
Bunga-bunga desa jatuh berserak mewarnai lukisan senja yang berlayar di pelataran bagai lautan bukit ibu Busian. Tikus-tikus sawah berkeliaran tanpa takut berbisik sampai sang bunga bermekar. Padi-padi pun menunduk sisakan gembala baik yang dilewati bunga-bunga beraroma melati. Arriando berlarut dalam dunia imajinasi yang sakral, melukis gadis yang jatuh di pelupuknya sembari memegang bunga di tangan sebagai tanda pemenang.
“Mengapa engkau ingin jadi Romo dan menjadi penjaga bangunan keramat?” Talia, gadis yang berbaring di pahanya, berbisik sebab ia takut kehilangan.
“Aku ingin tahu cara memelukmu dengan bagaimana cara Tuhan memeluk.” Arriando bercakap dengan nada gombal.
Arriando takut Talia sedih dan kecewa dengannya. Sebab Arriando tahu kalau Talia wanita yang dicintainya telah menjalin hubungan sekian lama dengannya sebelum lukisan senja itu terbentuk. Kini hanya mereka berdua di bukit, bercumbu dan bermesraan.
“Senja ini hanya milik kita berdua. Jika kau jadi matahari yang membakar awan-awan sisakan warna-warni bak pelangi, aku akan menjadi bukit Busian membiarkanmu bersandar melepas lelah dan berahimu. Dan langit adalah saksi bisu menyaksikan kita yang saling bercinta.”
Namun hati Talia masih bersedih. Talia tidak mau mengenal kata pisah, apalagi tahu arti dari perpisahan itu. Wajahnya tak lagi searoma bunga jasminum polyanthum. Talia takut kehilangan.
“Kalau engkau jadi Romo, pasti kita tidak akan berdua lagi.” Talia bernada sendu bagai senja ditelan malam yang mulai merasakan kegelapan suasana hatinya. Ia ingin tahu alasan Arriando kenapa menjadi Romo dan menduakan cintanya dengan panggilan Tuhan.
“Talia, kita akan tetap bersama kok,” bisik Arriando meyakinkan Talia.
Arriando tahu bahwa Talia tidak ingin cintanya berbagi. Arriando pun belum tahu pasti panggilannya menjadi Romo. Apalagi suara Talia selalu menjadi santapan di kala Arriando sedang berbaring ataupun tertidur. Talia menjadi bunga mimpinya. Di sisi lain, Arriando merasakan ada panggilan dari seseorang yang entahlah tidak tahu sumbernya.
Arriando ingat beberapa bulan lalu, Arriando telah mantap untuk menjadi seorang Romo setelah mendapat promosi panggilan dari seorang pastor missionaris Belanda. Arriando sangat tertarik dan ingin menjadi seorang missionaris.
Arriando kini merasakan dilema ber-stadium. Arriando menjadi tidak tenang dengan dua cinta yang bermekar di lubuk hatinya, cintanya kepada Talia atau cinta menjadi Romo misionaris. Tapi hatinya tidak bisa berbohong.
“Aku dipanggil seorang berjubah putih dan ingin menjadi Romo.” Arriando tiba-tiba mengeluarkan kata-kata itu dan masuk di lubuk hati Talia yang membuatnya luka memar tanpa mengenal ampun. Rasa sakitnya sampai di ubun-ubun.
Talia menangis dengan keras memunculkan kilapan kilat yang diliputi awan tebal dan air membanjir di lesung pipi Talia. Talia mencubit paha Arriando mengyisakan memar sebagaimana hatinya telah dibuat memar. Talia menjadi gadis berpenyakit kanker hati karena dikecewakan Arriando. Luka memar.
“Aku juga telah lama memanggilmu dan telah jatuh di pelukku. Mengapa ada panggilan lain?”
Talia kemudian pergi sambil menangis dan menghilang di tengah rerumputan dan malam yang makin gulita. Sedang Arriando berusaha memeluk Talia tapi Talia ingin sendiri. Arriando kemudian menjatuhkan diri ke tanah dan memandang bintang-bintang yang terpisah dan berada dalam jarak. Talia dan Arriando kemudian berpisah tanpa ada sepatah pamit dan ucap sepinta pisah. Mereka harus menjadi sepasang kekasih yang di tikam lalu mati sejak kilat senja itu.
“Kalau engkau masih mencintaiku, kita akan berjumpa di hari Natal” adalah sepatah chating masuk di WhatsApp Arriando. Arriando tidak sempat melihat pesan masuk di WhatsApp-nya dengan alasan Arriando tidak diizinkan memegang Handphone dan berfokus pada panggilan menjadi Romo missionaris. Apalagi hari itu adalah hari terakhir Arriando memegang Handphone dan tidak sempat membaca chating dari Talia kekasihnya.
Halaman selanjutnya >>>
- Jubah Suci di Negeri Sakura - 9 Juni 2022
- Perawan Amnesia di Pinggir Kota - 27 Mei 2022