Islam Ribut, Islam Direbut

Islam Ribut, Islam Direbut
Humor Gus Dur

“Jelaslah bagi kita sekarang bahwa tugas seorang intelektual muslim memang berat sekali. Ia harus mengubah orientasi sesama agamawan yang sekeyakinan dengannya. Bukan tugasnya untuk ribut ribut soal pembaruan dari jenis mana dan berlingkup apa.”

Kalimat di atas bukan kata saya, tapi Gus Dur. Penting untuk kita kutip; selain relevan dengan persoalan umat Islam saat ini, juga untuk bangsa dan negara. Kebetulan akhir-akhir ini intensitas ketegangan dan keributan (terutama) sesama muslim makin tinggi, terlepas dari kualitas keributannya yang receh.

Fase ini, minimal bagi saya sendiri, adalah fase gado-gado. Mereka yang baru mengetahui doa wudu dan kunut sudah mengikrarkan diri sebagai ulama, ustaz, kemudian menjadi selebritas, ngartis, lengkap dengan gayanya yang narsis.

Begitu pula selebriti yang sudah kurang laku di pasaran, mendadak menemukan cara dan istilah baru: hijrah. Lalu menceramahi banyak orang dan mendapatkan gelar baru: ustaz/ustazah.

Anehnya, justru mereka yang punya kualifikasi sebagai ulama cenderung kita remehkan, bahkan kita tuduh yang macam-macam: Syiah, liberal, Yahudi, dan lain sebagaianya. Padahal, sekali lagi, sebagian dari mereka yang menuduh baru tahu doa wudu dan kunut.

Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat tuduhan-tuduhan aneh itu. Beberapa hari yang lalu, misalnya, hasil Musyawarah Nahdlatul Ulama yang merekomendasikan (kurang lebih) kata “kafir” dalam konteks kewarganegaraan tidak ada. Lalu beberapa pihak menanggapi (kalau bukan “ngejek”) dengan twit dan sejenisnya.

Padahal istilah kafir memang tidak pernah ada di dalam konstitusi. Bahkan tidak pernah muncul dalam pembahasan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Secara pribadi, belum sampai akal saya untuk menerima tanggapan itu. Bagaimana mungkin keputusan kolektif dari ulama-ulama besar (yang keilmuannya kita akui mumpuni) kita tanggapi hanya dengan sebatas twit, status medsos, dan sejenisnya; lalu kita retwit atau bagikan ribuan kali, dan seolah-olah itu paling benar (?).

Baca juga:

Atau contoh lain, Islam Nusantara. Keputusan itu kemudian orang serang dari berbagai penjuru angin. Terutama mereka yang sering teriak “Khilaf-ah”. Maklum, keputusan NU memang sering membuat kelompok-kelompok tertentu merasa misi perjuangannya terancam.

Sungguh suhu politik membuat manusia kalap. Harus kita akui bahwa makin tegangnya keributan sesama Islam (sedikit-banyak) bersumber dari kontestasi politik saat ini. Masing-masing kubu berusaha berdarah-darah merebut suara umat Islam.

Konflik di dalam (umat Islam) harus terjadi agar keduanya mendapatkan suara. Artinya, hanya dengan menciptakan keributan itulah suara bisa terpecah.

Sayangnya, tegangan itu sudah menguasai lebih dari lima puluh persen (50%) emosi kedua belah pihak. Tentu mengkhawatirkan. Ini sudah akut.

Islam tidak menolak politik. Bahkan, bagi saya, Islam adalah komunitas politik dalam makna yang lain. Tetapi (ia) bukan komoditas politik.

Terlepas dari anggapan bahwa seluruh gerak alam (termasuk seluruh keadaan yang terjadi pada manusia) adalah sesuatu yang predeterminatif atau tidak, sehingga menentukan seseorang harus “berusaha atau tidak” dalam kontestasi politik praktis. Pun bila kita pahami bukan sesuatu yang predeterminatif (soal siapa yang menjadi pemimpin), Islam tidak boleh kita jadikan sebagai komoditas politik.

Barangkali ribut-ribut di musim politik bagi sebagian orang sudah biasa, terutama masyarakat terdidik. Tetapi ribut-ribut itu telah mengorbankan nyawa manusia, minimal yang terjadi di Madura beberapa waktu lalu.

Kenapa itu terjadi? Meminjam bahasa Gus Dur, (untuk mengatakan minimnya wawasan) adalah karena jarang ikut “seminar” apalagi Penataran P4. Apalagi kita terpaksa untuk melompat terlalu jauh dari budaya oral ke budaya digital yang tidak kita ikuti dengan budaya literasi yang baik.

Baca juga:

Sekali lagi, mereka ribut, mereka merebut. Islam ribut, Islam direbut. Karena warga negara terbesar di Indonesia beragama Islam.

Sayangnya, jumlah besar tidak menyertakan mental yang besar. Bangsa majemuk tidak diikuti dengan komitmen yang khusyuk.

Arief Rahman
Latest posts by Arief Rahman (see all)