
Negara-bangsa yang dideklarasikan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 adalah sebuah negara-bangsa berbentuk republik. Kosakata republik ini mengandung berbagai impilikasi, dan salah satu yang paling mendasar adalah adanya rigiditas antara “yang privat” dan “yang publik”, atau dalam tradisi republikanisme awal disebut sebagai “oikos” (keluarga, golongan dan sebagainya) dan “polis” (yang berkaiatan dengan kemasalahatan umum), “res privata” dan “res publica”.
Adanya rigiditas tersebut mengharuskan bahwa masalah privat, yang bersumber dari keluarga atau golongan tertentu, tidak boleh mengintervensi apa yang menjadi kepentingan orang banyak (publik), hajat hidup bersama. Dalam pengertian seperti itu juga yang “mengilhami” kelahiran term “polis” yang kemudian disebut juga dengan istilah politik. Dalam pengertian aslinya, polis dan atau politik merupakan wahana untuk mewujudkan kehidupan baik bersama (common good).
Salah satu masalah mendasar dalam politik kontemporer, termasuk di Indonesia, yakni makin kaburnya batas antara “yang privat (oikos, res private)” dan “yang publik (polis, res publica)”, sehingga oikos ini dengan mudahnya mengintervensi kehidupan polis.
Kehidupan polis yang seharusnya mendasarkan pada akal budi dan diskursus, sebagaimana yang diajarkan oleh para pemikir republikan dari Aristoteles hingga Hannah Arendt, dan turut mengilhami para pendiri bangsa kita juga, justru diidentikkan dengan “transaksi di pasar gelap”. Hal inilah yang mendasari kegaduhan ruang publik kita akhir-akhir ini, termasuk menyoal putusan MK yang diduga kuat bagian dari desain untuk memuluskan langkah seorang anak presiden, yang fenomena tersebut seakan menunjukkan sebuah puncak gunung es.
Jokowi dan Pelanggaran terhadap Etika Republikan
Sangat wajar ketika publik menaruh curiga bahwa putusan MK yang memungkinkan Gibran untuk maju dalam kontestasi pilpres adalah hasil transaksi pasar gelap, bukan hanya karena secara prosedural yang sangat debatable, misalnya apakah ranah memutus itu adalah kewenangan MK atau open legal policy? mengapa juga putusan tersebut dibuat menjelang arena permainan kontestasi segera dimulai? yang seakan putusan tersebut bagian dari memanfaatkan momentum bahwa rating kepuasaan masyarakat terhadap Jokowi yang disebut sangat tinggi?
Apalagi kalau kita bicara dalam tataran etika, yang mana salah satu hakim MK adalah kerabat presiden yang anaknya digadang-gadang akan maju dalam kontestasi. Sehingga ketelanjangan secara nyata ditunjukkan begitu saja dan ini jelas mencederai akal sehat dan nurani publik.
Politik yang seharusnya menjadi masalah arena penyelenggaraan kehidupan publik yang lebih baik, justru digunakan untuk ambisi kekuasaan pribadi melalui seorang anaknya. Di sinilah batas antara yang disebut sebagai “polis” dan “oikos” menjadi sangat kabur.
Lalu mengapa dikatakan bahwa putusan MK dan majunya Gibran hanyalah puncak gunung es? Jawabannya tentu karena publik menengok narasi-narasi ke belakang.
Baca juga:
Sebelum ada putusan MK yang diduga berkaitan dengan Gibran tersebut, tentu kita masih ingat ada wacana dari 3 periode hingga penundaan pemilu, sehingga sangat wajar ketika hari ini kita menaruh curiga bahwa putusan MK tersebut bagian dari upaya Jokowi untuk tetap terus menancapkan satu kakinya di kekuasaan melalui anaknya pasca narasi-narasi sebelumnya yang gagal.
Dari situlah saya melihat kecemasan Jokowi yang bukan hanya berkaitan dengan legacy-nya, seperti kekhawatiran-kekhawatiran kebijakan jangka panjangnya. Tetapi lebih dari itu, ada ambisi kekuasaan pribadi yang nyata, yang sangat wajar bila publik menduga bahwa untuk memuluskan hasrat berkuasa tersebut, dilakukan dengan penuh tipu muslihat.
Dalam hemat saya, apa yang dilakukan Pak Jokowi seperti berupaya untuk membuat cara kerajaan, dinasti, beradaptasi dalam sistem demokrasi dalam sebuah negara berbentuk republik.
Sehingga, simpatisan Jokowi yang masih membela secara membabi buta, atau orang-orang sekeliling Jokowi yang barangkali senang dengan apa yang ditunjukkan Jokowi dan berupaya meraih keuntungan atas hal itu akan masih sanggup berapologi “Di mana letak dinastinya? Di mana letak kerajaannya? Bukankah masih ada mekanisme pemilihan yang mana hal itu tidak seperti di kerajaan dan atau dinasti?”
Di akhir tulisan ini, penulis kembali menyayangkan Jokowi yang tidak peka, atau sengaja menutup mata atas teriakan nurani publik, termasuk dari orang-orang yang semula mendukung dan mencintainya dengan akal sehat.
Saya rasa, ada banyak juga orang yang dulu memilih Jokowi, karena turut membangkitkan mimpi mereka mengenai ideal demokrasi, bahwa ada seorang warga biasa, bukan keturunan aristokrat, bangsawan atau pemimpin ternama, jauh dari kata elitis, tetapi bisa menjadi pemimpin nasional ketika menunjukkan kerja nyata dan itikad baik untuk memajukan masyarakat. Bukan Jokowi yang sekarang, mohon maaf, yang berlaku layaknya raja Jawa yang mengadaptasikan diri dengan sistem demokrasi dalam sebuah negara republik.
Bagi saya, apa yang ditunjukkan oleh Jokowi dan orang di sekelilingnya makin memperparah kondisi perpolitikan Indonesia, terutama memperkuat apa yang saya sebut sebagai “krisis nilai-nilai republikanisme”.
Indonesia adalah sebuah negara republik, yang mana bersumber dari apa yang disebut sebagai republikanisme dan tentu saja mengandung berbagai nilai yang seharusnya dapat diinternalisasi oleh para elite maupun warga secara umumnya. Jokowi, sebagai pemimpin, sayangnya tidak menunjukkan keteladanan tersebut.
Baca juga:
- Jokowi Perlu Menginternalisasi Etika Politik Machiavelli - 17 November 2023
- Hannah Arendt dan Upaya Melawan Pembusukan Term Politik - 12 November 2023
- Why, Pak Jokowi? - 4 November 2023