
Kinerja idealis seorang jurnalis memang sering berbenturan dengan budaya organisasi lembaga media.
Nalar Warga – Di tengah carut-marut dunia komunikasi era media sosial dan makin pudar idealisme jurnalistik yang berkelindan dengan kepentingan politik dan ekonomi, saya hanya salah satu orang yang masih berharap insan media kembali berperan membawa pencerahan bagi publik.
Peran seorang jurnalis di perusahaan media sangat besar. Ia adalah produsen utama produk yang dijual media untuk mendapat penghasilan. Alih-alih memberi warna, jurnalis justru “terwarnai” oleh budaya media. Kepentingan ekonomi dan kekuasaan akhirnya menentukan bentuk konten media.
Ada gap yang cukup lebar antara dunia idealitas dengan realitas media, yang kini membuat kita pesimis bahkan skeptis idealisme jurnalistik kembali seperti masa-masa awal konsep jurnalistik dirumuskan. D. McQuaill, dua puluh tahun lalu, menuliskan tentang idealnya peran media dalam kehidupan sosial.
Media tidak hanya menjadi agen dalam penyebaran informasi. Banyak peran strategis media dalam konsep trias politica “The Fourth Estate”. Secara ideal, kualitas jurnalis dapat dilihat dari kemampuan mengarahkan perhatian, mempersuasi, membangun opini, mengarahkan pilihan sikap dan persepsi atas realitas.
Setidaknya ada 5 kompotensi jurnalisme yang berbasis pengetahuan: keterampilan jurnalistik, pengetahuan umum, pemahaman konten secara spesifik, pemahaman teori komunikasi massa, dan ketaatan terhadap nilai-nilai jurnalistik yang berlaku (Patterson & Donsbach, 2010).
Seorang jurnalis, dengan perannya sebagai ujung tombak produk news, tidak hanya dituntut punya wawasan dan keterampilan menulis, tapi juga harus memiliki tanggung jawab etika dan moral terhadap setiap kegiatan jurnalistik maupun terhadap produk jurnalistik yang dihasilkan.
Nah, dalam institusi di mana ia bertugas, lingkungan kerja memengaruhi, baik secara poleksostek, aspek komersial, etika, aturan, termasuk budaya organisasi. Jadi ada pengaruh-pengaruh kuat yang bersumber dari faktor-faktor sosio-politik, kepentingan publik, maupun kepentingan media sebagai industri.
Di luar faktor internal, kinerja jurnalis juga dipengaruhi respons publik: isu-isu yang disuka dan dianggap menarik. Nah, dalam sirkumstansi tarik-menarik ini, jurnalis perlu bertindak logis untuk bersikap berdasar prinsip-prinsip logis sehingga produk yang dihasilkan tidak bertentangan dengan logika universal.
Kinerja idealis seorang jurnalis memang sering berbenturan dengan budaya organisasi lembaga media. Setidaknya ada 5 hal yang berpotensi menimbulkan benturan:
- Ekonomi politik media (ownership dan kepentingan ekonomi owner—kepentingan politik si owner juga, sih.
- Prosedur gate keeping. Ini terkait kebijakan meliput/tidak, dimuat/tidak, ada space/tidak.
- Kelayakan berita; menarik/tidak, diminati/tidak.
- Media framing, bisa berkaitan dengan kepentingan tertentu.
- Kaidah jurnalistik, kaitan dengan proses produksi berita (hunting, menulis, editing).
Antara idealisme jurnalis dan budaya organisasi media ini kemudian berhadapan juga dengan faktor-faktor eksternal, seperti kompetensi antar-media dan gelombang informasi non-profesional seperti media online dan netizen journalism. Makin galau aja, kan, jadi jurnalis?
Tapi setidaknya kita berharap, standar jurnalistik tetap terjaga dengan baik. Caranya?
- Kompetensi dasar jurnalis harus terjaga.
- Memiliki modal pengetahuan dan wawasan yang cukup tentang sebuah isu.
- Komitmen terhadap nilai dan peran profesional seorang jurnalis.
- Tulisan menarik dan memenuhi nilai jurnalistik.
Jangan lupa juga pada 4 posisi strategis jurnalis:
- Diseminator: penyampai fakta.
- Investigator: pencari fakta dan interpretasi kebenaran secara independen.
- Mobilizer: menetapkan agenda publik, mendorong sikap publik.
- Adversory: skeptis dan meluruskan klaim bias yang sarat kepentingan.
Bagaimanapun, harus disadari pula bahwa nilai berita diukur dari impact terhadap publik, waktu tayang, prominence (menonjol), proximity (kedekatan isu/peristiwa dengan publik), keunikan, potensi konflik/bahaya, currency/trend. Pertimbangan-pertimbangan tersebut harus disinergikan dengan aspek non-teknis ala budaya media.
Sayangnya, sejak keran pendirian perusahaan media dibuka lebar, profesionalisme jurnalis tidak makin membaik. Non-professionalism journalistic, click bait, economic and politics interest berbaur membuat ruang narasi publik tidak membawa pencerahan sebagaimana diharapkan.
Semoga bintang kembali bersinar.
- Murid Budiman - 1 September 2023
- Budiman Sudjatmiko, Dia Pasti Adalah Siapa-Siapa - 30 Agustus 2023
- Mereka Lupa Siapa Budiman - 28 Agustus 2023