
Disinformasi yang berkelindan di seputar pandemi Covid-19 adalah suatu infodemi yang masif dan memperparah.
Gelombang pandemi Covid-19 makin mengganas. Munculnya varian baru Covid-19 menambah “kegelisahan” kita terhadap kehidupan saat ini. Kita diharuskan mematuhi seluruh protokol kesehatan agar selamat dari virus mematikan ini.
Namun, ada yang tidak kalah berbahaya selain pandemi, yaitu infodemi; melubernya disinformasi yang tidak benar berikut menimbulkan ketakutan massal. Infodemi memperparah bahkan menyumbang krisis yang lebih besar dalam kehidupan kita. Ini semacam petunjuk ”protokol literasi” agar kita tidak terlibat menyumbang krisis.
Infodemi (infodemic) adalah istilah yang dipadukan dari kata information dan epidemic atau an epidemic of information. Kata ini pertama kali diciptakan oleh David Rothkopf, seorang jurnalis dan pakar politik dari Amerika Serikat. Rothkopf menulis di kolom opini di The Washington Post pada 2 Mei 2003 tentang pandemi SARS atau severe acute respiratory, suatu sindrom pernapasan akut yang disebabkan oleh virus Corona—yang masih semarga dengan SARS-CoV-2, penyebab Covid-19 (Jilianto, 2021).
Analisa Rothkopf merujuk pada bahaya SARS yang membias karena melubernya disinformasi. Mengikuti Julianto (2021), demikian Rothkopf menulis: ”SARS adalah kisah tentang bukan cuma satu epidemi, melainkan dua, dan epidemi kedua adalah wabah yang memiliki implikasi jauh lebih besar dibandingkan penyakitnya sendiri. Ini karena ia bukan epidemi virus melainkan lebih ke epidemi informasi yang telah mengubah SARS dari suatu krisis kesehatan regional Cina yang ditangani dengan ceroboh menjadi suatu bencana ekonomi dan sosial global. Epidemi informasi membuat krisis kesehatan masyarakat menjadi lebih sulit dikontrol dan dibatasi ruang geraknya.” Dan catatan Rothkopf ini dinilai tepat mendeskripsikan kegentingan masa-masa itu.
Analisa Rothkopf di atas mau menunjukkan betapa kehidupan ini selalu dipengaruhi oleh informasi. Ada yang lebih berbahaya selain epidemi virus yaitu epidemi informasi. Wabah disinformasi adalah wabah yang lebih berbahaya karena ia mampu memerangkap kita ke dalam ketidakbenaran dan memancing kemarahan bahkan ketidakpercayaan kolektif terhadap sesuatu yang benar-benar terjadi juga lebih-lebih kepada otoritas yang memiliki kredibilitas yang mumpuni. Kekuatan informasi, selain bersifat konstruktif, dapat juga mampu mendekonstruksi kehidupan kita secara paling tragis.
Infodemi Mengubah Perspektif Massa
Pada akhir 2019, sejak pandemi Covid-19 melanda Wuhan dan pada 2020 mulai menyerang dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengingatkan bahwa infodemi adalah bahaya yang mesti diantisipasi. WHO menyebut, “disinformasi yang berkelindan di seputar pandemi Covid-19 adalah suatu infodemi yang masif dan memperparah pandemi itu sendiri” (Julianto, 2021).
Bahaya infodemi kian menguat tatkala muncul sejumlah kasus, semacam luapan “kegerahan” publik. Sejumlah narasi ketidakpercayaan diumbar sebagai informasi yang kebenarannya belum diverifikasi secara mendalam. Ada rumor yang beredar untuk merobohkan kepercayaan kepada tenaga medis misalnya. Atau timbul sejumlah prasangka yang dipoles menjadi semacam informasi berantai yang dibagikan dalam media sosial.
Alhasil, situasi krisis kian diperparah karena orang kemudian beramai-ramai menaruh percaya kepada informasi yang kurang sahih sumbernya. Ketidakbenaran pun makin mewabah. Di sinilah informasi menjadi suatu epidemi yang menyebar tanpa batas, membahayakan semua usia, dan mengacaukan semua sistem pananganan pandemi Covid-19.
Seturut defenisi Cambridge English Dictionary yang melihat Infodemi sebagai a situation in which a lot of false information is being spread in a way that is harmful, kita sesungguhnya punya tendensi untuk “dikacaukan” oleh informasi.
