
Hal yang selalu teringat di benak pikiran kita ketika kita membicarakan atau mendiskusikan tentang teologi adalah bahwa teologi penuh dengan pemahaman metafisik yang sulit terjangkau oleh akal manusia. Membicarakan sesuatu yang selalu abstrak dan barang yang tidak kelihatan subtansinya.
Maka tak heran di dalam Islam ada beberapa aliran-aliran tentang teologi. Aliran-aliran tersebut selalu membawa ranah pada pemahaman tentang metafisik, hingga kita akan menemukan ada beberapa aliran teologi yang selalu menganggap alirannya paling benar dan yang di luar dari alirannya salah. Aliran-aliran teologi tersebut masing-masing mengklaim dan membawa kebenaran yang masing-masing pengikut atau golongan mereka menganggapnya sudah final.
Karena itu, membicarakan teologi selalu tidak ada habisnya untuk kita perdebatkan. Karena memang kita dituntut pada suatu ranah metafisik yang tidak mudah untuk dimengerti.
Kehadiran teologi ini memberikan warna tersendiri bagi umat Islam saat ini. Kita selalu menyentuh pada bagian substansi metafisik dan tidak menyentuh pada ranah keadilan, kedamaian, kemakmuran bagi kaum muslimin. Bahkan justru menjadi jalan bagi halnya radikalisme dan penindasan.
Bukankah di dalam teologi kita mendapat pelajaran untuk selalu membebaskan kaum yang tertindas dan lemah? Kita selalu menganggap bahwa teologi tidak memberi kebebasan kepada manusia karena memang sifat ajarannya yang bersifat dogmatis.
Kita hadir pada suatu wacana di mana masyarakat lebih kental mempraktikkan ritual-ritual keagamaan yang bersifat vertikal dan tidak bersifat horizontal. Kemiskinan, tidak adanya keadilan, dan merajarelanya kapitalisme dan penindasan membuat para tokoh-tokoh agama tidak turun tangan atau berkontribusi untuk menolong.
Ada suatu yang macet dalam tubuh umat Islam. Saat ini para tokoh agama telah gagap dan kaku menyampaikan pesan-pesan pembebasan kaum tertindas/yang lemah. Kentalnya praktik-praktik semacam tareqat dan kajian-kajian yang berupa furu’iyah, serta menghilangnya spirit keadilan dalam tubuh umat Islam merupakan suatu kegagalan dalam memberantas ketidakadilan, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Kita sering kali mendengarkan ceramah ataupun perdebatan yang sifatnya furu’iyah, sufisme, dan yang sejenisnya, yang sifatnya vertikal, yang sebetulnya tidak akan mengubah nasib orang yang tertindas/yang lemah. Akan tetapi, jarang sekali kita menemukan tokoh-tokoh agama memberikan isi ceramahnya yang bersifat progresif, yakni membela kaum tertindas dan menuntaskan kemiskinan.
Baca juga:
- Teologi Kerukunan dalam Islam
- Teologi Katolik di Masa Pandemi: Antara Neoliberalisme Katolik dan Masa Depan Gereja
Peperangan terjadi di Timur Tengah, perang saudara terjadi di sana, kemiskinan terjadi di sana, dan merajalelanya zionis Israel di sana. Sedangkan kita disibukkan dengan wacana tentang furu’iyah, perbedaan pendapat di antara mazhab, dan ritual-ritual keagamaan yang sifatnya sufistik. Di manakah kehadiran umat Islam saat ini melihat keadaan seperti itu?
Agama hanya terpahami sebagai perihal yang given dan lebih hanya menonjolkan sisi hubungan vertikal. Akhirnya, fanatisme menjadi sebab utama ketertinggalan dan keterbelakangan peradaban umat Islam.
Sehingga wajib ada keseimbangan terhadap sisi normativitas agama (pemahaman agama berorientasi pada hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan mengedepankan sisi rasionalitas) dengan tidak melupakan sisi historisitas agama (memahami teks yang ada dengan melihat sisi-sisi historis yang melatarbelakanginya serta gejala-gejala sosial kultural yang melingkupinya). Prinsipnya, produktivitas teologis terhadap aktualitas keadilan sosial secara nyata.
Di sinilah Engineer melangkah pada taktis yang harus kita lakukan, yakni sebuah revolusi: dari teologis menuju teologi transformatif. Ideologi inilah yang menjadi concern pada pemikiran dan gerakan Asghar Ali Engineer.
Teologi pembebasan ini harus menjadi proteksi dalam keberagamaan kita di Indonesia, di tengah-tengah kapitalisme-populisme agama yang semakin tumpul. Sehingga setiap upaya penipuan massal dan pembodohan umat mampu kita cegah, serta menuntun kehidupan kita pada kondisi keberagamaan yang berkeadilan dan berketuhan yang maharevolusioner.
Baca juga:
- Islam dan Teologi Pembebasan - 16 September 2018
- Posisi Agama di Indonesia Perspektif Filsafat Kemanusiaan - 16 September 2018
- Mengapa Kami Melawan Pemerintah Sulbar - 5 Juli 2018