Jebakan Representasi dalam Demokrasi

Jebakan Representasi dalam Demokrasi
©Transisi

Jebakan Representasi dalam Demokrasi

Beberapa waktu yang lalu, rakyat Indonesia telah melakukan hajat besar lima tahunan, yakni pemilihan umum untuk Presiden maupun anggota legislatif. Saat ini, ada beberapa proses yang masih belum selesai, khususnya soal pemilu Presiden yang gugatan antar-pasangan calon masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi.

Kejatuhan

Ada suatu kepercayaan dalam masyarakat kita bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan hal-hal yang baik pasti berujung dengan kebaikan dan kebahagiaan. Namun dunia juga berjalan dengan kenyataan bahwa harapan sering kali bertolak belakang dengan realitas. Menyakitkan serta menyedihkan adalah makanan sehari-hari manusia sejak ribuan tahun.

Alih-alih berharap demokrasi di Indonesia berjalan makin baik, yang tampil di layar politik kita justru kejatuhan demokrasi. Kemarahan publik yang berada di titik kulminasinya bukan melahirkan arogansi, tapi justru miris sebab rasa sakit dan sedih akan pengkhianatan.

Instansi-instansi yang seharusnya menjadi gerbang penjaga marwah demokrasi makin bangkrut kewibawaannya. Sebut saja pelanggaran etis di Mahkamah Konstitusi, korupsi yang menggerogoti Badan Pengawas Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kementerian, Kepala-kepala Daerah, bahkan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri.

Jika institusi-institusi tersebut yang selama ini dipercaya kemudian jatuh, ke mana lagi publik akan berharap banyak?

Terjebak

Jurgen Habermas pernah membicarakan sebuah diskursus praktis yang dibangunnya. Ia berbicara soal “kepentingan” (Interesse) dan “kebutuhan” (Bedürfnis). Menurutnya, prosedur deliberatif dengan jalan konsensus diandaikan mampu menjembatani kepentingan dan kebutuhan seluruh pihak sehingga tidak konfrontatif.

Sayangnya, idealisasi Habermas tak semudah memetik buah mangga dari pohonnya. Secara faktual justru konsensus tergradasi menjadi formalitas semata yang nir-substansi. Produk legislasi yang dihasilkan sering kali menabrak prosedur hukum atau norma-norma sosial di masyarakat. Kebijakan publik yang dihasilkan juga tidak jarang menabrak batas-batas etis, yang berujung represi.

Baca juga:

Semua ini terjadi karena kita seakan dikunci dan dijerat oleh hegemoni kepentingan dan kebutuhan oleh segelintir orang dan korporasi (penunggang gelap demokrasi) yang makin meluap sejak akhir abad ke-19. Akhirnya kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas yang bertransformasi menjadi “keadilan” dan “kemaslahatan”, dipatahkan atau tidak terdistribusi.

Demokrasi pun terancam bangkrut karena tidak ada lagi ruang publik politis dan tidak ada lagi representasi. Kondisi politik yang dipertontonkan tidak pernah lagi autentik ketika lembaga negara yang menginterupsi ikut terseret arus.

Dalam struktur masyarakat sekarang, praktik manipulasi dan fabrikasi opini massa tidak terelakkan. Apa pun yang memiliki signifikansi sosial dari segi politik, ekonomi, pendidikan, dan dimensi lainnya mesti dilakukan.

Para elite negara tidak lagi memformulasikan bagaimana menghasilkan nilai-nilai yang baik secara sosial, namun terfokus pada bagaimana memengaruhi publik demi kepentingannya, secara universal, dan berkelanjutan (Bernays, 2021). Yang tersisa hanyalah ruang publik yang dimanipulasi dan eksklusif.

Di Indonesia, Goenawan Mohamad (2011) pernah menjelaskan bahwa posisi sosial politik di Indonesia tidak lain adalah pergumulan kepentingan mereka yang ada di lapisan “atas”. Mereka yang ada di kalangan “bawah” selalu ditentukan oleh selera para elite tadi.

Sesungguhnya tidak hanya di Indonesia. Di Belgia maupun Jerman misalnya, menurut Herbert Kitschelt, ada juga dua lapisan. Lapisan pertama mereka yang punya akses khusus kepada wilayah pembuatan-kebijakan dan yang terkait erat dengan pihak eksekutif maupun partai-partai mapan. Lapisan kedua hanya memperoleh sedikit kredibilitas di mata para politisi dan pejabat publik.

Historisitas politik menunjukkan bahwa arena-arena demokrasi selalu dikuasai oleh mereka para elite yang berada di lapisan pertama. Prof. Barenschot pernah menyebut istilah lain dengan the informality trap (jebakan informalitas). Maknanya kurang lebih bahwa kebijakan publik (public policy) yang dihasilkan selalu dikeruhkan oleh suasana personal connections and relationships (koneksi dan hubungan personal), yang secara ontologis mengandaikan ada suatu relasi state-business interaction.

Demokrasi pun terjebak pada roda personal benefit (keuntungan personal), sehingga para politisi pun dikerangkek oleh kepentingan tersebut dalam setiap pemilihan umum. Panggung demokrasi hanya diperuntukkan bagi mereka yang punya akses kapital dan mau bermain dengan intrik yang sarat dengan hal tersebut.

Baca juga:
Harapan

Publik mempunyai secercah harapan bahwa semua persoalan bangsa masih bisa diperbaiki. Harapan ini dimulai dari pemilu tahun depan.

Itulah mengapa pemilu ke depan harus mempunyai pembawaan yang berbeda, bukan berbicara tentang para kandidat atau drama politik yang ada, tetapi kualitas pemilu yang menyertakan asa dari seluruh pelosok negeri akan nasib atau kondisi bangsa ke depan.

Pemilu kemarin telah memperlihatkan benturan mana yang akan memenangkan arena ataukah justru peleburan dari berbagai macam irisan-irisan kepentingan. Yang jelas, publik terus menginginkan sensibilitas para aktor politik yang betul-betul bisa mewadahi problematika di masyarakat demi tercapainya visi keadilan sosial dan target Indonesia emas 2045, bukan hanya representasi semu.

Pustaka Acuan
  • Barenschot, Ward. (2021). The Informality Trap: Democracy Against Governance In Asia. Inaugural Speech in Faculty of Social and Behavioural Sciences (FMG), Amsterdam Institute for Social Science Research (AISSR)
  • Bernays, Edward. (2021). Propaganda: Manipulasi Opini Masyarakat. Edisi terjemahan. Sleman: Penerbit Jalan Baru
  • Mohamad, Goenawan. (2011). Indonesia/Proses. Jakarta: Tempo & PT Grafiti
Riemas Ginong Pratidina
Latest posts by Riemas Ginong Pratidina (see all)