Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas

Intuisionisme Filantropis Pemaksimal Utilitas
©YouTube

Setiap keputusan intuisionisme filantropis pada akhirnya bersifat pribadi dan harus bergantung pada masing-masing individu.

Waktu itu di sekeliling hampir gelap pekat. Kemudian sedikit benderang, ketika ada dua sinar menyorot. Ternyata ada dua pendaki tergopoh turun memintah bantuan. Katanya, temannya kesurupan di atas sana.

Mereka “menawarkan” dengan kata tanya khas “offering” yang cenderung berbau “request”. Bisa menyembuhkan kesurupan?

Sontak, saya, jelas-jelas dihadapkan dua intuisional filantropi ala utilitarian dan libertarian. Reflek pertama secara intuisionisme filantropis kujawab: ya! Tanpa pikir panjang.

Bagaimana tidak, ketika libertarian telah tegaskan seperti yang diungkapkan Robert Nozick, bahwa tidak seorang pun memiliki “hak yang dapat dipaksakan”—yaitu, klaim hukum—untuk bantuan dari orang lain. Bahkan pendaki kesurupan seharusnya tidak dapat secara hukum memaksa bantuan dari pendaki lain di hutan.

Memberikan bantuan mungkin merupakan kewajiban moral, tetapi gagasan ini tidak boleh dianggap setara dengan kewajiban hukum.

Reflek intuisionisme filantropis kedua di hatiku tebersit: asyik! Siapa tahu bermanfaat genjot rating postingan medsos dengan menolong pendaki kesurupan. Yang ini jekas khas gaya utilitarianisme: bahwa mereka harus memilih tindakan, aturan, dan institusi yang menghasilkan kebahagiaan sebanyak mungkin bagi mereka yang terkena dampak.

Suasana panik seperti itu sudah tidak sempat lagi berfilsafat: suatu tindakan itu bermoral ataupun amoral tidak secara otomatis diterjemahkan menjadi seruan bagi penguasa untuk meminta atau menghukum tindakan itu. Utilitarianisme kuat berperspektif tentang bagaimana caranya agar bisa membuang bagian akal sehat yang tidak dapat dipertahankan moralitasnya.

Menurut para pemaksimal utilitas, aturan moral itu tidaklah mutlak. Mereka dapat mematahkannya dalam kondisi tertentu.

Sederhananya, utilitarianisme mengatakan bahwa hal yang benar untuk dilakukan adalah hal yang menghasilkan hasil terbaik. Hingga para pemaksimal utilitas ini membenarkan adanya hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas.

Kok, bisa?

Bagi pemaksimal utilitas (utilitarian), aturan moral yang tidak meringankan penderitaan atau meningkatkan kebahagiaan tidak pantas untuk dipertahankan. Tidak peduli seberapa berakar tradisi atau konvensi itu, termasuk jenis intuisional filantropis yang bersumber dari agama dan adat.

Salah satu aspek yang menimbulkan permasalahan bagi pemaksimal utilitas ini adalah bahwa setiap tindakan individual harus dievaluasi dengan merujuk pada prinsip utilitas yang sebesar-besarnya. Disrupsi ini berhubungan erat dengan pembangunan intusionalisme filantropis pasar bebas.

Teori ekonomi tradisional jelas positif kapitalis: bahwa individu tidak akan memasok barang dan jasa tanpa kompensasi. Ini selaras dengan: bahwa individu itu “bekerja untuk apa-apa” (Freeman, 1997).

Pemaksimal utilitas mengharapkan sejumlah besar individu menjadi sukarelawan pekerjaan mereka ke sejumlah institusi filantropi yang mewajibkan dan memberatkan.

Mayoritas sukarelawan tersebut dibentuk melalui kelompok dan asosiasi yang bertujuan tertentu serta cenderung membentuk pola intuisional filantropis yang memaksakan kehendak. Bentuknya bisa berupa sekumpulan individu dengan kecenderungan untuk menjadi sukarelawan yang dipandang serta dinginkan dalam hubungan pertukaran tertentu.

Sedangkan pasar bebas, menurut libertarian, diharapkan adanya banyak orang terlibat dalam kegiatan sukarela. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja tanpa memaksa pembentukan institusi filantropi yang bersifat wajib memberatkan.

