“Seandainya hari kiamat tiba dan Tuhan memasukkanmu ke surga, tidakkah kamu mau menunggu ibumu di pintu surga?”

“Kurasa tidak, Alisa.”

“Kenapa?”

“Aku tidak mau bertemu dengan perempuan yang tak menginginkan kehadiranku.”

“Tidakkah kamu ingin melihat seperti apa wajah ibumu?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Perempuan itu terlalu kejam untuk ku tunggu di pintu surga.”

Mendengar jawaban Roy, raut wajah Alisa tampak semakin sedih. Ketika sampai di puncak bukit, mereka kembali duduk. Kali ini tidak bersandar pada pohon, melainkan duduk di atas tanah, memandang luasnya hutan di lereng bukit.

“Tidakkah kamu mau menceritakan kematianmu, Alisa?”

“Kamu mau mendengarnya?”

“Mengapa tidak?”

“Aku meninggal di usia tua, Roy. Dalam kesendirian di panti jompo.”

“Oh, ya? Bagaimana kamu bisa tinggal di sana? Di mana keluargamu?”

“Aku hidup sebatang kara. Suamiku menjatuhkan cerai karena aku mandul. Padahal, saat itu pernikahan kami baru seusia jagung. Tahun-tahun berlalu tanpa ada seorang lelaki pun yang mau memperistriku. Hingga akhirnya, aku menggelandang dan mengemis demi menyambung hidup.”

“Sampai tua?”

“Ya. Sampai tua. Sampai akhirnya ada seorang gadis cantik dan baik hati yang membawaku ke sebuah panti jompo.” Alisa mengakhiri ceritanya dengan mata berkaca-kaca.

Kidung-kidung pilu senantiasa terus menggema di hutan itu.

***

Maafkan aku, Roy, maafkan aku jika harus berbohong kepadamu. Aku tidak mungkin mengatakan kebenaran itu. Tidak mungkin ku katakan bahwa sebenarnya aku meninggal saat masih muda. Bukan di usia tua seperti yang ku ceritakan itu.

Asal kamu tahu, Roy, aku meninggal karena menabrakkan diri pada kereta api di usia dua puluh satu tahun. Saat itu, aku merasa hidupku sudah tidak berguna lagi. Di benakku, dunia ini seolah begitu sempit.

Dan yang seharusnya bertanggung jawab atas kematianku adalah lelaki itu. Lelaki bertaring serigala yang telah menyematkan benih terlarang di rahimku pada suatu malam yang basah. Namun, ketika kuminta pertanggungjawabannya setelah dokter menyatakan bahwa aku positif hamil, lelaki itu justru membuat dilema yang lain. Ia berjanji akan menikahiku dengan syarat aku harus membunuh nyawa tak berdosa di dalam rahimku!

Butuh waktu berminggu-minggu bagiku untuk mempertimbangkannya. Hingga akhirnya aku benar-benar membunuhnya dengan bantuan seorang bidan. Tapi setelah itu, saat hendak kutagih janjinya, lelaki yang sangat ku kasihi itu justru menghilang. Dia seolah-olah lenyap ditelan bumi.

Maka, haruskah kuceritakan semua itu padamu, Roy? Haruskah kuceritakan bahwa yang membantu menggugurkan kandunganku adalah seorang bidan berambut sebahu bernama Icha, yang pada waktu itu memakai pakaian serba putih, masker, dan kacamata?

Haruskah kuceritakan pula bahwa kandunganku digugurkan di dalam sebuah ruangan sempit yang dindingnya bercat biru, dan terdapat sebuah lubang di sudut langit-langitnya?

Tapi aku yakin, Roy, aku yakin suatu saat nanti kamu akan mengetahui semuanya. Aku yakin Tuhan sendiri yang akan menunjukkan kebenaran itu padamu. Kebenaran yang kadang terdengar lebih pilu daripada kidung-kidung pilu yang senantiasa menggema di hutan ini.

*Ahmad Bayhaki, Aktif bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY)

___________________

*Klik di sini untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

Kontributor