Jalan Panjang Demokrasi Kita

Jalan Panjang Demokrasi Kita
©Twitter

Nalar Warga – Ketika kamu lelah, istirahatlah. Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, bukalah lebih lebar pintu hatimu dengan apa itu makna teman.

Ketika penat melanda pikiranmu, ketika semua peristiwa tampak seolah menyatu dalam rumit tumpang tindih jejak yang tak lagi mudah diurai, mundurlah meski hanya selangkah.

Seperti ketika kita berada dalam pusaran air, di sana, hanya ada dinding berputar tertampak dan kita lalu terjebak pada pengulangan dan pengulangan. Selalu dan selalu, dan hanya peristiwa-peristiwa itu saja yang hadir dalam putaran waktu kita dan kita merasa hilang. Kita terjebak. Menjauhlah meski hanya sejenak.

Ya, sepertinya kita memang butuh menjauh meski hanya sejenak dari riuh suasana kita dalam debat tak berkesudahan atas esensi menjadi lebih baik menurut kita dan makin jelek bagi saudara kita yang lain atas ke mana arah kita sedang akan melangkah.

Kita butuh meski sesaat demi sejenak berhenti, pun bila perlu mundur setapak dan kemudian menengok kembali di mana titik kita pernah mulai melangkah sebagai pengingat telah sejauh apa kita sudah berjalan. Pun dalam kehidupan demokrasi bangsa ini.

Soekarno Presiden pertama adalah satu dari sekian banyak para “founding fathers” kita. Indonesia sebagai rumah amat sangat besar milik kita bersama dibangun dan didirikan pada eranya. Tak terlalu berlebihan bila gelar sebagai pendiri rumah besar itu kita sematkan padanya.

Jenderal Soeharto dengan kekuatan militernya datang dan kemudian menggantikannya. Dia mengisi dan kemudian tampak ingin berusaha membangun rumah itu.

Tiga Puluh dua tahun dia lakukan dan bila apa yang tampak terbangun dengan cukup rapi hanyalah halaman depan rumah kita saja. Itu adalah apa kata banyak saudara kita yang tinggal di belakang dan di samping kanan kiri rumah. Konon mereka merasa tak tersentuh oleh pembangunan tersebut.

Baca juga:

Jawa sentris membuat wajah Indonesia seolah hanya terdiri dari Jawa saja. Anehnya, saat dia harus mundur dan diganti oleh Habibie, ruang tempat dia dan keluarganya tinggal terlihat sangat rapi bahkan amat sangat mewah dibandingkan dengan ruangan sebelah mana pun juga.

Ternyata dia juga senang dengan kesibukan membangun bagi dirinya sendiri.

Reformasi ’98 memaksa Jenderal sepuh itu mundur. Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu memberi jaminan padd pak Harto dan keluarganya dari marah dan balas dendam para musuh politiknya saat kemundurannya dijadikan polemik.

Pak Harto aman, ruang mewahnya pun tak tersentuh hukum.

Reformasi ‘98 di mana ujung tombaknya adalah mahasiswa, kejadian itu tak mungkin dipisahkan dengan peristiwa kisah Kerusuhan 27 Juli 1996. Itu api kecil sebagai pemantik bagi nyala api yang lebih besar, reformasi.

Konon itu dimulai dari munculnya dualisme kepengurusan PDI Soerjadi dan Megawati Soekarno yang kemudian memancing pemerintahan Orde Baru terlibat di dalamnya.

Intinya, pemerintahan Soeharto lebih senang dengan PDI Soerjadi dan maka Megawati harus diganjal. Menjadi masalah, karena kantor pusat PDI di jalan Diponegoro 58 harus direbut.

Di sana pun, mahasiswa terlihat sebagai pihak berdiri paling depan. Mimbar bebas sebagai istilah menjadi sangat terkenal pada saat itu. Mimbar bebas adalah sarana bagi siapa pun yang ingin menyampaikan pandangan politiknya.

Halaman selanjutnya >>>
Warganet
Latest posts by Warganet (see all)