
Belum lama ini, pemerintah bersama DPR sepakat mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Selama 17 tahun lembaga antirasuah ini berdiri, belum pernah ada evaluasi. Selama itu pula penegakan sekaligus pemberantasan korupsi sudah berjalan dengan baik.
Ya, meskipun di sana-sini banyak sekali kasus korupsi yang masih menggantung. Karena pemberantasan korupsi tentu membutuhkan waktu dalam mengungkap sebuah kasus hingga benar-benar menemukan titik terang.
Dengan itu, artinya, pembuktian terhadap kasus yang sedang tertangani tidak boleh terburu-buru dan tidak berlaku secara serampangan. Oleh karenanya, revisi terhadap UU KPK merupakan suatu sikap yang justru berseberang dengan misi pemberantasan korupsi itu sendiri.
Dari sinilah sebenarnya pemerintah mesti menyadari keseriusannya dalam memberantas korupsi. Karena KPK tidak boleh kita biarkan menjadi lembaga yang menitipkan kepentingan sebagian orang.
KPK tidak boleh menjadi lembaga yang mudah tertarik ke setiap sudut dari elite-elite tertentu. Ia harus menjadi lembaga yang kuat (superbody) dalam pemberantasan korupsi.
Untuk menjadi lembaga yang tahan tubuhnya kuat, perlu stamina yang tidak mudah rapuh, yaitu butuh kekuatan tambahan yang dapat memperkuat eksistensi lembaga ini.
Kekuatan tambahan itu lahir dari kesiapan setiap masyarakat dan pemerintah untuk berpacu dan mendorong arah gerak KPK. Dengan cara menempatkan lembaga ini menjadi lembaga yang mampu melawan arus, bukan malah menjadi lembaga yang mengikuti ke mana arus membawanya.
KPK Mau ke Mana?
Ada beberapa poin yang direvisi dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Pertama, kewenangan KPK untuk menggeledah dan menyita (Pasal 47 Ayat 1 dan 2).
Penggeledahan dan penyitaan oleh KPK harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. Dengan adanya keputusan semacam ini, akan menghambat kerja KPK, terutama dalam pembuktian kasus korupsi, karena harus melalui persetujuan dewan pengawas. Sehingga penanganan kasus yang sedang tertangani bisa jadi menimbulkan sarat kepentingan.
Kedua, keharusan mendapatkan izin sebelum menyadap (Pasal 12B Ayat 3). Sama dengan persoalan yang pertama, penanganan sebuah kasus bisa jadi tidak mendapat izin dari dewan pengawas.
Ketiga, jangka waktu penyadapan di atur (Pasal 12B Ayat 4). Waktu yang ada justru sangat singkat sehingga mengganggu penanganan korupsi. Sementara untuk mengungkap sebuah kasus, butuh waktu sekaligus kesabaran. Sehingga penanganan benar-benar menemukan titik terang atas kasus yang sedang tertangani.
Keempat, KPK berwenang menghentikan perkara (SP3). Poin ini sangat krusial, karena penanganan terhadap kasus korupsi, apalagi di era teknologi, tidak bisa melalui pembuktian secara cepat. Butuh waktu bagi KPK untuk memahami kasus, melakukan investigasi, dan menemukan titik terang dari kasus tersebut.
Hadirnya poin ini justru akan membuat kerja KPK dalam pemberantasan korupsi mengalami tumpang tindih (overleaping) dengan masalah lain. Karena KPK dituntut harus secepat mungkin menyelesaikan kasus yang ditanganinya.
Kelima, kedudukan pimpinan KPK dan status kepegawaian. Dengan adanya poin ini, justru membuat lembaga antirasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen. Karena harus tunduk pada pejabat negara yang status dan kedudukannya lebih tinggi.
Keenam, pembentukan dewan pengawas dan pengawasan terhadap KPK. Ini juga akan menghambat kinerja KPK. Karena penanganan kasus yang sedang ditangani mudah untuk dibocorkan, karena di dalamnya pasti sarat akan kepentingan.
Halaman selanjutnya >>>
- Berpacu Melawan Corona - 29 Maret 2020
- Pendidikan, Ancaman Global, dan Pembenahan Sistem - 3 Maret 2020
- Desa sebagai Aset Masa Depan Bangsa - 21 Desember 2019