Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang berkembang dari para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh beberapa ciri pemikiran.
Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui.
Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa direalisasikan dan diajarkan kepada semua umat manusia. Dan ketiga, kebenaran diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.
Kebenaran diandaikan tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah yang sama. Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran. Aristoteles meyakini Biologi sebagai jalannya. Kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci. Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani biasa, dan lain-lain. Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.
Kritik atas Universalisme Pencerahan
Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigit dan terpola.
Berlin menolak itu semua. Sebab dunia, terutama manusia, bukanlah benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran.
Dalam buku The Hedgehog and The Fox (1953), Isaiah Berlin mengindetifikasi bahwa dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani, Archilochus:
The fox knows many things, but the hedgehog knows one big thing (rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui satu hal besar).
Syair tersebut ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa terkalahkan oleh satu sistem pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu dia artikan bahwa landak dan rubah adalah tipologi pemikiran.
Baca juga:
Di satu sisi, ada orang yang menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya. Di sisi lain, ada jenis pemikir yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerap kali tidak berhubungan bahkan berkontradiksi. Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua. Berlin menulis:
…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzsche, Ibsen, Proust are, in varying degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.
Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah.
Isaiah Berlin, terutama, terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik pusatnya ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene Descartes.
Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan.
Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia, oleh karenanya, hanya bisa terketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu Tuhan.
Manusia hanya mungkin kita pelajari dengan mengapresiasi segala motivasi, tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada manusia (Berlin: 1998). Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa kita reduksi ke dalam pola-pola tertentu.
Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum.
Rasio, bagi Hamann, tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu. Ia hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu, yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan realitas.
Baca juga:
- Kebebasan Kebablasan Adalah Narasi Para Diktator
- Ciri Liberalisme: Tidak Revolusioner-Radikal, apalagi Konservatif-Kolot
Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme Pencerahan, bagi Hamann dan Berlin amini, mencoba membatasi sesuatu yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari Hamann, Berlin menyimpulkan, what is real is individual (apa yang riil itu bersifat individual). Segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda dengan yang lain.
G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang universalisme Pencerahan. Ia memperkenalkan konsep keragaman budaya, dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah.
Herder percaya bahwa untuk memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan pembangunannya. Untuk itu, perlu kapasitas Einfühlung (feeling intoatau empati) kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra, organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.
Herder menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris. Sebab tidak ada budaya yang benar-benar sepenuhnya bisa kita terapkan kepada yang lain. Herder mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin.
Tapi pernyataan tentang budaya adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya, kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak (mankind was not one but many).
Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri. Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara konsep pluralisme dan liberalisme.
Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh. Bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit. Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal.
Penulis biografi pemikiran Isaiah Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan liberalisme (John Gray: 1996). Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.
Halaman selanjutnya >>>
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023
- Hate Crime - 13 Juni 2022