Pendukung pasar bebas berpendapat bahwa memaksa orang untuk membantu orang lain adalah kurang tepat karena melanggar hak orang lain.

Umumnya, gagasan kebahagiaan itu adalah titik tertinggi dari moralitas adalah hal yang wajar dan sangat menarik. Termasuk pula tentang pemikiran bahwa kita tidak dibenarkan melakukan hal kurang baik dari yang kita bisa hindari.

Pemaksimal utilitas tanpa filsafat adalah mereka para utilitarianisme yang rapuh. Tanpa prinsip, mereka itu tidaklah cukup untuk memiliki alasan bagi pandangan politik ekonominya.

Pada dasarnya manusia itu memiliki kesempatan yang hampir konstan untuk memberikan bantuan kepada saudara-saudaranya tanpa pamrih. Jadi, tidak perlu diparameterkan ini dan itu hingga menjadi kewajiban ala pemaksimal utilitas.

Baca juga:

Libertarian lebih memilih organisasi swasta untuk menyediakan kebutuhan bagi mereka yang membutuhkan daripada lewat jalan pemaksaan yang berupa intuisionisme filantropis pungutan wajib atau sumbangan yang memaksa sejenisnya. Hal ini dipilih dengan menimbang tentang orang yang dikenai pungutan wajib untuk menanggung biaya kesejahteraan itu cenderung tidak memberi secara sukarela.

Jika layanan pungutan wajib dihapus, para pendukung pasar bebas berpendapat bahwa orang akan jauh lebih mungkin untuk secara sukarela. Mereka akan berkontribusi pada amal dan tujuan komunitas lainnya dan dalam jumlah yang lebih besar.

Pendekatan ini menjadi teori moralitas penuh. Serta tangguh dalam menunjukkan bagaimana intuisi moral itu semestinya.

Kesukarelawanan seharusnya merupakan salah satu kegiatan yang prososial. Tidak perlu teori pungutan wajib terhadap populasi melalui intuisionisme filantropis yang memberatkan dan berkewajiban.

Santai sajalah. Sebagaimana kata Adam Smith: membantu orang lain adalah jalan menuju kesejahteraan individu yang lebih tinggi. Tentunya dengan proporsi yang benar pada hak-haknya.

Relawan jalur non-pungutan wajib jelas lebih puas dengan kehidupan mereka daripada pemaksimal utilitas ala intuisionisme filantropis yang memberatkan. Tidaklah selalu bahwa setiap tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya (consequences).

Menurut pemaksimal utilitas, jika Anda dihadapkan pada dua pilihan dan yang satu menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada yang lain, Anda harus mengambil yang satu yang menghasilkan lebih baik.

Itulah yang dipegang oleh utilitarianisme. Bagi mereka, mengukur akibat-akibatnya adalah jalan “satu-satunya” yang penting sebagai parameter jumlah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan  yang dihasilkan.

Bagi pasar bebas, ini sebuah disrupsi. Sebab yang semestinya dibutuhkan adalah penciptaan lapangan kerja yang menghasilkan pemerataan maksimal dari kesenangan di atas ketidaksenangan. Yang mana kebahagiaan setiap orang tersebut akan dipertimbangkan sama pentingnya via intuisionisme filantropis yang benar-benar sukarela.

Kebebasan adalah sistem yang paling bermoral dan adil. Semua sumber daya ditahan bersama dan semuanya dibagi.

Dengan demikian, setiap orang memiliki kesetaraan hak. Hingga mereka semua duduk di bawah pohon ekonominya yang rindang, kapan pun mereka bebas nikmati naungan dan buahnya. Mereka bisa berburu keuntungan dengan bebas di atas tanah komunal sepuasnya.

Pendukung pasar bebas setuju bahwa merawat yang membutuhkan adalah tepat dan perlu dengan berpegang pada dasar pragmatis, etis, dan berbasis penghormatan hak individu. Setiap keputusan intuisionisme filantropis pada akhirnya bersifat pribadi dan harus bergantung pada setiap individu dan hati nuraninya tanpa dipaksakan lewat pungutan wajib ataupun sejenisnya yang memberatkan.