Kanonisasi Sastra Kebiri Nalar Politik

Kanonisasi Sastra Kebiri Nalar Politik
©Val Vesa

Wacana kanonisasi sastra Indonesia bergulir tahun lalu di Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) pada Desember 2018. Kongres yang terselenggara di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu membahas bagaimana dan seperti apa kanonisasi yang dapat memenuhi kebutuhan keseragaman dan eksistensi sastra Indonesia.

Bercermin pada usaha kanonisasi sastra yang pernah berlaku, baik era kolonial, post-kolonial, revolusi, dan post-revolusi; masing-masing era tersebut menghasilkan satu kesimpulan: bahwa semua usaha penyeragaman dapat memicu dan menimbulkan konflik dan mematikan nalar politik masyarakat dan insan sastra itu sendiri. 

Kanonisasi sastra sangat erat hubungannya dengan tindak represif terhadap karya-karya sastra yang berseberangan dengan ideologi penguasa. Usaha untuk membuat seragam karya sastra tentunya merupakan tindakan tebang pilih saja. Sastrawan penjilat akan mendominasi urat nadi kebudayaan bangsa.

Bagi karya sastra yang bisa masuk kanon, tentunya cepat terangkat reputasinya. Karya-karyanya akan melakukan dominasi buku ajar, baik tercetak ulang ataupun menjadi bacaan wajib lainnya untuk keperluan politis tertentu.

Kata “kanon” yang berasal dari bahasa Yunani ini bermakna ukuran atau alat untuk mengukur (parameter), sekaligus sebagi perimeter (pembatas). Mana ada nilai-nilai intrinsik sebuah karya sastra yang dapat diukur dengan sebuah ketetapan ideologi dan dibatas-batasi kebebasannya dalam bernalar politis? Pakai standar (criterium canonicitatis) yang model mana?

Hal sama juga terjadi pada sebagian kitab suci yang pernah mengalami kanonisasi. Percikan dan gesekan akan selalu ada jika upaya untuk membuat seragam tersebut hadir dengan gaya dominasi yang represif pada ranah keanekaragaman dan kebebasan.

Jika kanon sastra Indonesia nanti berhasil disepakati dan dibuat secara institusional oleh lembaga pemerintahan, maka kepada siapa kanon tersebut diperuntukkan? Akankah menjadi bacaan wajib? Yang selanjutnya pasti merangsang kapitalisasi dan penguasaan pasar oleh pihak tertentu yang berkuasa.

Di era kolonial dan post-kolonial, Balai Pustaka pernah hadir mendominasi karya sastra Indonesia. Balai Pustaka bisa kita sebut juga sebagai representasi sebuah kanonisasi.

Baca juga:

Balai Pustaka awalnya adalah wadah dan taman bacaan rakyat. Pelan namun pasti, dengan segala cara, akhirnya terkuasai juga oleh penguasa untuk keperluan politiknya.

Kisruh kanon sastra Indonesia membuat beberapa sastrawan yang semestinya layak karyanya masuk ke sebuah kanon malah tersingkir hebat hanya karena alasan politis saja.

Kanonisasi sastra era Balai Pustaka juga membuat bahasa Indonesia berasa elite di karya-karya sastra produksi Balai Pustaka, sedang yang di luarnya, dianggap rendahan. Selain faktor kebahasaan, ada juga permasalahan diskriminasi konten bacaan yang kedaerahan, semisal sentuhan Minang. Hal ini karena jajaran redaksi di Balai Pustaka adalah orang-orang Minang.

Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Apakah ketenaran penulisnya juga sebagai standar kanon? Pun, kedekatan para sastrawan dengan rezim? Kanonisasi sastra akan selalu erat berhubungan dengan politik kekuasaan yang sedang mendominasi.

Sudah tenar, bahwa Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan terbaik yang pernah bangsa ini miliki. Dengan Tetralogi Buru-nya, dia sudah berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Nobel Sastra. Dan kenyataannya, Tetralogi Buru ini pernah terlarang di Indonesia.

Ketika rezim berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara.

Padahal, tetralogi tersebut berisikan pemikiran dan nalar kritis seorang sastrawan Indonesia terhadap politik kolonialisme Belanda di Indonesia. Hanya karena penulisnya tertuduh seorang komunis, maka dengan segala kekuatan dan daya yang pemerintah miliki, terberanguslah model-model Pram ini.

Dari kasus di atas, kita bisa melihat betapa faktor-faktor di luar teks, baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya, sangat memengaruhi eksistensi sebuah teks sastra. Termasuk sikap politis penguasa, yang dengan mudah dapat melakukan kanibalisasi terhadap karya sastra yang dianggap bertentangan dengan ideologi penguasa.

Halaman selanjutnya >>>