
Makassar kota angin mamiri
Orang gusar karena iri
Denpasar kota wisata
Orang kesasar karena buta
Sumenep kota garam
Perut senep karena geram
Surabaya kota pahlawan
Orang kaya harus dermawan
Malang kota apel
Hati senang mendapat wesel
Gresik kota semen
Orang berisik karena permen
Semarang kota atlas
Orang bimbang karena malas
Jepara kota ukir
Orang sengsara karena rentenir
Demak kota wali
Orang galak karena tuli
Tegal kota bahari
Orang gagal karena iri
Brebes kota bawang
Hati ngenes tak punya uang
Jogjakarta kota gudeg
Orang keja sampai budeg
Temanggung kota tembakau
Orang linglung karena galau
Sokaraja kota gethuk
Malas kerja karena ngantuk
Cianjur kota beras
Orang jujur kena peras
Bandung kota kembang
Orang bingung karena bimbang
Sumedang kota tahu
Orang meradang karena malu
Garut kota dodol
Orang cemberut karena ngompol
Indramayu kota mangga
Orang merayu karena suka
Bekasi kota patriot
Orang berdasi pipinya kempot
Jakarta kota megapolitan
Orang menderita karena setan
Palembang kota seribu sungai
Orang bimbang karena lunglai
Bukittinggi kota jam gadang
Sakit gigi karena banyak utang
Kudus kota kretek
Orang kurus bau di ketek
Solo kota bengawan
Orang jomlo karena tak perawan
Bogor kota hujan
Orang slebor karena setan
Bukan!
Omnibus Law,
Anda bukan Melky Guslaw, kan?
Bukan!
Jangan Ganti Nama!
Orang suka ganti nama
Biar terlihat berbeda
Unik terdengar di telinga
Nyaman dibaca di mata
Di desa namanya Pariyem
Di kota berganti Mery
Di desa namanya Partinah
Di kota menjadi Prety
Di desa namanya Paijo
Di kota berganti Jecko
Di desa namanya Paimo
Di kota berganti Mecko
Jangan ganti nama Jepang
Seperti Hiroko dan Batako
Jangan ganti nama Portugal
Seperti Ronaldo dan Sabodo
Jangan ganti nama Belanda
Seperti van Den Bosh dan Gedebos
Jangan ganti nama Mexico
Seperti Maria Marcedes dan Belgedes
Sebaiknya jangan ganti nama
Meski makan produk Amerika
Meski minum hasil Australia
Meski pakai busana Eropa
Sebaiknya jangan ganti nama
Meski tak juga mendunia
Biar kelihatan aslinya
Biar tampak jati dirinya
Ambulans yang Membawa Peti Mati
Mobil ambulans menyibak gerimis pagi. Bunyi sirine meraung tak henti-henti. Mobil dikawal pak polisi. Meminta sedikit ruang dari pengguna jalan untuk berlari. Di dalamnya terdapat peti mati. Berisi jenazah yang meninggal malam tadi.
Ketika masih hidup almarhum adalah seorang pejabat. Virus corona menyerangnya hingga sekarat. Ia tak tertolong hingga hidupnya pun tamat. Apa boleh buat. Meski semua diupayakan kuat-kuat. Nyatanya hidup hanya menunda kiamat.
Di sepanjang perjalanan dari rumah sakit jenazah hanya diam membisu. Cuma arwahnya yang meratap dan menangis pilu. “Kenapa mobil mewahmu tak membawamu?” Begitu suara-suara gaib bertanya tanpa ragu. Sebuah pertanyaan yang mengharu biru.
“Mengapa Tuan, ketika hayat masih dikandung badan, Tuan mati-matian mencari sesuatu yang tak dibawa mati, hingga Tuan kini berada di dalam peti mati?” Begitu suara-suara gaib bertanya bertalu-talu. Seolah pertanyaan yang membelenggu.
Apakah almarhum dikebumikan di taman makam corona? Tidak demikian tentunya. Ia dimakamkan di tanah keluarga. Di samping rumahnya yang seperti istana. Hingga istri dan anaknya dapat menjenguknya kapan saja.
- Saya, Perempuan Muda, dan Tarian Belati - 27 Oktober 2020
- Karmina Kota-Kota di Indonesia - 25 Oktober 2020