
Sebagai dasar nalar dalam penulisan ini, saya masih teringat dengan kritikan Gramsci terkait politik pada saat itu, yang bisa jadi pelajaran untuk politik zaman now. Secara gamblang dia memetakan manusia ke dalam dua tipe. Pertama, intelektual mekanik. Kedua, intelektual organik.
Dia membatasi intelektual mekanik sebagai kemampuan manusia yang berkenaan dengan perekonomian dan perindustrian. Sedangkan intelektual organik adalah kemampuan manusia sebagai organisator politik dan mempunyai kesadaran diri sebagai yang dipimpin dan memimpin.
Yang menarik dari apa yang Gramsci jelaskan bahwa seorang politisi tidak usah orang pintar, tidak harus lulusan sekolah sarjana dan perguruan tinggi lainnya. Bagi dia, seorang politisi harus sebagai intelektual. Yang terpenting dia mau berpartisipasi aktif dalam politik, melaksanakan fungsinya, menjunjung tinggi nilai kerakyatan.
Teori ini memang sangat perlu kita perhatikan. Sebab, walaupun agak janggal, tetapi pembacaannya terhadap histori riil sangat patut kita apresiasi.
Kontekstualisasi dari apa yang dia refleksikan sudah dapat kita lihat dari salah satu pemimpin Indonesia seperti Jokowi, mulai dari dia sebagai wali kota, gubernur, sampai presiden.
Pada awal pemilihan presiden, penulis masih ingat betul betapa masyarakat terhipnotis dengan gaya dan karakteristik Jokowi. Jokowi adalah sang revolusioner, harapan rakyat, pemberi kedamaian.
Jokowi memang bukan sosok pemimpin yang terlihat genius, cerdas, dan kapabel dalam berbicara, hingga tidak tampak sekali ciri kapasitas kepemimpinannya. Tetapi, seperti apa yang Gramsci konsep bahwa pemimpin tidak harus pintar, asal memiliki kemampuan partisipasi aktif dalam politik, melaksanakan fungsinya itu sudah lebih dari cukup.
Terbukti, ketimbang dengan pemimpin lainnya, masyarakat lebih bisa menerima Jokowi karena terasa banyak memberikan kontribusi perubahan dan partisipatif.
Baca juga:
Barangkali asumsi masyarakat: daripada dipimpin oleh orang yang cerdas tetapi pintar memanipulasi, korupsi, dan mengeksploitasi rakyat, lebih baik oleh orang yang sederhana saja. Sebab tidak jarang orang yang pintar tetapi nakal; banyak orang yang gagah dan tegas tetapi sibuk ngurusin cewek seperti gravitasi seks dan semacamnya.
Sebab sebetulnya yang rakyat inginkan hanya satu, yaitu kedamaian dan kenyamanan. Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mau melayani rakyat, menjalankan fungsinya, sesuai dengan apa yang rakyat idealkan.
Kesalahan besar pemimpin sekarang adalah kurangnya identifikasi terhadap rakyat; adanya distansi antara pejabat dan rakyat; hingga tidak ada ikatan emosional yang intens. Tidak mengherankan ketika terjadi penindasan terhadap rakyat karena kurangnya kedekatan dengan mereka.
Maka, blusukan terhadap daerah-daerah atau perumahan-perumahan rakyat terdapat nilai yang sangat istimewa terhadap pejabat dan rakyat guna membangun kedekatan antara mereka.
Yang menarik adalah bahwa kenyataan apa yang Jokowi praktikkan waktu jadi wali kota, gubernur, bahkan presiden telah menginspirasi banyak orang kerena respons masyarakat sangat antusias dengan praktik politik semacam ini. Terbukti banyak pemimpin politik zaman now yang meniru gaya beliau.
Baca juga:
- Miftahul Huda dan Radikalisme Pesantren - 4 Januari 2018
- Jokowi dan Politik Zaman Now - 31 Desember 2017
- Kernet - 29 Desember 2017