
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. ~ Ir.Soekarno
Dari berbagai literatur akhir-akhir ini, ada berbagai polemik yang menimbulkan rasa kekecewaan dari dalam diri sebagai warga negara karena kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat. Negara serasa hanyalah nama dan tempat saja bagi rakyat, tanpa kesejahteraan.
Begitu pun dalam konteks kemerdekaan hanyalah di mulut dan setiap kata “merdeka” hanyalah ucapan belaka. Namun kenyataan yang dialami, Indonesia masih dalam fase penjajahan. Hal itulah mengapa kita sebagai warga negara belum merasakan kemerdekaan sepenuhnya. Padahal bangsa ini telah keluar dari belenggu penjajahan imperialisme.
Namun penjajahan itu kembali dan datang dari sekelompok elite lokal yang duduk di gedung mewah sambil memikirkan bagaimana memonopoli serta melegitimasi kekayaan Indonesia ini. Hal itulah yang kemudian berbenturan dengan jabatannya sebagai wakil rakyat.
Kemudian muncullah pertanyaan-pertanyaan dari tengah-tengah rakyat:
Wakil rakyat macam apa orang-orang seperti itu? Mereka hanya berpikir kapan investor akan datang dan kebijakan bagaimana saja akan kita keluarkan, sehingga memudahkan kita untuk merampas kedaulatan rakyat dengan lahan yang ada. Rakus sekali mereka!
Itulah yang kemudian mendasari mengapa Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Parlemen tidak lagi berpihak dalam keadilan. Orang-orang terdidik namun krisis moral sedang memanipulasi bidang ekonomi, politik, hingga produk hukum serta instrumen ketatanegaraan lainnya. Ya, itulah sebutan yang pantas kita lantunkan pada mereka.
Di mana jabatannya sebagai wakil rakyat hanya sebagai alat untuk menindas, merampas kedaulatan rakyat serta ruang hidup rakyat. Mulai dari pembentukan undang-undang yang manipulatif dan menipu rakyat.
Seolah-olah undang-undang (kebijakan) yang mereka keluarkan sangat membantu untuk menyokong pertumbuhan perekonomian, menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam kenyataan, kebijakan hanyalah berpihak pada mereka sebagai pemangku jabatan; sekaligus membukakan ruang ekspansi baru bagi investor, untuk melancarkan bisnis korporasi.
Baca juga:
Segala cara telah mereka lakukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam di negara ini. Tanpa memperhitungkan dari berbagai aspek, apa yang akan menjadi dampak bagi warga setempat beserta lingkungan bila hal itu terus berlaku. Sehingga mereka menjadi korban bencana karena kerakusan investasi yang merusak alam.
Sedangkan pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Namun pemerintah tetap bersikeras untuk tetap membukakan jalan bagi investor sekalipun akan menabrak aturan yang ketentuannya lebih tinggi.
Kegiatan investasi tersebut tidak memiliki keselarasan dengan apa yang telah para pendiri negara ini titipkan yang termuat pada pasal 33 ayat 3 undang undang dasar 1945 Negara Republik Indonesia agar mengatur penggunaan sumber daya alam, termasuk tanah untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Namun apa yang terjadi saat ini tidaklah berorientasi daripada Undang-Undang Dasar tersebut.
Kegiatan brutal industri ekstraktif para kapitalis sangat berpengaruh pada sektor perekonomian warga yang tinggal di sekitaran kegiatan konsesi. Lahan yang dulunya subur dan jadi lahan pertanian cukup memadai, destinasi alam yang luas menjadi sumber penghidupan warga setempat di bidang pariwisata.
Namun setelah terbukanya industri ekstraktif, keindahan, ketenangan serta kesejukan udara warga hilang seketika, karena gangguan kegiatan eksplorasi yang ditimbulkan oleh alat para cukong rakus, tanpa melihat sekelilingnya dengan kemelaratan dialami oleh warga dan tidak pernah sedikitpun menjiwai rasa keadilan sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan dasar negara (Pancasila).
Karena budaya koruptif mereka timbullah konflik di tengah-tengah masyarakat kelas bawah (proletariat). Kemudian konflik tersebut menjelma menjadi perlawanan dari mereka sebagai kaum marjinal sebab mereka tidak tahan situasi seperti ini penindasan, perampasan ruang hidup ada di mana-mana.
Namun perlawanan dari mereka yang tertindas dihalang-halangi oleh aparat penegak hukum yang tidak lagi sesuai dengan kode etik profesi yang dimiliki, yaitu melindungi, melayani, dan mengayomi justru jadi pembunuh bagi rakyat yang memperjuangkan tempat tinggalnya/tanahnya agar tidak dijadikan sebagai tempat eksploitasi sumber daya alam secara brutal karena dapat membahayakan kehidupan mereka.
Baca juga:
Ini adalah sebuah cikal bakal kembalinya rezim otoriter di era modern. Walaupun telah modern, eksistensi pemikiran penguasa masih dangkal akan masa depan kehidupan serta keadilan antara generasi. Tanpa berpikir secara mendalam apa yang akan anak cucu nikmati di masa akan datang.
Kelahiran rezim brutal ini dikategorikan ke dalam sebuah kejahatan terorganisir terhadap rakyat dan kejahatan ekosida (kejahatan terhadap lingkungan) yang dilakukan oleh pemodal; serta berafiliasi dengan pemerintah (kapitalis, oligarki) dengan mengobrak-abrik sistem ketatanegaraan (produk hukum) menjadi selaras dengannya agar memudahkan mereka dalam memasifkan industrinya, menuju hilir yang sama yaitu uang dan kekuasaan.
- Paradigma Antroposentrisme Menggiring Kita pada Kehancuran - 23 Juli 2022
- Indonesia dalam Genggaman Oligarki - 24 Februari 2022