Bagi saya, persoalan organisasi mahasiswa kita sekarang ialah karena mereka mau terus-menerus memperpanjang jabatan pahlawan mereka. Kalau saja mereka mau berendah hati dan menerima kenyataan bahwa mereka adalah mahasiswa, saya kira persoalannya tidak seruwet seperti sekarang. ~ Arief Budiman – Sinar Harapan, 20 Februari 1969
Mahasiswa sebagai Penggerak Perubahan
Pertama sekali, kita harus mempertegas siapakah “mahasiswa” itu. Apakah mahasiswa adalah mereka yang duduk di bangku kuliah sembari mencatat keterangan dosen? Atau apakah mahasiswa adalah mereka yang turun ke jalan, berteriak dengan seribu tuntutan, dan ‘meracau’ kepada pemerintah?
Siapakah dirinya? Sejauh mana bangsa ini membutuhkan eksistensinya? Lalu benarkah mahasiswa—secara keseluruhan—adalah kaum intelektual (intelektual organik) yang mampu menggerakkan perubahan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan dasar yang harus kita pecahkan bersama.
Baiklah, kita mulai dari soal intelektual organik. Gramsci (1891-1937) menyebut kaum terpelajar harus menjadi kaum intelektual organik. Menurutnya, terpelajar (anggaplah mahasiswa)—meski kenyataannya tidak semua mahasiswa terpelajar—memiliki tanggung jawab moral, tidak hanya dalam mengembangkan keilmuan, tetapi juga kebudayaan masyarakat (Gramsci, 2008:12).
Mereka merupakan golongan yang harus mampu menjelaskan kehidupan sosial dari luar tidak hanya berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tetapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman nyata, yang tidak bisa masyarakat ekspresikan sendiri. Mereka harus mampu merasakan emosi, semangat, dan apa yang masyarakat rasakan, memihak dan mengungkapkan apa yang menjadi kecenderungan-kecenderungan objektif, serta ikut terlibat dengan apa yang masyarakat alami (Simon, 2004:141).
Pertanyaannya, masih adakah ciri-ciri intelektual organik dalam diri mahasiswa saat ini? Kalau kita menjawab sembarangan, tentu saja kita akan menjawab “Tidak ada!” Tetapi, kalau kita tipe orang yang berhati-hati, maka kita akan berkata: “Mungkin masih ada, meski tak banyak.”
Apa yang Gramsci sebutkan di atas (kaum yang mampu membahasakan realitas konkret ke dalam bahasa kebudayaan), hanya mungkin kalangan terpelajar lakukan, atau setidak-tidaknya—dalam konteks pembagian jenjang pendidikan—manusia perguruan tinggi. Dalam hal ini, jelas mahasiswa, dosen, dan akademisi kampus.
Karena tulisan ini membahas mahasiswa, maka kita akan fokus pada mahasiswa. Sehingga bentuk pemahaman yang harus kita bangun adalah: mahasiswa harus ikut menggerakkan perubahan sosial. Dengan demikian, mahasiswa pantas kita sebut sebagai agen of change yang tugas utamanya adalah melakukan penyusunan dan pengorganisasian suatu lapisan intelektual yang mengekspresikan pengalaman aktual masyarakat dengan keyakinan dan bahasa bumi (baca: masyarakat).
Artinya, mahasiswa harus menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat tertindas dengan bahasa kebudayaan, sehingga pandangan dunia, nilai, dan kepercayaan kaum kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa universal (Simon, 2004: Pengantar).
Bila tahap ini berhasil, maka jalan makin lebar untuk melakukan perubahan yang kita harapkan: membangun nilai budaya mereka sendiri bersama-sama dengan kaum tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Dalam konteks inilah bisa kita katakan bahwa supremasi tertinggi seorang mahasiswa sebagai penggerak perubahan sosial tercipta.
Baca juga:
Tentu saja, sebagai penggerak perubahan, mahasiswa harus mampu menggali potensi di dalam dan di luar dirinya; rajin berkontemplasi, merefleksi diri, dan menerapkannya dalam aksi nyata. Kalau tiga hal itu gagal mereka lakukan, maka sia-sialah dia sebagai mahasiswa. Bersiaplah menerima kutukan peradaban: menjadi generasi micin!
Menggerakkan Pembangunan Daerah
Oleh karena mahasiswa adalah bagian dari intelektual organik, maka mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk membangun bangsanya (daerahnya). Di mana pun dia berada, ia tidak boleh lupa bahwa dirinya tetap memiliki beban moral, utang budi kepada daerah.
Tanpa ada maksud bersikap primordialis, bagaimanapun, mahasiswa memang harus memperhatikan daerahnya sendiri. Bahkan kalau mungkin kembali ke daerah untuk membangun peradaban baru. Akan tetapi, yang perlu kita ingat, jangan sampai stereotip kedaerahan ini mengganggu rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang lebih besar: bangsa Indonesia.
Tugas dan tanggung jawab moral ini tidak bisa hanya kita bicarakan, apalagi hanya dalam pikiran. Ia harus mewujud dalam aksi nyata untuk membangun daerah. Entah bagaimana bentuknya.
Mahasiswa tidak boleh diam berpangku tangan, membiarkan, apalagi menyerahkan pembangunan daerah hanya kepada pejabat. Tidak boleh. Mahasiswa harus pro-aktif memberikan feedback positif, baik berupa ide atau gagasan, melakukan kontrol sosial terhadap pejabat, dan memberikan pendidikan untuk masyarakatnya.
Mohammad Hatta menulis begini:
Dalam segala hal, kaum intelegensia tidak dapat bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama sama memiliki hak dan kewajiban.
Dalam indonesia yang berdemokrasi, ia ikut bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warga negara yang terpelajar, yang tahu menimbang buruk dan baik, yang tahu menguji benar dan salah dengan pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya—seperti yang saya katakan tadi—adalah intelektual dan moral. Intelektual karena mereka dianggap golongan yang mengetahui; moral karena masalah ini mengenai keselamatan masyarakat, sekarang dan kemudian. (Hatta, 1984: 16)
Oleh karena itu, sudah saatnya mahasiswa bergerak! Tidak sekadar berbicara dan berteori, sebab teori saja tidak menyelesaikan persoalan. Dalam mewujudkan perubahan, mahasiswa wajib menggunakan akal dan ilmunya untuk bertindak menegakkan kebenaran.
Menurut Arief Budiman, kaum terpelajar atau mahasiswa memiliki dua kekuatan pokok untuk melakukan perubahan: “kekuatan moral” dan “kekuatan politik” (Budiman, 1984:160).
Kekuatan moral, yaitu kekuatan atas dasar hati nurani, akal budi: di mana mahasiswa memiliki pandangan kebenaran yang berbeda dari orang biasa. Kekuatan moral ini tercermin dalam solidaritas yang solid dan perasaan saling memiliki satu sama lain.
- Partisipasi Politik dalam Tatanan Kebijakan Pemerintah - 28 Januari 2018
- Janji Politikus Desa - 28 Januari 2018
- SOPIA, Sosialisasi Politik Pemuda Indonesia - 28 Januari 2018