
Nalar Politik – Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (GM) Zainal Arifin Mochtar menilai judicial review adalah cara yang tepat dalam menguji UU Cipta Kerja. Hal itu, menurutnya, menjadi langkah yang pas, terutama bagi mereka yang menolak hasil akhir Omnibus Law, untuk kemudian membahasnya kembali di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya membayangkan judicial review jadi jalan pas. Karena judicial review menjadi ajang pengujian,” jelas Zainal dalam konferensi persnya, Rabu, 7 Oktober 2020.
Bagi akademisi di bidang Hukum Tata Negara ini, masih terdapat sejumlah masalah di dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI. Aturan-aturannya masih dipandang bermasalah, khususnya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Sehingga, judicial review dapat menjadi metode paling tepat untuk mengoreksi UU Cipta Kerja.”
Di samping itu, pria kelahiran Makassar ini pun menilai tekanan publik jadi cara gugatan lainnya. Namun, kata dia, harus tetap selaras dengan konstitusi dan menyesuaikan masa pandemi Covid-19.
“Harus dilakukan tindakan lain, tekanan publik. Apa pun pilihan tekanan publik, sepanjang tidak melanggar hukum dan protokol kesehatan.”
Seperti diketahui, pro-kontra terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja masih terus jadi perbincangan hangat. Klaster ketenagakerjaan, di pihak penolak utamanya kelompok buruh, masih menjadi bahan respons yang cukup keras.
Selain itu, masuknya sektor pendidikan juga memicu perdebatan. Sektor ini termuat dalam klaster Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), tepatnya di Bagian Keempat tentang Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Kemudahan dan Persyaratan Investasi.
Baca juga:
- Demonstrasi, JR UU, dan Politik Hukum Indonesia
- Relevansi Tradisi Civil Law dan Judicial Review di Indonesia
- PERMIKOMNAS Prediksi Masa Depan; Apa yang Akan Terjadi? - 1 Maret 2021
- Kalangan Profesi Hukum Harus Dukung Penuh UU Cipta Kerja - 5 Januari 2021
- KPPU Dukung Persaingan Usaha yang Sehat di UU Cipta Kerja - 4 Januari 2021