
Nalar Warga – Ibu Meiliana, maafkan aku. Ternyata keterangan saya sebagai saksi ahli dalam persidanganmu tak didengarkan hakim. Hakim lebih memilih bisikan lain daripada bisikanku.
Saya sudah berusaha sekuat pengetahuan yang saya miliki untuk membebaskankanmu dari tuduhan melakukan penodaan agama. Meskipun saya tahu biasanya hakim tidak akan tahan dengan tekanan massa. Engkau akhirnya tetap divonis melakukan penodaan agama dengan pidana 18 bulan.
Sebelumnya menduga, jaksa akan terpengaruh dengan argumentasi saya dan menuntutmu bebas, Ibu Meiliana. Mengapa? Setelah sidang, salah satu jaksa mendekati saya sambil berkata: “Terima kasih, Pak, atas keterangannya. Banyak yang mencerahkan saya, termasuk posisi fatwa dalam Islam.” Ternyata dugaan saya inipun meleset.
Saya sangat sedih mendengar vonis yang dijatuhkan hakim ini. Keluhanmu atas suara azan yang semakin bising mengantarkanmu ke bui. Engkau sudah menjadi kurban, hanya beberapa hari sebelum Idulkurban (Iduladha). Sedih.
Ada beberapa hal yang sata tekankan dalam keterangan sebagai ahli Ibu Meiliana:
1) Penerapan Pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dengan pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tidak setuju dengan UU ini, tapi faktanya UU ini masih berlaku.
Mengapa Pasal 1? Karena di situlah substansi penodaan agama, yaitu “….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia. Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 tersebut, terdakwa tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama.
Terdakwa tidak melakukan dukungan umum, juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. Dia hanya menyempaikan dalam perbincangan kecil dengan beberapa orang yang kemudian disebarkan ke banyak orang. Terdakwa juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
2) Azan itu bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama. Sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama.
Azan, pada dasarnya, adalah seruan panggilan untuk salat. Meskipun bagian dari syiar Islam, tapi hukumnya sunnah. Artinya, azan bukanlah suatu kewajiban.
Baca juga: Keadilan di Negeri ini Bukan Milik Meiliana
3) Azan dan pengeras suara dalam azan adalah dua hal yang berbeda. Panggilan salat bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Dulu, sebelum ada pengeras suara, panggilan salat biasa dilakukan dengan memukul bedug atau kentongan sebagai tanda sudah masuk waktu salat.
4) Mempermasalahkan pengeras suara azan tidak bisa dimaknai mempersoalkan azan itu sendiri. Dalam hukum Islam, azan tidak masuk persoalan dharuri (sesuatu yang menjadi pokok ajaran agama yang wajib ditunaikan).
Paling tinggi derajatnya hajiyah (sebagai kebutuhan yang harus ditunaikan supaya memudahkan urusan agama. Sehingga azan hukumnya sunnah—paling tinggi sunnah muakkad. Sedangkan pengeras suara masuk kategori tahsiniyah (untuk semarak dan keindahan Islam).
5) Pengeras suara azan mempunyai dua sisi: sebagai syiar Islam di satu sisi, tapi dia juga punya potensi untuk mengganggu kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat yang plural. Karena itulah pemerintah, melalui Dirjen Biman Islam Kementerian Agama, mengeluarkan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomer KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Dalam instruksi tersebut, ada tuntunan bagaimana seharusnya pengeras suara digunakan dalam masjid dan musala yang intinya sangat penting memperhatikan ketenangan masyarakat. Jangan sampai pengeras suara azan—yang hukumnya sunnah—merusak sendi-sendi keharmonisan masyarakat.
6) Karena itu, penting adanya toleransi dua arah. Pengelola tempat ibadah penting menyelami masyarakat, terutama non-muslim. Tapi yang non-muslim juga perlu mengerti mengapa umat Islam menggunakan pengeras suara dalam azan. Kalau ada pihak yang terganggu, harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip toleransi tersebut.
Sayangnya, keterangan saya tak dipertimbangkan hakim, sebagaimana dalam kasus-kasus sejenis di tempat yang lain.
Saya tahu, ke depan hidupmu akan semakin berat. Meski Ibu Meiliana masih punya hak hukum untuk melakukan perlawanan ke peradilan yang lebih tinggi, tapi saya juga tidak terlalu yakin. Sekali lagi, maafkan saya yang belum bisa membantumu bebas dari kasus ini.
- Mungkinkah Gerindra Akan Menggeser Posisi PDIP? - 29 September 2023
- Murid Budiman - 1 September 2023
- Budiman Sudjatmiko, Dia Pasti Adalah Siapa-Siapa - 30 Agustus 2023
Leave a Reply