Indonesia Timur dalam Bayang-Bayang Perang

Indonesia Timur dalam Bayang-Bayang Perang
©Antara

Beberapa orang percaya bahwa perang menjadi penting setidaknya untuk dua hal: pengendalian penduduk dan kekuasaan. Itu minimal bagi Malthus dan Machiavelli. Dan percaya atau tidak, apa yang terjadi di Indonesia Timur — Papua dan Papua Barat — juga berpangkal dari dua kepentingan tersebut.

Kemiskinan tanpa ampun dan kemampuan bersaing di atas “ring” kekuasaan yang lelap dapat membuat manusia atau kelompok manusia kalap. Inilah yang terjadi di timur Indonesia kita.

Apakah tanah Indonesia Timur benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup penghuninya? Saya adalah salah satu orang yang tidak percaya itu! Dan, penduduk dunia tahu bahwa Indonesia Timur adalah lumbungnya kekayaan.

Satu hal yang pasti bahwa tidak ada perang yang lahir tanpa perebutan kekayaan. Apa pun bentuknya, termasuk yang terjadi di Nduga, Papua Barat. Bagi mereka, melawan adalah perang, sekalipun dengan katapel.

Lazimnya perang hanya dilakukan oleh antarkekuasaan (negara/kerajaan) yang berdaulat. Atau oleh negara berdaulat terhadap wilayah yang belum memiliki status/dalam pengampuan. Apabila dilakukan oleh kelompok atau daerah tertentu dalam satu negara, maka biasanya akan dianggap sebagai separatis; kejahatan. Sementara perang bukanlah kejahatan!

Tidak ada aturan apa pun yang melarang perang. Yang ada adalah aturan bagaimana berperang, siapa yang menjadi target, dan seterusnya. Karena tidak ada larangan tersebut, maka, secara moral, setiap negara sepatutnya menghindari demi mencegah terjadinya pelanggaran kemanusiaan.

Konflik Tanpa Ujung

Setahun terakhir ini, bahkan sampai detik ini, intensitas konflik di wilayah timur makin meningkat. Korban berjatuhan, baik yang meninggal dunia (gugur) maupun yang terabaikan hak-hak konkretnya sebagai warga sipil Papua.

Beberapa media berhasil meliput kondisi itu. Tetapi saya tidak yakin bahwa seluruh peristiwa terekam dengan baik, termasuk korban jiwa, baik dari pihak penuntut dan pemenuh hak (pemerintah).

Hari ini, di Nduga, Papua Barat, ada ribuan bahkan puluhan ribu warga sipil yang mengungsi dengan keadaan mengenaskan. Dalam keadaan perang, yang paling mungkin untuk terkena dampak adalah warga sipil. Lebih-lebih bila yang berperang tidak mematuhi aturan perang.

Pemerintah membentuk tim kemanusiaan dari beberapa unsur untuk meneliti pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan di Nduga. Pada kondisi demikian, mestinya bukan lagi mencari pelanggaran, tetapi langsung bertindak untuk mencegah pelanggaran tersebut terus terjadi dan makin akut.

Karena sudah dapat dipastikan bahwa di sana terdapat pelanggaran, setidak-tidaknya pelanggaran atas tidak terpenuhinya hak-hak konkret mereka (social personal service).

Otonomi Khusus?

Padahal, sejak tahun 2001, melalui UU/21/2001, pemerintah telah menetapkan bahwa Provinsi Papua (selanjutnya juga Papua Barat) sebagai wilayah dengan otonomi khusus. Karena sudah berstatus khusus, maka Papua memiliki wewenang khusus, dengan jatah keuangan yang khusus pula. Salah satu alasannya adalah hak asasi manusia, kemiskinan, dan penyelesaian konflik/rekonsiliasi sejarah.

Tetapi sayangnya (maaf, bukan suudzon), isi UU Otsus Papua tidak kurang dari selembar “cek” kosong.

Hasil penelitian LIPI beberapa bulan lalu menunjukkan bahwa dana otonomi khusus Papua, miliaran rupiah, terjepit rapat di kantong-kantong elite (para mantan yang menjadi politisi) Papua. Bagi mereka, dana itu adalah “uang darah”, sebuah tebusan nyawa yang melayang.

Terhadap UU Otsus Papua di atas, saya menangkap tiga hal pokok. Pertama, sebagai pengakuan (kalau bukan apologetic) kegagalan proses pemerintahan di Papua. Kedua, sebagai pelembagaan resolusi konflik. Ketiga, sebagai komitmen untuk memperbaiki kesalahan sebelumnya.

Lalu kenapa setahun terakhir ini (kembali) konflik? Ada tiga kemungkinan untuk jawaban itu.

Baca juga:

Pertama, pembagian “uang darah” tidak merata. Kedua, karena jatah dana otonomi khusus sudah hampir habis (tinggal kurang lebih lima tahun); dan formasi dana bagi hasil juga akan ikut berubah. Ketiga, karena salah satu pihak menganggap otonomi khusus hanya sebagai resolusi konflik.

Sebagai sebuah resolusi, semestinya “syarat” tidak memiliki batas waktu. Jika salah satu pihak, dalam hal ini pemerintah, menghentikan dana otonomi khusus, artinya pemerintah telah melanggar salah satu “syarat”. Oleh karenanya, pihak yang merasa dirugikan dapat menganggap bahwa resolusi (UU Otsus) itu tidak berlaku lagi.

Agar konflik tidak berkepanjangan, ada dua hal yang penting untuk dipertimbangkan. Pertama, membuka hasil rekonsiliasi sejarah. Agar publik dapat menilai, apakah benar telah dilakukan proses tersebut sesuai perintah UU Otsus, atau benar ada sebagai sebuah laporan di atas kertas.

Kedua, mengganti UU Otsus Papua dengan serius. Sudah saatnya memperhatikan struktur dan kultur masyarakat Papua secara utuh serta memberikan wewenang yang pasti dan jelas agar tidak mengulang kesalahan sebelumnya.

Arief Rahman
Latest posts by Arief Rahman (see all)