
Budaya Jak-Ngajak syarat dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Indonesia adalah negara yang paling subur dan luas di dunia. Ia merupakan anugerah yang patut kita hargai sebagai rakyat. Para leluhur sudah melakukan hal tersebut. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan.
Di masa itu, sistem sosial-agama masyarakat masih primitif. Kerajaan masih berkuasa dalam pergumulan politik. Tetapi masyarakat telah mengenal nilai-nilai moral dan kesusilaan dalam kehidupan kelompoknya. Kehidupan kelompok itu bisa berupa suku, etnis, ras, maupun kebudayaan.
Di masa sebelum, sesudah, dan pada momentum kemerdekaan, masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan identitas lainnya bersepakat untuk melawan musuh yang sama, yaitu kolonialisme bangsa asing. Mereka sudah tidak lagi memperhitungkan perbedaan agama, suku, dan yang lainnya demi kecintaan mereka pada tanah air.
Sehingga sang proklamator negara, Ir. Soekarno beserta tokoh lainnya dengan susah payah merumuskan asas, pedoman hidup, dan cita-cita bersama dalam membentuk kesatuan negara. Kemudian daripada usaha tersebut lahirlah kesepakatan bersama perihal asas bersama, yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai asas final dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mungkin lagi kita ganggu gugat secara mutlak. Karena Pancasila mengandung nilai-nilai persatuan dan keadilan sosial. Ini sebagaimana mimpi bersama seluruh rakyat Indonesia.
Bila di kemudian hari asas tersebut terganggu gugat atau ada yang berusaha mengubah esensinya, maka sangat mungkin adanya perpecahan antara wilayah, suku, dan lainnya. Bahkan pertumpahan darah antara sesama saudara sebangsa dan se-negara. Oleh karena itu, mempertahankan Pancasila dan menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah wajib hukumnya. Ini demi kedamaian serta kesejahteraan bersama.
Pulau Madura, sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dari suku lain. Walaupun secara administrasi termasuk bagian dari Provinsi Jawa Timur. Perbedaan tersebut berupa perilaku sosial, kebudayaan, dan bahasa yang sudah membumi dari para leluhur sejak berabad-abad silam, serta terus mereka pelihara dari generasi ke generasi hingga sekarang. Salah satu budaya dalam perilaku sosial masyarakat Madura adalah Jak-ngajak.
Jak-Ngajak merupakan bahasa Madura dari asal kata Ngajak, yang berarti mengajak atau meminta tolong. Dalam kehidupan sosial, sesorang yang memiliki hajat atau pekerjaan dalam hal kerumahtanggaan melakukan Jak-Ngajak. Seperti membangun rumah, tasyakuran, lelayat kematian, dan sebagainya.
Baca juga:
- Masjid Al-Huda Sungaiselan dan Budaya Gotong Royong
- Hapus Oposisi, Jokowi Hadirkan Demokrasi Gotong Royong
Biasanya, dalam rentang waktu 7 sampai 1 hari sebelum acara, orang yang punya hajat akan datang ke tiap-tiap rumah tetangganya untuk meminta tolong atau mengundang untuk membantu berjalannya acara tersebut. Sehingga pada saat acara tiba, orang-orang di sekelilingnya akan berkumpul bersama tanpa imbalan apa pun dari orang yang punya hajat (sukarela).
Budaya Jak-Ngajak masih bertahan hingga sekarang. Karena masyarakat Madura merasa lebih nyaman ketika sebuah pekerjaan besar mereka lakukan secara bersama-sama, dan tanpa perlu memperhitungkan imbalan atau hadiah. Satu-satunya imbalan saat acara kerja bakti yang mereka lakukan secara gotong royong tersebut adalah konsumsi, yang berupa rokok, kopi, dan nasi.
Setiap orang berhak Jak-Ngajak kepada tetangganya, dengan alasan ketika dia juga mendapat undangan kerja bakti pada suatu acara, dia juga akan datang menolong. Bagi satu atau dua orang yang tidak mau ikut Jak-Ngajak, maka ketika orang itu memiliki acara tidak akan mendapat pertolongan dari masyarakat yang pernah mengundangnya di hari-hari sebelumnya. Oleh karena itu, Jak-Ngajak terus lestari dalam rangka menjaga kenyamanan sosial antara satu orang dengan yang lain.
Jak-Ngajak dalam istilah bahasa nasional Indonesia sama dengan gotong royong. Gotong royong adalah asas kebangsaan yang kerap diteriakkan oleh Presiden Soekarno di masa-masa kemerdekaan.
Karena gotong royong sudah ada dalam masyarakat Indonesia sejak lama sebelum merdeka. Sehingga hal tersebut kemudian menjadi asas dan budaya bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, dan tetap bertahan sampai era sekarang. Tentu cara menjalankan dari satu suku dengan suku lain berbeda-beda sesuai budaya masing-masing, termasuk Jak-Ngajak yang ada di suku Madura.
Budaya Jak-Ngajak syarat dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut menjadi aset fondasi persatuan bangsa dalam menjaga kerukunan nasional satu sama lain, antarmasyarakat yang berbeda. Karena sebagaimana kita ketahui, tak ada satupun pulau di Indonesia yang berdiri sendiri. Satu sama lain pasti saling membutuhkan dan melengkapi dalam hal kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk dapat berkembang dan bertahan hidup di setiap masa maupun peradaban.
Masyarakat Jawa, misalnya, membutuhkan masyarakat Madura dalam hal produk tembakau, gula merah, dan yang lainnya. Termasuk dari kebutuhan tersebut adalah kebutuhan tenaga kerja kasar. Karena Jawa dikenal dengan kemajuan masyarakat intelektualnya yang sudah lebih dahulu berkembang dibandingkan daerah lainnya di Indonesia.
Nilai-nilai dalam Jak-Ngajak, yaitu, pertama, nilai kebersamaan. Dalam budaya Jak-Ngajak, satu pekerjaan yang berskala besar bisa kita lakukan secara bersama-sama. Secara tidak sengaja, dalam mengerjakan hal tersebut memerlukan kebersamaan. Karena pekerjaaan tidak bisa datang dari hanya oleh satu orang.
Halaman selanjutnya >>>
- ORMAWA Kampus dan Pelacuran Intelektual yang Kurang Ajar - 17 September 2018
- Jak-Ngajak, Gotong Royong Merajut Kebersamaan, Toleransi, dan Perdamaian di Masyarakat Madura - 9 September 2018
- Gepeng dan Modus Politik Razia - 10 Juni 2018