Islam Adalah Solusi?

Islam Adalah Solusi?
©The Conversation

Islamisme, dengan cara yang tulus dan sederhana, adalah keyakinan yang berakar pada asumsi “Islam adalah solusi” yang telah tergeser dari ruang privat ke ruang publik.

Ingat bagaimana Amien Rais meminjam wacana Qutbisme soal Partai Allah dan Partai Setan? Menyederhanakan narasi itu sebagai semata reklame politik Pilpres akan mengabaikan kita dari bahaya sesungguhnya di balik wacana ini.

Amien Rais tidak meminjam wacana Qutbisme itu tanpa ikut meyakini asumsi ideologisnya. Dan pada asumsi ideologis inilah bahaya itu tertanam.

Asumsi apakah itu? Sebuah keyakinan yang tulus dan rendah hati bagi seorang muslim seperti Amien Rais bahwa “Islam adalah solusi” bagi “persoalan kita”.

Lalu bagaimana keyakinan seperti ini bisa kita anggap berbahaya?

Ada banyak cara untuk melihat bahaya itu. Salah satunya adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan sederhana: “Apa yang Islam dari Islam?” Jika kita menemukan ada banyak jawaban berbeda, maka tepat pada penemuan itulah kita menjumpai bahaya dari asumsi ideologis “Islam adalah solusi”.

Sederhananya, Islam mana yang merupakan solusi?

Amien Rais, seperti juga Sayyid Qutb, tentu punya “Islam” versi mereka sendiri. Dan jika afiliasi Amien-Qutb ini bisa kita anggap final, maka Islam versi mereka adalah sebentuk Islam yang bersifat total yang mengeksklusi seluruh versi Islam yang berbeda dari mereka. Eksklusi itu adalah sebuah konsep teologis dalam Islam yang kita sebut takfiri.

Amien boleh jadi tidak terlalu tolol untuk mendengungkan narasi takfiri. Tetapi membuat pembedaan antara Partai Allah dengan Partai Setan adalah bentuk islamisme dari narasi takfiri itu.

Baca juga:

Takfiri bukan merupakan serangan terhadap orang dan/atau kelompok di luar Islam, tetapi bagi orang dan/atau kelompok di dalam Islam sendiri yang dianggap berbeda. Dalam sejarah Islam, narasi takfiri tumbuh dan hidup bersamaan dengan islamisme.

Dalam bentuk awalnya, takfiri (dalam bingkai islamisme klasik) terkumpul dan terejawantah lewat gerakan Khawarij. Lalu, bersamaan dengan memudarnya Khawarij sebagai gerakan, kelompok-kelompok lain dalam Islam mengadopsi konsep ini, dalam bentuk ideologisnya. Uniknya, masing-masing dengan bingkai islamismenya sendiri-sendiri.

Kita boleh yakin bahwa Qutbisme tidak akan bisa berjalan seiring dengan Wahabisme (setidaknya dalam beberapa bentuknya), meski keduanya memiliki akar teo-ideologis yang sama, yakni Khawarijisme, lengkap dengan narasi takfiri dalam semangat yang sama. Ini bukan persoalan beda prinsip, kerangka teoritis, atau taktik dan strategi. Ini adalah takdir penafsiran atas agama yang berlaku bagi semua agama di semua tempat dan dalam semua waktu.

Tetapi yang penting di sini, takfiri itu bergerak dan tumbuh dengan model-model islamisme yang beragam (kita tidak bisa dengan enteng menyamakan PKS dengan HTI, misalnya). Sehingga, meski sering menyulitkan kita untuk melakukan identifikasi yang jernih antara satu dengan yang lain, perbedaan-perbedaan model itu bisa kita anggap artifisial ketika kita membicarakan narasi takfiri pada inti wacana mereka.

Narasi ini, bersama dengan islamisme, harus kita lihat sebagai satu kesatuan dari sebentuk totalitas keyakinan teologis yang, secara konsekuen, menuntut eliminasi (yang akan selalu berujung pada kekerasan fisik) atas yang berbeda.

Dengan narasi takfiri, menjadi mungkin bagi mereka untuk membuat klaim atas satu Islam yang benar, orisinal, dan mendapat rida Allah dan Rasul-Nya. Dan Islam mereka itulah yang merupakan Islam dalam asumsi ideologis “Islam sebagai solusi” yang mereka tawarkan lewat dualisme Partai Allah dan Partai Setan dalam wacana politik Qutb yang Amien Rais gunakan.

Jadi, untuk kepentingan kita saat ini, tidak terlalu penting mengidentifikasi satu kelompok sebagai sama atau berbeda dengan kelompok yang lain.

Amien Rais tidak perlu sama dengan Sayyid Qutb. Tetapi jika mereka menyerukan satu narasi yang sama yang memuat satu asumsi ideologis yang sama, maka kita sudah boleh membunyikan alarm.

Halaman selanjutnya >>>

Amato Assagaf
Latest posts by Amato Assagaf (see all)