Sejak pandemi Covid-19 menyerang dunia, berita hoaks menjadi satu kendala bagi Indonesia dalam mengatasi krisis ini (detiknews, 8/04/2021). Berbagai informasi parsial yang diedar dalam medsos berimplikasi besar bagi perspektif publik sehingga otoritas medikal (baca: tenaga kesehatan) semacam tidak diandalkan lagi. Padahal makin besar rumor dan hoaks yang beredar justru memperparah kondisi begitu banyak orang yang telah terpapar.
Dalam ruang siber (cyber space), lebih kurang terdapat dua hal mengapa melubernya informasi berpengaruh terhadap penanganan pandemi. Pertama, akselerasi informasi dalam medsos membuat orang tak mampu lagi memilah mana informasi yang benar dan salah. Sikap ini disebut sikap triumvalistik; segala sesuatu dianggap benar. Tidak ada “ruang tipis” agar kita menerawang kebenaran.
Dampaknya, para tim medis dan para wartawan yang memiliki otoritas yang lebih kredibel justru kesulitan menyampaikan informasi yang penting dan urgen kepada publik. Publik seakan “telanjur” terbuai informasi palsu yang disebarkan secara ramai.
Kedua, serangan wabah informasi ini menyasar justru kepada pihak yang memiliki tanggung jawab besar dalam upaya menekan laju peningkatan pandemi Covid-19. Lihat saja, gelombang informasi yang tak terkontrol mudah memancing kemarahan publik kepada para Nakes yang telah rela berjuang maksimal. Sambil berjuang, para Nakes mendapat serangan bertubi-tubi dari netizen.
Narasi yang memojokkan kerap diterima, rumor yang tak berdasar kerap diluapkan tanpa verifikasi data yang maksimal dan terukur. Di NTT misalnya, alih-alih memberi kritik, sebagian masyarakat terjebak dalam sarkasme yang memojokkan dan memperkeruh situasi.
Potongan-potongan video yang beredar di medsos yang berbau provokatif kerap mengundang reaksi masyarakat. Padahal bisa saja video bersangkutan dibuat atas ketidakpuasan dan pengaruh emosi sesaat yang tak berdasar fakta dan melawan regulasi prosedural. Di sejumlah tempat di NTT, sejumlah protes berhasil reda pasca para petugas memberi penjelasan secara baik. Barulah, kita dapat melihat, pihak mana yang sebenarnya ceroboh dan nyerocos.
Mengantisipasi Infodemi di Medsos
Infodemi perlu diantisipasi. Ia tumbuh subur dalam media sosial sebagai jejaring yang bisa diakses oleh siapa pun. Infodemi membuat penanganan pandemi Covid-19 jauh lebih sulit. Di dalam medsos, kita menjumpai begitu banyak narasi yang kurang santun dan provokatif yang membuat banyak orang dipojokkan.
Di tengah krisis seperti ini beberapa poin bisa diupayakan. Pertama, pengguna medsos mesti bersikap kritis dalam menerima, membagi dan memberi informasi. Sikap kritis itu sebenarnya menunjukkan kerja kinestetik otak mesti jauh mendahului kerja kinestetik jempol. Di sinilah otak mesti mendaulat jempol.
Kedua, media-media massa mesti lebih mengupayakan informasi yang tepat dan berimbang. Menjamurnya media-media online yang tidak ekuivalen dengan kualitas informasi, ‘memaksa’ media-media yang memiliki visi-misi kritis, untuk lebih profesional menjaga integritas dan kualitas jurnalistiknya. Media-media mesti menjadi rujukan yang memberdayakan masyarakat banyak
Infodemi bisa mengacaukan semua sistem penanganan pandemi Covid-19. Infodemi kadang membuat kita gerah.
Pada 1918, Flu Spanyol mulai berlangsung selama dua tahun. Sebagian besar kematian justru terjadi pada gelombang kedua ketika masyarakat merasa tidak nyaman dan gerah dengan jarak sosial dan karantina. Infodemi justru menyusup ke dalam pikiran publik dalam upaya menguatkan ketidapercayaan publik dan merobohkan seluruh regulasi prosedural penanganan pandemi. Infodemi menyerang dan mengubah perpektif massa—membuat kegentingan makin sulit diatasi.
- Infodemi di Tengah Pandemi - 18 Agustus 2021
- Medikalisasi Kehidupan - 6 Juli 2021
- Ingin Jadi Tuhan? - 27 April 2021